mandiri-300x250.jpeg" alt="" width="300" height="250" />Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka apabila telah selesai shalat Jumat, maka bertebaranlah kamu di bumi dan tuntutlah rizki dan karunia Allah dan ingat Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (Qs. Al Jum’ah: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menerangkan selain menunaikan kewajiban ibadah, manusia juga dianjurkan untuk bertebaran melaksanakan urusan duniawi. Mencari rizki halal yang dapat memberikan manfaat sebagai bekal hidup dan ibadah. Sehingga tercapai keseimbangan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Secara tersirat ayat ini menunjukan bahwa, orang beriman ialah manusia yang memiliki tanggungjawab tentang hidup dan kehidupan secara fisik maupun spiritual, sebagai khalifah di bumi ini. Oleh sebab itu Allah menyuruh manusia agar berusaha dan bekerja merubah nasibnya, tidak tergantung pada orang lain, ia harus mandiri.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Tentang kemandirian ini sebenarnya Allah Ta’ala sudah menegaskan dalam firmanNya yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan (nasib) suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan (nasib) yang ada pada diri mereka sendiri.” (Qs. Ar Rad: 11). Ayat ini secara jelas mengandung perintah seseorang harus mandiri dan berusaha sekuat tenaga untuk merubah nasibnya sendiri dari kondisi yang kurang baik menjadi pada kondisi yang lebih baik, tentu dengan bekerja keras secara mandiri dan penuh tawakal pada Allah Ta’ala.
Secara moral ia harus mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya. Karena itu agar kuat, dia harus menjalin hubungan kepada sang pencipta alam semesta dengan ikatan yang disebut “hablun minallah” yaitu iman dengan segala perangkatnya dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, bersandar, menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah SWT. Ia harus membuat suasana kehidupan yang aman, nyaman, damai dan dapat memberi manfaat terhadap sesama. Nilai seseorang memang sangat tergantung dari banyak sedikitnya manfaat kepada orang lain. Sifat mandiri inilah yang menjadikan ia berusaha untuk memberikan manfaat kepada orang lain.
Dari Abu Abdillah Adz- Zubair bin Al Awwam radhiallahu’anhu, Rasulullah SAW bersabda, “Demi sekiranya salah seorang dari kamu membawa tali dan pergi ke gunung untuk mencari kayu, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual dan dengan itu dapat menutup air mukanya, maka yang demikian itu lebih baik daripada meminta-minta pada orang lain, baik mereka memberi atau menolak padanya.” (HR. Bukhari)
Dari hadis di atas menunjukan, harga diri seorang beriman ditandai oleh sifat mandiri dan muru’ah, yaitu menjaga diri agar tetap terhormat di sisi Allah SWT. Walaupun ia harus bermandikan keringat, dan bekerja keras. Daripada ia harus menengadahkan tangannya untuk meminta belas kasih orang lain. Jauh lebih terhormat bila ia berusaha dengan tangannya sendiri dan menikmati hasil jerih payah keringatnya sendiri.
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Dari Hakim bin Hizam radhiallahu’anhu, Rasulullah SAW bersabda, “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, dan dahulukan dalam bersedekah kepada orang yang menjadi tanggungjawabmu, dan sebaik-baik sedekah yang masih meninggalkan kekayaan. Dan siapa yang sopan, segan (menjaga diri), Allah akan memelihara kehormatan dirinya, dan barang siapa yang mencukupkan dengan kekayaan yang ada, Allah akan mencukupkannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari hadis di atas memberi pengertian antara lain:
Pertama, Rasulullah SAW menganjurkan kepada setiap mukmin agar menjadi manusia berjiwa mandiri yang mampu mengatasi keperluannya sendiri. Bahkan dapat memberikan kontribusi dan berbagi kebahagiaan kepada orang lain.
Kedua, mukmin adalah manusia mandiri yang bertanggungjawab terhadap keluarga dan terhadap orang yang menjadi tanggungjawabnya.
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI
Ketiga, berusaha untuk tidak menjadi “tangan di bawah” yaitu selalu meminta-minta kepada orang lain, kecuali pada batas-batas yang dibolehkan menurut islam. Jika iapun harus minta tolong maka ia harus melakukan dengan sopan dan tidak memaksa.
Keempat, menjaga kehormatan diri atau iffah dari sifat tercela. Apalagi hanya karena dorongan untuk mendapatkan materi, hidup enak tanpa harus bersusah payah. Orang beriman akan selalu menjaga muru’ah dan berusaha dengan cara terhormat dan terpuji.
Kelima, jiwa mandiri harus selalu didampingi oleh qana’ah yaitu merasa cukup dengan apa yang ada, sehingga ia betul-betul dapat menikmati rizki karunia Allah dari hasil keringatnya sendiri menjadikan hidup tenteram dan berkah penuh rasa syukur kepada Allah SWT.
Karena itu, berusahalah untuk mandiri dan jangan pernah bergantung kepada orang lain apalagi sampai meminta-minta mengharap uluran tangan orang. Jika orang lain saja bisa mandiri, mengapa kita tidak.(RS3/P1)
Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika
(Sumber: “25 Karakter Orang Beriman” , karya KH Abul Hidayat Saerodjie)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-6] Tentang Halal dan Haram