Di tengah birunya Laut Tengah, sebuah kapal kecil melaju bersama armada besar Global Sumud Flotilla. Kapal itu diberi nama Shireen Abu Akleh, jurnalis veteran Al Jazeera yang ditembak mati oleh tentara penjajah Zionis Israel di Jenin pada 2022. Namanya kini diabadikan bukan sekadar sebagai simbol, melainkan sebagai pengingat bahwa kebenaran sering kali dibayar dengan nyawa.
Di atas kapal itu, para pengacara, relawan, dan aktivis hak asasi manusia mendokumentasikan setiap fakta pelayaran. Tugas mereka jelas, yakni mengumpulkan bukti hukum, menjaga saksi, dan memastikan kejahatan terhadap jurnalis tidak hilang ditelan gelombang laut politik global.
Sebuah pesan tertulis di dinding kapal: “Kami menghormati para jurnalis Palestina yang mempertaruhkan segalanya demi menyampaikan kebenaran. Misi ini bukan tentang politik. Misi ini tentang martabat manusia, kebebasan, dan hak hidup warga Palestina.”
Namun di Gaza, kenyataan berkata lain. Setiap hari, suara-suara yang berusaha menceritakan kebenaran itu justru dibungkam dengan cara paling brutal.
Baca Juga: Pacaran Bikin Gelisah, Nikah Mendatangkan Berkah
Sejak 7 Oktober 2023, Gaza telah menjadi tempat paling mematikan di dunia bagi jurnalis dalam sejarah modern. Menurut Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) dan Sindikat Jurnalis Palestina (PJS), per 18 Septermber 2025, sedikitnya 222 jurnalis dan pekerja media Palestina tewas sejak perang Gaza pecah pada 7 Oktober 2023.
PJS menegaskan, sebagian besar korban tewas saat sedang menjalankan tugas jurnalistik, baik meliput serangan udara, dokumentasi korban sipil, maupun saat berada di rumah atau tempat pengungsian yang diserang.
Komunitas internasional, termasuk organisasi media dunia, terus menekan Israel agar menghentikan serangan terhadap pekerja pers. Amnesty International dan Human Rights Watch sebelumnya menyebut tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang jika terbukti dilakukan secara sistematis.
IFJ dan PJS kini tengah mendokumentasikan setiap kasus kematian jurnalis untuk disampaikan ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebagai bagian dari bukti kejahatan perang terhadap media.
Baca Juga: Semua Orang Sudah Muak dengan Perilaku Biadab Zionis Israel
Bukan hanya mereka yang tewas di medan liputan. Banyak jurnalis terbunuh bersama keluarga mereka ketika rumah mereka dihantam bom. Kantor media, termasuk milik Al Jazeera, Associated Press, dan Reuters, hancur oleh serangan udara.
Organisasi Reporters Sans Frontières (RSF) bahkan menyebut bahwa Israel melakukan “targeted killings (pembunuhan tertarget)” terhadap wartawan. Mereka mengajukan kasus ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC), menuding serangan itu termasuk kejahatan perang.
Salah satu yang paling menggetarkan adalah Wael Dahdouh, kepala biro Al Jazeera di Gaza. Dalam satu serangan, istrinya, anak-anaknya, dan cucunya tewas. Beberapa bulan kemudian, putra sulungnya yang juga jurnalis, Hamza, meninggal dalam serangan drone Israel. Meski porak-poranda secara pribadi, Wael tetap melaporkan. Dunia menyaksikan bagaimana seorang ayah mengabarkan kematian keluarganya sendiri, dengan mata berkaca-kaca, tapi kamera tetap menyala.
Membunuh Saksi, Membungkam Kebenaran
Baca Juga: Suara dari Gaza: “Kami Manusia, Masih Layak Hidup”
Laporan investigasi gabungan dari organisasi-organisasi perlindungan wartawan, termasuk CPJ, Reporters Sans Frontières (RSF) dan Human Rights Watch, menggambarkan sebuah pola yang mengerikan dan berulang: serangan yang terukur terhadap mereka yang melaporkan. Ini bukan sekadar insiden sporadis; bukti-bukti yang terkumpul memperlihatkan pendekatan yang sistematis, terencana, dan multifaset untuk meniadakan saksi sekaligus menghapus jejak kebenaran.
1. Serangan drone presisi
Salah satu modus paling mengerikan adalah penggunaan drone presisi terhadap wartawan yang sedang melakukan peliputan langsung. Ada terlalu banyak dokumentasi video di mana kamera menyiarkan secara real time, lalu sesaat setelah itu terdengar ledakan, dan operator atau kru liputan menjadi korban.
Dalam beberapa kasus, kendaraan yang jelas bertanda PRESS menjadi sasaran tembakan yang nampak terarah, bukan sekadar serangan area. Pola ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin jurnalis, yang beroperasi sebagai warga sipil, menjadi sasaran berulang dalam konteks di mana identitas mereka sudah jelas terlihat?
Baca Juga: Saat Pacaran Jadi “Tren”, Nikah Jadi “Beban”
2. Penghancuran infrastruktur media
Membungkam suara juga dilakukan dengan menghancurkan sarana produksi berita: kantor redaksi dibom, peralatan diserang, arsip dan rekaman yang menjadi bukti lapangan musnah. Ketika infrastruktur hancur, kapasitas komunitas untuk mendokumentasikan dan mengunggah bukti merosot drastis, apalagi bila akses internet dan jaringan telekomunikasi diputus berkala.
Akibatnya, wilayah konflik yang paling parah sekaligus paling membutuhkan sorotan publik menjadi yang paling kekurangan saksi independen. Penghapusan data dan arsip liputan adalah upaya memutus kontinuitas bukti yang esensial bagi proses akuntabilitas di kemudian hari.
3. Teror terhadap keluarga wartawan
Baca Juga: Suara dari Jalanan Florence: Truk Kesadaran Palestina dan Pergulatan Solidaritas di Eropa
Strategi yang lebih halus tetapi sama kejamnya adalah menargetkan rumah dan keluarga wartawan. Ketika istri, anak, atau orang tua seorang jurnalis menjadi korban serangan, efek psikologisnya jauh melampaui korban fisik, yaitu ketakutan mendalam, trauma keluarga, dan tekanan moral untuk berhenti melaporkan demi keselamatan orang terdekat. Ini bukan hanya tentang mengintimidasi individu; ini tentang mengubah kalkulasi kolektif bagi komunitas media, apakah risiko meliput masih layak diambil bila taruhannya nyawa keluarga? Dampak akhirnya adalah autocensorship: berita yang tidak lagi terungkap karena wartawan menahan diri demi melindungi orang yang dicintainya.
Seorang jurnalis Gaza merangkum pahitnya realitas itu: “Israel tidak hanya menyerang tubuh kami, tapi juga menyerang ingatan, bukti, dan saksi. Mereka ingin dunia buta.” Pernyataan ini bukan hiperbola; ia adalah pengakuan yang muncul berulang dalam wawancara dengan para awak media yang selamat, mereka menyaksikan satu per satu rekan mereka gugur, kantor mereka runtuh, dan sinyal komunikasi yang menghubungkan mereka ke dunia luar kerap terputus.
Dari perspektif hukum dan etika, pola-pola ini membawa implikasi serius. Jurnalis adalah warga sipil yang dilindungi oleh hukum humaniter internasional; menyerang mereka atau fasilitas media tanpa pembenaran militer yang sah merupakan pelanggaran. Lebih jauh lagi, bila pembunuhan jurnalis dan penghancuran bukti terbukti disengaja dan sistematis, maka tindakan tersebut harus dianalisis sebagai bagian dari dugaan kejahatan perang yang menargetkan kemampuan masyarakat untuk menyaksikan dan menilai tindakan-tindakan pihak yang berkonflik.
Dampaknya bukan hanya lokal. Ketika jurnalis dibungkam, masyarakat internasional kehilangan akses pada fakta primer, laporan lapangan, wawancara saksi, rekaman kejadian. Dalam kekosongan informasi itu, narasi yang menguntungkan pihak kuat lebih mudah menguat, dan akuntabilitas kian jauh dari jangkauan. Itulah mengapa perlindungan terhadap media bukan hanya soal pembelaan profesi: itu adalah garis depan penegakan kebenaran, hukum, dan hak asasi manusia.
