Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalah Mental-2

Septia Eka Putri - Ahad, 16 April 2017 - 01:55 WIB

Ahad, 16 April 2017 - 01:55 WIB

303 Views ㅤ

Oleh: Imam Shamsi Ali/ Presiden Nusantara Foundation, New York.

Pernyataan professor Qatar University tadi, bagi saya cukup menggelitik. Semakin membuka mata akan posisi paradoks keagamaan orang-orang Arab. Di satu sisi mengaku jika agama harus memainkan peranan luas dalam masyarakat, termasuk dalam menejemen kenegaraan. Sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah, khususnya negara-negara Khalij, dianggap mewakili kebijakan Islam. Pembangkangan kepada kebijakan pemerintah tidak jarang pula dianggap sebagai pembangkangan kepada Allah dan rasulNya.

Tapi di sisi lain, tugas para pimpinan agama (ulama) dibatasi pada urusan-urusan yang berkaitan dengan hukum-hukum ritual sempit. Bahkan khutbah-khutbah juga tidak jarang dimonitor, disesuaikan dengan kehendak dan kepentingan penguasa.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Di sinilah saya kerap kali curiga jika di beberapa negara mayoritas Muslim, agama hanya dijadikan sebagai alat kekuasaan, atau alat untuk mengukuhkan kekuasaan walaupun kekuasaan itu jelas menelanjangi kebenaran dan keadilan.

Kembali ke konferensi tadi. Dalam presentasi keynote speech siang itu, saya sampaikan beberapa hal, kenapa isu mental health menjadi isu keislaman itu sendiri.

Pertama, karena memang agama Islam adalah agama yang bersifat petunjuk universal. Petunjuk yang menyeluruh, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dan ketika berbicara tentang hidup manusia, masalah mentalitas menjadi kunci utama.

Kedua, salah satu keunikan ajaran agama Islam adalah perhatian besar terhadap masalah-masalah “akhlaqiyat” (karakter) manusia. Dan di sini pulalah kaitannya kenapa mental health menjadi krusial. Karena ternyata prilaku manusia ditentukan banyak oleh “mental state” (keadaan mentalitas). Barangkali itulah yang digambarkan oleh rasulullah SAW dengan haditsnya: “sungguh pada tubuh manusia ada segumpal darah yang jika baik maka baik seluruh tubuh. Dan jika rusak maka rusak pula tubuh manusia. Dan itulah hati”.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Ketiga, Islam adalah agama yang bertujuan untuk mengantar manusia kepada “sa’adah” (kebahagian). Bukan menyebabkan “syaqawah” (penderitaan) dalam kehidupan. Dan kebahagiaan tidak ditentukan oleh materi dan jasad, tapi oleh kejiwaan. Seperti yang digambarkan oleh rasulullah SAW: “kekayaan itu bukan pada banyaknya harta. Tapi kekayaan itu adalah pada kepuasan batin”. Di sinilah kemudian kesehatan mental menjadi prasyarat utama bagi kebahagiaan manusia dalam hidup.

Tiga penyakit mental kronis abad modern

Saya kemudian ingin menyampaikan materi yang agak berbeda dari materi-materi yang telah disampaikan oleh pemateri lainnya. Kalau pemateri lainnya, yang rata-rata ahli ilmu jiwa dan kesehatan mental dari berbagai universitas ternama, termasuk Harvard dan Princeton, menyampaikan beberapa bentuk penyakit mental pada tataran individu dalam masyarakat. Saya justeru ingin menampilkan bahwa dalam sikap atau kebijakan publik juga menggambarkan sehat atau tidaknya mentalitas yang melandasi pengambil kebijakan itu.

Oleh karenanya saya menyebutkan secara khusus tiga hal yang saya anggap penyakit kronis abad modern yang saya anggap langsung atau tidak disebabkan oleh permasalahan mental manusia. Kesimpulan itu saya ambil dari sebuah surah dalam Al-Quran, surah no. 30 (Ar-Rum).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Sejujurnya substansi presentasi saya ini sudah saya sampaikan pada peringatan 50 tahun pidato Martin Luther King beberapa hari lalu menentang peperangan Vietnam. Hanya saja saat itu saya tidak melihatnya sebagai bagian dari permasalahan mental. Tinjauan saya saat itu tidak lebih dari tinjauan sosial keagamaan semata.

Ketiga penyakit kronis yang saya maksud adalah: 1) militarisme. 2) rasisme. 3) materialisme.

Ancaman penyakit militarisme

Kekerasan-kekerasan (violence), baik pada tataran personal maupun kolektif bukan sesuatu yang baru dalam kehidupan manusia. Baik itu kekerasan yang bersifat sistemik (peperangan) maupun yang non sistemik (terorisme). Keduanya sesungguhnya masuk dalam kategori penyakit sosial yang terjadj karena masalah mental kemanusiaan.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia, sejak anak Adam (Qabil) membunuh adiknya (Habil), kekhawatiran malaikat yang sejak awal diekspresikan kepada Tuhan ini semakin menjadi-jadi. Peperangan demi peperangan, pertumpahan darah pun terjadi di mana-mana.

Peperangan sesungguhnya terkadang bukan masalah. Peperangan terkadang memang menjadi tuntutan keadaan hidup manusia. Bahkan dalam Islam peperangan diatur oleh syariat agama. “Perangilah mereka yang memerangi kamu tapi jangan melampuai batas. Sesungguhnya Allah tidak menyenangi mereka yang melampaui batas”.

Yang menjadi masalah adalah ketika perang itu menjadi sebuah hobi, kebanggan, kesenangan, dan tidak jarang menjadi jalan cepat untuk mendapatkan kekuasaan. Pertarungan kekuasaan (power struggle) inilah yang menjadi kata kunci dari egoisme perang. Demi kekuasaan manusia tidak peduli lagi berapa lagi korban anak-anak, wanita-wanita, dan orang-orang yang tak berdosa harus dikorbankan.

Surah Ar-Rum itu menggambarkan power struggle antara dua kekuatan besar (super power) saat itu. Antara kekuatan Roma dan kekuatan Persia.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Dalam dunia modern saat ini peperangan-peperangan yang kita saksikan dengan segala konsekwensi buruknya itu, juga tidak terlepas dari power struggle ini. Perhatikan apa yang sedang terjadi di Suriah. Pertarungan kekuasaan (power struggle) baik pada tatataran nasional (dalam negeri), regional (kawasan Timur Tengah), maupun pada tataran global (Amerika dan sekutunya versus Rusia dan sekutunya) menjadikan peperangan di Suriah itu bagaikan permainan game. Pembantaian manusia tak berdosa menjadi mainan yang mengenakkan (enjoyable). Manusia yang terlibat juga seolah telah kebal rasa, telah kehilangan rasa kemanusiaan (human sense).

Fenomena yang seperti ini jelas bukan sekedar permasalahan keamanan dan sosial. Tapi memang telah menjadi indikator penyakit mental kemanusiaan yang sangat kronis. Bagaimana tidak jika sensitifitas kemanusiaan, yang harusnya ada rasa kasihan, rasa sayang, lalu semua itu telah hilang.

Akibatnya prilaku dan karakter manusia seperti itu menjadi jahat sejahat binatang, bahkan lebih jahat lagi. “Mereka bagaikan binatang bahkan lebih buruk dari bianatang”. (R07/P1)

Bersambung

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Palestina
Internasional
Internasional
Feature
Kolom