Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Megah di Panggung, Hampa Substansi, Kritik atas Pertemuan Trump–Putin di Alaska

Widi Kusnadi Editor : Rudi Hendrik - 18 detik yang lalu

18 detik yang lalu

0 Views

Presiden Amerika Serikat Donald Trump (belakang) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (depan). (Foto: X.)

PERTEMUAN Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Anchorage, Alaska, Jumat (15/8/2025) berakhir tanpa menghasilkan kesepakatan konkret untuk perdamaian dunia, terutama Palestina dan Ukraina.

Alih-alih membawa harapan baru bagi terciptanya gencatan senjata di Palestinda dan Ukraina, pertemuan tersebut justru meninggalkan kesan seremonial belaka—megah di panggung, tetapi hampa substansi.

Publik dunia disuguhi jabat tangan hangat, latar belakang bertema “perdamaian,” dan pernyataan singkat penuh pujian, namun tidak ada peta jalan jelas menuju penyelesaian konflik.

Banyak pengamat politik internasional menilai, pertemuan Alaska ini lebih menguntungkan Kremlin daripada Washington. Putin memperoleh panggung untuk tampil sejajar dengan Trump tanpa harus memberikan konsesi berarti.

Baca Juga: Delapan Agenda Prioritas Prabowo, Antara Ambisi dan Tantangan Implementasi

Sebaliknya, Trump justru tampak terjebak dalam diplomasi simbolik, yang hanya menghasilkan foto bersama dan retorika “kemajuan” tanpa indikator nyata. Kritik pun bermunculan dari berbagai kalangan, menyebut pertemuan itu sebagai sebuah pertunjukan politik yang gagal menyentuh inti persoalan.

Padahal, ekspektasi terhadap pertemuan ini sangat tinggi. Dunia berharap adanya terobosan, setidaknya sebuah langkah awal untuk mengurangi eskalasi perang, membuka jalur kemanusiaan, atau sekurang-kurangnya membahas mekanisme gencatan senjata.

Namun kenyataannya, tidak satu pun dari itu yang terjadi. Hasil yang minim ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Trump dan Putin benar-benar serius mencari jalan damai, atau sekadar membangun citra diplomasi di depan kamera?

Kedua pemimpin dunia itu menyebut dialog “produktif,” namun faktanya tidak ada rancangan gencatan senjata, tidak ada peta jalan, bahkan tidak ada komunike bersama—sekadar konferensi pers singkat, tanpa sesi tanya-jawab, lalu bubar panggung. Itu tanda paling jelas bahwa pertemuan ini lebih seremonial ketimbang substantif.

Baca Juga: Kemerdekaan Indonesia, Palestina, dan Keadilan Global

Secara simbolik, gelaran ini megah—tiba, berjabat tangan, latar belakang “peace”—namun substansinya kosong. Media arus utama di AS kompak menegaskan: tak ada deal, tak ada jeda pertempuran.

Ketika pertarungan narasi diakhiri dengan pernyataan samar “kemajuan besar,” publik justru kehilangan alat ukur: kemajuan seperti apa, di sektor mana, dan kapan akan diuji? Absennya parameter dan mekanisme verifikasi membuat klaim itu sebatas retorika.

Dari kacamata kebijakan, ini problem ganda. Pertama, proses: Ukraina—pihak yang paling terdampak—tidak hadir di ruangan, melainkan dijanjikan “akan ditelepon” setelahnya. Itu menegaskan pendekatan top-down yang berisiko memberi ruang bagi Moskow menata ulang bingkai isu tanpa counter langsung dari Kyiv.

Kedua, hasil: tanpa dokumen resmi atau even “kerangka prinsip,” Moskow tetap bisa melanjutkan operasi militer sembari mengutip foto bersama sebagai bukti normalisasi.

Baca Juga: Andil Pemimpin Negara Dalam Krisis Global

Para analis lintas lembaga juga tidak melihat adanya terobosan bagi upaya perdamaian. Atlantic Council menyimpulkan, keluarnya kedua pemimpin “tanpa kesepakatan” berarti tidak ada perubahan kalkulus perang; Kremlin mempertahankan inisiatif lapangan, sementara Barat tidak memperoleh konsesi verifiable untuk de-eskalasi.

Dengan kata lain, diplomasi yang baik tidak diukur dari lamanya pertemuan, melainkan dari instrumen yang bisa diaudit: akses kemanusiaan, pertukaran tawanan, atau pengaturan zona demiliterisasi—semuanya nihil.

Bahkan pasar—yang kerap sensitif terhadap geopolitik—membaca hasilnya datar: tidak ada sanksi baru, tidak ada perubahan arus energi jangka pendek, dan risiko perang sudah “priced in.” Artinya, pelaku pasar memersepsikan puncak Alaska sebagai event yang lebih mirip pertunjukan ketimbang momen kebijakan.

Al Jazeera dan Washington Post menekankan fakta kunci: tidak ada gencatan senjata; konferensi pers singkat; keluar panggung tanpa membuka diri pada pertanyaan—sebuah praktik yang menghindari akuntabilitas publik.

Baca Juga: Kemerdekaan Indonesia dan Janji untuk Palestina

Dalam diplomasi modern, transparansi proses adalah bagian dari modal legitimasi. Ketika transparansi dilepas, legitimasi hasil ikut menipis.

Dari sisi strategi, ini juga pertanda sinyal redup bagi koalisi pendukung Ukraina. Moskow tidak punya niatan untuk mengubah perilaku. Tidak ada kesepakatan untuk mengakhiri atau menghentikan perang.” Dalam kamus negosiasi konflik berkepanjangan, “tidak ada apa-apa” praktis berarti “status quo berlanjut.”

Sebagian tokoh politik dan pengamat menilai panggung Alaska justru memberi Kremlin ruang “mitra setara” tanpa biaya kebijakan. Kritik ini muncul dalam berbagai bentuk: dari think tank trans-Atlantik yang menuntut outcome terukur, hingga pejabat Eropa yang mengingatkan bahaya “propaganda prestasi.”

Pertemuan Alaska adalah peluang yang terlewat. gencatan senjata lokal, koridor kemanusiaan masih jauh dari harapan masyarakat global. Itu sebabnya, bagi yang mengharapkan perubahan nyata, puncak Alaska layak disebut: megah di panggung, hampa di substansi. []

Baca Juga: Ulama Asal Palestina Dikirim oleh Turki Utsmani ke Aceh

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda