Rakhine, Myanmar, 7 Rajab 1435/6 Mei 2014 (MINA) – Warga Muslim terus menghadapi penganiayaan di negara-negara yang dilanda kekerasan sektarian sementara masyarakat internasional mengabaikan penderitaan kaum muslimin itu.
Dalam kasus terbaru Kantor Berita Rohingya yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA) melaporkan terjadinya kekerasan terhadap Muslim yang mengakibatkan lebih dari 30 Muslim dibunuh secara brutal di India timur laut. Tentara India pergi setelah 32 Muslim tewas di Assam. Pihak berwenang menyalahkan pembunuhan pada militan suku.
Menurut PBB, salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia adalah Muslim Rohingya di Myanmar. Mereka telah menghadapi diskriminasi di tanah air mereka sendiri sejak 1982, karena pihak penguasa memperlakukan mereka sebagai “imigran gelap.”
Selama dua tahun terakhir, serangan massa Buddha telah meninggalkan ratusan Muslim Rohingya tewas dan memaksa lebih dari 140.000 terusir dari rumah mereka.
Di Republik Afrika Tengah (CAR), Muslim telah tewas di tangan orang-orang Kristen, sementara Uni Afrika dan pasukan Perancis, hadir di negara Afrika, telah gagal untuk menghentikan pertumpahan darah.
Dewan Keamanan PBB telah menyetujui rencana untuk mengerahkan pasukan sekitar 12.000 orang pada akhir tahun ini untuk menghentikan pembersihan Muslim di CAR.
Selama 23 tahun terakhir, Muslim Sri Lanka telah dicap sebagai orang “lupa”. Anggota parlemen Muslim di negara Asia itu telah meminta Presiden untuk campur tangan dalam rangka untuk menghentikan kampanye kebencian lanjutan, intimidasi dan ancaman yang dilakukan terhadap kaum Muslim oleh beberapa ekstrimis Budha.
Menurut PBB, Muslim Rohingya adalah salah satu komunitas yang paling teraniaya di dunia. Dari Juni 2012, diperkirakan 3.000-5.000 orang tewas, tenggelam dan hilang. Banyak ratusan perempuan diperkosa. Permukiman besar dengan ribuan rumah, termasuk masjid dan madrasah, hancur. Setidaknya 1600 orang yang tidak bersalah ditangkap atas tuduhan palsu. Sebanyak 140.000 orang mengungsi dan memaksa mereka untuk tinggal di segregasi permanen dalam gaya apartheid penuh sesak di kamp-kamp pengungsi jauh dari kota-kota mereka, rumah dan desa di mana tidak ada pendidikan, kurangnya makanan, air, kesehatan dan sanitasi yang tersedia.
Sebuah kebijakan dua anak merupakan diskriminatif dan lebih dari 50.000 anak-anak melanggar kewajiban perjanjian berdasarkan Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989. Kebencian rasial dan Islamophobia menyebar seperti kanker di seluruh Myanmar. Kekerasan dan pemusnahan terhadap Rohingya masih terus berlanjut.
UU Kewarganegaraan Burma 1982 melanggar beberapa prinsip-prinsip dasar hukum internasional dan merampas kewarganegaraan yang membuat mereka tidak diakui di tanah air mereka sendiri.
Berdasarkan bukti kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis terhadap Rohingya dengan peristiwa terkini dari beberapa yang disebutkan di atas menggambarkan Konvensi Genosida PBB 1948 dan mulai berlaku pada 1951. Dan itu merupakan kasus genosida tetapi melakukannya secara perlahan-lahan kemungkinan untuk menghindari kecaman dan penuntutan internasional.
Menurut Profesor Gregory H. Stanton, Presiden Pemantau Genosida mengatakan “orang-orang Rohingya adalah korban dari delapan tahap genosida. Klasifikasi, Simbolisasi, Dehumanisasi, Organisasi, Polarisasi, Persiapan, Pembasmian dan Denial”.(T/P08/IR)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)