Baca Juga: 6 Kesalahan Fatal Da’i Era AI
Tembok Lobi dan Politik Bungkam
Mengapa dunia masih sulit menindak tegas Israel? Jawabannya ada pada kekuatan lobi politik, terutama AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) di Amerika Serikat (AS).
AIPAC dikenal sebagai salah satu lobi politik paling berpengaruh di Washington. Mereka mengucurkan dana miliaran dolar untuk mendukung kandidat pro-Israel dalam pemilu AS. Siapa pun yang berani menentang, berisiko kehilangan kursi politik.
Akibatnya, meskipun AS tahu jurnalis terbunuh dalam jumlah besar, bahkan warga sipil yang sebagian besar anak-anak dan perempuan juga menjadi sasaran genosida, dukungan militer dan finansial untuk Israel tidak berhenti. Sebaliknya, paket bantuan senilai miliaran dolar terus mengalir.
Baca Juga: Fenomena Muslim Abangan: Cinta Budaya, Lupa Syariat
Uni Eropa pun tak jauh berbeda. Beberapa negara seperti Jerman dan Prancis memilih bungkam, bahkan menekan gerakan solidaritas pro-Palestina di dalam negeri. Di sisi lain, rakyat Eropa justru bergerak: protes mahasiswa, boikot seniman, hingga aksi jalanan massal.
Kesenjangan antara suara rakyat dan kebijakan elit inilah yang mendorong munculnya misi-misi rakyat, seperti Global Sumud Flotilla.
Apa Kata Hukum Internasional?
Konvensi Jenewa 1949 dengan jelas menyatakan bahwa jurnalis sipil adalah warga sipil dan wajib dilindungi dalam konflik bersenjata. Menyerang mereka adalah pelanggaran hukum humaniter internasional.
Baca Juga: Awal Kebinasaan: Merasa Diri Tanpa Cacat
Lebih jauh, Statuta Roma ICC Pasal 8 menyebut bahwa pembunuhan terhadap jurnalis dalam konflik dapat digolongkan sebagai kejahatan perang.
Namun, hingga kini, Israel belum pernah diadili secara serius atas pembunuhan jurnalis. Investigasi PBB berulang kali diblokir. Bahkan dalam kasus Shireen Abu Akleh, bukti-bukti jelas menunjukkan tembakan tentara Israel, tapi otoritas penjajah Zionis Israel menolak bertanggung jawab.
Kapal Shireen Abu Akleh dalam Global Sumud Flotilla membawa misi penting, yakni mendokumentasikan semua pelanggaran hukum di laut dan menyiapkannya sebagai bahan untuk ICC.
Suara dari Gaza: “Kami Masih Manusia”
Baca Juga: Pascaserangan Israel ke Qatar, Akankah Kantor Hamas Ditutup?
Dr. Nagham Abu Hamila, seorang relawan medis di Gaza, menulis laporan untuk Global Sumud Flotilla pada Sabtu (20/9/2025): “Dengan hati yang berat, kami harus meninggalkan Gaza City ke arah selatan setelah pengeboman tak henti-henti. Rumah hancur, anak-anak ketakutan, tidak ada tempat aman. Tapi kami tetap bersuara: kami masih di sini, masih manusia, dan masih layak hidup.”
Pesan tersebut mempertegas serangan terhadap jurnalis dan relawan bukan hanya soal korban individu, melainkan upaya sistematis menghapus eksistensi sebuah bangsa.
Indonesia Menyuarakan dari Nusantara
Indonesia punya sejarah panjang dalam membela Palestina. Dalam Global Sumud Flotilla 2025, delegasi Indonesia melalui Aqsa Working Group (AWG) mengirimkan relawan kemanusiaan, termasuk Muhammad Fatur Rohman, pemuda 21 tahun dari Depok yang ikut berlayar menuju Gaza. Ia bergabung dengan kapal Kamr bersama aktivis dari Mauritania dan Aljazair.
Baca Juga: Dari Gaza ke Qatar, Watak Asli Penjajah Zionis Terbongkar
Fatur berpesan sebelum berangkat: “Ketika kita menolong orang, itu akan menjadi jalan menuju surga.”
Bendera Indonesia berkibar di Laut Tengah, berdampingan dengan bendera Palestina, Tunisia, Mauritania, dan Aljazair. Meski jumlah kapal yang berangkat lebih sedikit dari target (42 dari rencana 70), semangat para aktivis tidak surut.
Ketua Presidium AWG, Muhammad Anshorullah, menegaskan “Delegasi Indonesia tetap membersamai misi ini sampai selesai. Ini bukan hanya soal bantuan, tapi soal suara kebenaran.”
Veteran, Akademisi, dan Suara Global
Gerakan solidaritas untuk Palestina terus menemukan bentuk-bentuk baru, dari dek kapal di Laut Tengah hingga aula kampus dan panggung seni di kota-kota besar dunia.
Di atas salah satu kapal armada Global Sumud Flotilla, delapan veteran perang Amerika Serikat kini berlayar menuju Gaza. Mereka datang bukan dengan senjata, melainkan dengan tekad untuk membongkar kebisuan.
Pesan mereka tegas: “Pengabdian sejati berarti berdiri bersama Palestina.” Keputusan mereka bergabung dengan flotilla bukan sekadar simbolik, tetapi juga bentuk pertarungan moral terhadap mesin perang yang dulu mereka layani. Kehadiran mereka memberi bobot politik tersendiri, terutama di tengah opini publik AS yang kian kritis terhadap kebijakan luar negeri Washington.
Di Eropa, denyut solidaritas tak kalah kuat. Universitas-universitas di Inggris, Prancis, dan Belanda diguncang gelombang protes mahasiswa.
Mereka mendesak institusi akademik memutuskan kerja sama dengan lembaga-lembaga Israel yang terlibat dalam penjajahan dan militerisasi. Tuntutan itu menggema dalam aksi-aksi kampus, menegaskan bahwa generasi muda menolak diam di hadapan ketidakadilan.
Di dunia seni, seniman di Berlin, Paris, hingga Barcelona memilih jalur perlawanan kultural. Mereka memboikot festival yang mendapat sponsor dari lembaga resmi Israel. Dari kanvas hingga panggung musik, karya seni berubah menjadi medium protes yang menyuarakan nilai kemanusiaan.
Sementara itu, gerakan Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) semakin mengakar di ruang publik Eropa. Meski beberapa negara mencoba membatasi gerakan ini dengan perangkat hukum, kampanye BDS terus muncul di jalan-jalan, ruang kelas, hingga ruang virtual. Label “boycott Israel” menjadi simbol moral yang melawan normalisasi penjajahan.
Semua ini menunjukkan satu hal, meski banyak pemerintah memilih bungkam atau mengambil posisi aman, rakyat dunia justru bergerak. Dari veteran hingga mahasiswa, dari pelukis hingga pegiat HAM, suara global kian bulat: kemerdekaan Palestina bukan sekadar isu politik regional, melainkan pertaruhan kemanusiaan universal.
Serangan terhadap jurnalis di Gaza bukan hanya tentang kematian puluhan wartawan. Itu adalah upaya terencana untuk mematikan kebenaran. Tanpa saksi, tanpa liputan, dunia akan dibiarkan dalam gelap.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa kebenaran selalu menemukan jalannya. Dari Shireen Abu Akleh hingga Wael Dahdouh, dari relawan AWG di Indonesia hingga veteran AS yang kini berlayar, suara-suara itu tidak bisa dibunuh.
Kapal Shireen Abu Akleh yang mengarungi Laut Tengah adalah saksi. Ia membawa pesan yang menembus batas laut dan politik: “Mereka bisa membunuh tubuh kami, tapi tidak suara kami. Dunia harus mendengar. Gaza harus bebas.”[]
Mi’raj News Agency (MINA)