Oleh: Rendy Setiawan*
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta akhirnya berakhir dengan kemenangan pihak Anies Baswedan – Sandiaga Sholahuddin Uno (versi berbagai hasil perhitungan cepat yang dilakukan lembaga-lembaga survey swasta) dengan jarak yang cukup lebar. Kemenangan pihak Anies cukup dramatis mengingat pada putaran pertama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sempat unggul atas rivalnya tersebut di putaran pertama.
Yang menarik adalah, meskipun Ahok saat ini bestatus terdakwa atas penistaan agama Islam, di mana ia akan menghadapi tuntutan penjara, namun nyatanya masyarakat Jakarta masih cukup puas dengan kinerja sang petahana, hingga menginginkannya untuk kembali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk menuntaskan programnya.
Antusias masyarakat Jakarta terhadap Ahok terlihat dari jumlah pemilih yang menyuarakan dukungannya hingga mencapai di atas 40 persen atau sekitar 2 juta penduduk dari keseluruhan warga DKI yang memiliki hak untuk memilih. Tentu kita beri aplaus untuk Timses Ahok.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Beda Ahok, beda pula nasib Anies. Meski menjadi pendatang baru pada perhelatan Pilkada DKI kali ini, namun ia cukup yakin bisa memenangi pertarungan. Bak seorang superhero, dalam Debat Pilkada, Anies cukup “pede” mengkritisi proyek-proyek yang sedang dilakukan Ahok karena dinilai tidak memihak rakyat kecil.
Dengan terobosan-terobosan barunya, seperti dp rumah nol persen, meratakan distribusi air bersih ke seluruh wilayah Jakarta, hingga berani secara terang-terangan akan menghentikan mega proyek reklamasi, kehadiran pasangan dari Sandiaga dianggap sebagai angin segar bagi masyarakat Jakarta.
Anies yang cukup pengalaman di Kementerian, karena sebelumnya menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), nyatanya menjadi idola baru bagi warga Jakarta dengan memenangi Pilkada DKI versi perhitungan cepat. Selain sebagai seorang Muslim, Anies juga dikenal sebagai akademisi yang cukup sukses.
Kemenangan Anies berarti kekalahan bagi Ahok. Hal ini cukup menyita perhatian banyak media, baik media nasional maupun internasional, dengan beragam judul yang menarik, serius, atau bahkan terdengar lucu dan aneh ketika orang Indonesia membacanya. Misal berita yang diterbitkan oleh ‘Utusan-Online’. Media yang terbit di Malaysia itu memuat judul berita yang terdengar ngeri “Ahok Tewas di Tangan Anies”.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Dalam Bahasa Melayu, kata ‘Tewas’ berarti kalah. Mungkin bagi mereka yang paham akar rumput Bahasa Melayu, akan terasa biasa saja. Namun bagi orang Indonesia yang tak terlalu memahaminya, akan terdengar sangat ngeri. Karena ‘Tewas’ yang dipahami orang Indonesia adalah sesuatu yang horor, yaitu meninggalnya seseorang dengan cara tak wajar.
Beralih ke benua seberang, ada The New York Times, sebuah harian yang terbit di Amerika Serikat (AS) pun tak mau ketinggalan. Mengusung tema serius sedikit dibumbui dengan opini bahwa Pilkada DKI Jakarta adalah pertarungan Muslim vs Kristen. Yang menarik di sini, NyTimes menonjolkan sosok Ahok sebagai Gubernur Kristen dan Anies sebagai sosok Gubernur Muslim.
Bunyi kutipan salah satu berita NyTimes
“The Christian governor of Jakarta, the Indonesian capital, lost a bitterly contested race on Wednesday that was widely seen as a test of religious and ethnic tolerance in the world’s most populous Muslim-majority nation.” -Gubernur Kristen Jakarta, ibu kota Indonesia, kalah dalam pemilihan (Kepala Daerah) pada Rabu yang secara luas dilihat sebagai ujian toleransi agama dan etnik di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia-
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Pada kutipan yang lain
“It was a crushing defeat for Mr. Basuki. Opinion polls just before the election had suggested that he was in a dead heat with Mr. Anies, who is Muslim.” -Itu adalah kekalahan yang menghancurkan bagi Basuki. Jajak pendapat sebelum pemilihan tersebut menunjukkan bahwa dia kalah dengan Pak Anies, yang beragama Islam-
Bahkan pada kutipan yang lain, NyTimes menyebut bahwa muslim yang menentang Ahok adalah golongan Islam garis keras.
“At one point last year, Mr. Basuki held a double-digit lead in the polls, but his candidacy was hobbled by a criminal trial in which he was accused of blasphemy against Islam. He and his supporters say the court case — prompted by large demonstrations in the capital by hard-line Islamic groups demanding that he be prosecuted, or publicly lynched — was orchestrated by his political opponents to sabotage his campaign.” -Pada satu titik akhir tahun lalu, Basuki memimpin dua digit dalam pemilihan, namun pencalonannya terhalang oleh pengadilan pidana di mana dia dituduh menghujat Islam. Dia dan para pendukungnya mengatakan kasus pengadilan tersebut -yang didorong oleh demonstrasi besar-besaran di ibukota oleh kelompok Islam garis keras yang menuntut agar dia diadili, atau digali secara publik- diatur oleh lawan-lawan politiknya untuk menyabot kampanyenya.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Respon Tokoh Indonesia
Pemberitaan dari media-media Barat itupun langsung mendapat respon dari tokoh Indonesia, seperti misalnya Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid yang menyebut bahwa pemberitaan media Barat yang tidak berimbang itu salah sasaran, dan harus banyak belajar demokrasi kepada Indonesia.
“Menurut mereka itu adalah kemenangan radikalis atas kaum modernis. Saya bilang itu media barat perlu belajar demokrasi dari Indonesia. Media barat perlu belajar komunikasi massa dari media Indonesia,” katanya saat memberi ceramah.
Padahal seluruh media di Indonesia, termasuk media sekuler dan dikuasai bukan muslim pun, menyebut Pilkada berlangsung aman, damai, dan tertib. “Media Indonesia mengatakan berlangsung dengan aman, tertib, dan damai, semuanya harus menerima, tapi malah media barat malah ngaco. Saya bilang mereka harus belajar dari Indonesia, belajar demokrasi, belajar lagi tentang kode etik jurnalistik,” kata Hidayat.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Meski media Barat mencibir Pilkada DKI Jakarta, tambah Hidayat, Pilkada DKI Jakarta memberikan harapan yang luar biasa bagi Indonesia. Di tengah keberagaman dan gejolak sebelum pemungutan suara, ternyata ketika hari H, Pilkada berlangsung aman, damai, dan tertib.
Apapun yang dikatakan media dalam maupun luar negeri tentang Pilkada DKI 2017, itu hanyalah sekelumit kisah yang terjadi di Jakarta, dan akan ada banyak kisah-kisah lain yang tidak diceritakan oleh media. (R06/P2)
*Penulis adalah Wartawan MINA dan Mahasiswa STAI Al-Fatah Cileungsi
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin