Oleh Urfa Kaida, Aktivis Aqsa Working Group (AWG) Jawa Barat
Prof. Dr. Abd al-Fattah Muhammad El-Awaisi adalah seorang akademisi Palestina-Inggris yang menekuni Studi Yerusalem (Baitul Maqdis) dan hubungan internasional. Ia dikenal atas pemikirannya yang menggabungkan aspek sejarah, spiritual, geopolitik, dan keilmuan dalam memperjuangkan pembebasan Baitul Maqdis (Masjid Al-Aqsha).
Penelitian puluhan tahunnya tentang Baitul Maqdis antara lain termuat pada buku terbarunya, “Rencana Strategis Pembebasan Masjid Al-Aqsa” yang diterbitkan oleh Suara Muhamamdiyah dalam edisi bahasa Indonesia, cetakan kedua, Februari 2025.
Salah satu penelitiannya yang penting adalah Teori Lingkaran Keberkahan (Barakah Circle Theory atau The Barakah Circle Theory), yang mencoba menawarkan kerangka geopolitik Islam alternatif dengan Baitul Maqdis sebagai pusat keberkahan spiritual dan strategis dunia Islam.
Baca Juga: Dua Tahun Serangan Israel di Gaza: Genosida Layanan Kesehatan
Teori ini dibangun atas kesadaran bahwa Baitul Maqdis secara historis dan religius adalah tempat yang sangat diberkahi (al-Ardh al-Muqaddasah, al-Ardh al-Mubarakah), bukan hanya karena bangunan fisiknya, tetapi karena hubungan spiritual dan kenabian yang menyertainya.
Beberapa ayat dan narasi sejarah umat Islam dijadikan rujukan untuk memahami makna tersebut, di antaranya surah Al-Isra ayat 1.
Prof. El-Awaisi menekankan bahwa umat Islam selama ini terlalu banyak bereaksi emosional terhadap persoalan Palestina tanpa fondasi ilmiah yang kuat lewat riset, pengkajian sejarah, politik, strategi, dan integrasi antar disiplin ilmu.
Padahal, ilmu harus menjadi pemimpin dalam persiapan pembebasan. Prof. El-Awaisi mengajak kepada kaum muslimin untuk melakukan aksi nyata dengan apapun yang bisa dilakukan salah satunya riset secara terus-menerus hingga menghasilkan teori yang diambil dari landasan syar’i.
Struktur Lingkaran Strategis
Baca Juga: Mundur Bukan Strategi — Ini Pengakuan Kalah Telak Israel
Teori ini memetakan wilayah-wilayah dalam tiga lingkaran yang saling terkait:
Lingkaran Pertama, yaitu Baitul Maqdis sebagai pusat keberkahan (Ardhul Muqaddasah). Lingkaran Kedua, yaitu tanah yang diberkahi, yang meliputi kawasan Syam. Kawasan ini merupakan wilayah yang sangat mempengaruhi keamanan, stabilitas, dan keberlanjutan Baitul Maqdis. Wilayah ini sebut dengan negeri yang berkah (Ardhul Mubarakah).
Lingkaran Ketiga, yaitu kawasan luas Timur Islam, maeliputi Hijaz, Turki, Irak, sebagian Afrika Utara, Teluk, dan sekitarnya. Wilayah ini menjadi arena strategis diplomasi, budaya, ideologi, dan kekuatan kekuasaan.
Diluar Lingkaran Ketiga, yaitu seluruh kawasan yang berada di luar lingakaran ke satu, dua dan tiga, Termasuk Indonesia di dalamnya. Sebagai pusat keberkahan, Baitul Maqdis merupakan titik pangkal. Dari sana keluarlah “gelombang keberkahan” yang menyebar dalam lingkaran-lingkaran yang lebih besar.
Orasinya bukan hanya spiritual, tetapi juga strategis: bagaimana pengaruhnya ke wilayah-wilayah sekitar bisa memperkuat pertahanan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Baca Juga: Menanti Sikap Indonesia terhadap Rencana Kehadiran Atlet Israel
Stabilitas di lingkaran kedua dibutuhkan agar keberkahan pertama bisa bertahan. Sedangkan kekuatan di lingkaran ketiga menjadi penjamin bahwa lingkaran kedua bisa kuat, dan bahwa keberkahan pusat tidak dikepung kekuatan kontraproduktif.
Selanjutnya, Teori Keberkahan ini tidak hanya bersifat teoritis maupun metaforis, Prof. El-Awaisi menyebut bahwa strategi praktisnya meliputi pembelajaran sejarah dan pemahaman keilmuan tentang Baitul Maqdis, kemudian aktivitas siyasi/diplomasi atau hubungan internasional, dan jika diperlukan aspek pertahanan.
Implikasi dan Manfaat
Teori Keberkahan ini mendorong umat Islam tidak hanya peduli secara emosional terhadap Palestina, tetapi juga memahami secara ilmiah, strategis, dan komprehensif. Hal ini bisa memperkuat posisi tawar dalam wacana internasional.
Baca Juga: Rahasia Doa Rizki Halal dan Berkah, Mendapatkan Rezeki Tanpa Beban Berat
Teori Keberkahan ini juga akan mengundang universitas, lembaga penelitian, aktivis, dan masyarakat luas untuk membangun kurikulum, riset, kajian yang berkaitan dengan Yerusalem sebagai bagian dari identitas dan tanggung jawab keilmuan.
Selanjutnya, dengan memahami bingkai geopolitik lingkaran keliling ini, strategi diplomasi, koalisi antar negara muslim, dan tindakan politik dapat diarahkan agar memperkuat stabilitas di lingkaran kedua dan ketiga, sebagai syarat agar lingkaran pertama (Baitul Maqdis) bisa aman.
Adapun peran Negara-negara di luar konflik langsung seperti Indonesia, tetapi memiliki potensi besar sebagai pusat atau leader ilmu (I’dad Ma’rifi) dan solidaritas global. Teori ini memberikan landasan bahwa negara-negara muslim yang stabil dan berpendidikan tinggi bisa menjadi “penyangga” dalam lingkaran ketiga untuk membantu lingkaran yang lebih dalam.
Teori Lingkaran Keberkahan Prof. Dr. Abd al-Fattah El-Awaisi tentu menawarkan visi besar tentang bagaimana keberkahan spiritual dari Baitul Maqdis bisa dipahami bukan hanya secara lokal, tetapi dalam jaringan geopolitik wilayah yang saling berinteraksi.
Baca Juga: Negara Adidaya Lumpuh: Amerika Serikat Resmi Shutdown, Rakyat Terjerat Ketidakpastian
Teori tersebut menyajikan kerangka yang menggabungkan iman, sejarah, strategi, dan geografi dalam satu panorama peradaban yang mendorong umat Islam untuk tidak pasif, tetapi aktif merespons panggilan keilmuan dan tanggung jawab moral terhadap tempat suci tersebut.
Artikel ini hendaknya menjadi ajakan refleksi: apa peran kita dalam lingkaran ini? Apakah di lingkaran pertama? Kedua? Ketiga? atau bahkan di luar lingkaran ketiga?
Yang jelas, bagaimana kita menguatkan ilmu, solidaritas, serta aksi nyata agar teori ini bukan sekadar gagasan, tetapi gerakan perubahan untuk membebaskan Baitul Maqdis yang di dalamnya terdapat Kompleks Masjidil Aqsa, tanah wakaf umat Islam.
Maka menjadi tanggung jawab kita semua untuk memuliakan dan membebaskan Al-Aqsa dari belenggu penodaan dan penjajahan Zionis Yahudi. []
Baca Juga: Bantuan Udara adalah Rudal Jenis Baru
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Influencer Dibayar, Palestina Berdarah: Perang Sunyi di Media Sosial