Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
Hari terbaik, bahkan induknya hari, mengiringi adzan shalat Shubuh, menjadi waktu wafatnya Imaamul Muslimin Syaikh Muhyiddin Hamidy (81 tahun atau 84 tahun kalender Hijriyah), Lahir Sawah Lunto, Padang, Sumatera, 21 Desember 1933 atau tahun 1352 Hijriyah. Wafat pada Jumat 18 Shafar 1436 H. bertepatan 12 Desember 2014 M. sekitar pukul 04.15 Waktu Indonesia Barat (WIB), di kediaman almarhum Kompleks Pondok Pesantren Al-Fatah Al-Muhajirun, Desa Negararatu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, Indonesia.
Dunia Islam Berduka
Dunia Islam berduka atas wafatnya Khalifah kaum Muslimin, pemegang amanah pimpinan pembebasan Al-Aqsha hasil Konferensi Al-Quds Bandung 2012. Betapa, sebagian besar waktu hidup almarhum digunakan untuk menegakkan kalimah Allah, khususnya dalam memperjuangkan Al-Aqsha.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Kalimat-kalimat dukacita pun datang dari berbagai tokoh perjuangan dunia Islam, di antaranya, Syaikh Dr. Mahmoud Anbar, Dekan Ulumul Quran Universitas Islam Gaza, begitu mendengar berita duka tersebut, ia menyebutkan di akun jejaring sosialnya, “Syaikh Muhyiddin Hamidy, pemimpin yang hebat dan kuat, telah meninggalkan jejak-jejak kebaikan, terutama terkini seperti pembangunan Masjid An-Nubuwwah yang memfungsikan masjid sesuai tuntunan Nabi serta Shuffah Al-Quran Abdullah bin Mas’ud Online, pengajaran Al-Quran jarak jauh secara online”.
Menurut salah satu pengajar Shuffah Al-Quran dari Gaza melalui skype itu, almarhum merupakan pemimpin terbaik yang Allah pilih, wafat pada hari terbaik, pada waktu terbaik menjelang Shubuh, ujarnya, mengungkap kesedihan mendalam.
Sosok juang Syaikh Hamidy, disampaikan juga oleh Juru Bicara Harakah Jihad Islami Palestina di Jalur Gaza, Syaikh Omar Shallah, dalam siaran resminya, menyebutkan lurusnya pandangan almarhum, dalam melihat permasalahan muslimin, terutama masalah Al-Aqsha dan Palestina.
“Konsistensinya dalam perjuangan dan dalam sosialisasi Palestina dan Al-Aqsha, patut diteruskan,” katanya saat menyampaikan belasungkawanya melalui relawan Indonesia dari Jama’ah Muslimin (Hizbullah) di Bayt Lahiya, Gaza Utara, Jumat (12/12/204).
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Syaikh Dr. Aly Al-Abbasy, Imaam Besar Masjid Al-Aqsha di Al-Quds, Wilayah Tepi Barat, begitu menerima informasi wafatnya sahabat seperjuangannya, Syaikh Hamidy, langsung menyeru kepada jama’ah Masjid Al-Aqsha untuk mendoakannya dari kawasan bumi penuh berkah, dari kawasan Isra Mi’raj Nabi, kiblat pertama umat Islam, Al-Quds Palestina.
“Kami semua jamaah Masjid Al-Aqsha mendoakan agar Imaamul Muslimin Syaikh Muhyiddin Hamidy diberikan tempat yang tertinggi oleh Allah di syurga-Nya dan dipertemukan dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atas upayanya dan kecintaannya terhadap Al-Aqsha semasa hidupnya,” ujar Syaikh Abbasy.
Al-Abbasy kenal dekat dengan almarhum saat mendapat undangan dari almarhum untuk menghadiri Konferensi Internasional tentang Pembebasan Masjid Al-Aqsa di Bandung pada tanggal 14-15 Sya’ban 1433 H. / 4-5 Juli 2012 M. lalu.
“Kami pernah diundang oleh Imaam Muhyiddin Hamidy untuk menghadiri konferensi internasional yang diikuti oleh aktivis Palestina dari berbagai negara bertempat di Bandung” ujarnya, memberikan penghargaan tertinggi atas beberapa kali upaya Imaam Hamidy menerobos ke Masjid Al-Aqsha dan berhasil shalat di dalamnya, termasuk waktu pelaksanaan Global March to Jerussalem (GMJ) tahun 2012.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Isteri Al-Abbasy, Ummi Aisyah, secara khusus mengirimkan ucapan belasungkawa melalui elektronik mail ke Onny Firyanti, puteri bungsu almarhum.
“Salam, belasungkawa dari hati terdalam, semoga almarhum dimasukkan ke dalam surga,” ujar Aisyah.
Dari kawasan Asia, terkirim ucapan duka cita dari Ustadz Dr. Abdullah Abu Bakar al-Fathoni, atas nama Majlis Agama Islam Pattani, Thailand, yang secara resmi mengucapkan ta’ziyah belasungkawa atas wafatnya Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah), Syaikh Muhyiddin Hamidy pada Jumat (12/12/2014) kemarin.
“Kami para ulama khususnya di Pattani, Thailand, dengan ini mengucapkan ta’ziyah kepada semua keluarga Imaamul Muslimin, kaum muslimin di Indonesia, keluarga besar Al-Fatah di seluruh Indonesia, serta warga Jama’ah Muslimin (Hizbullah),” ujar Ustadz Abdullah, Mudir Ma’had At-Tazkiyyah ad-Diniyyah Yala, Pattani, yang berencana memenuhi undangan Imaam di Lampung dalam dialog Muslim Indonesia-Pattani, 21-22 Desember mendatang.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Walau belum terlalu lama kenal, baru sekitar setahun lalu, namun visi perjuangannya yang jauh ke depan, membuat ia merasakan kehilangan seorang tokoh ulama dunia.
“Semoga Imaam Hamidy dikumpulkan bersama dengan para Nabi, orang-orang sholeh, shiddiqin, dan para syuhada,” doanya.
Beberapa aktivis masalah Palestina mengungkapkan rasa duka senada, di antaranya datang dari Ustadz Herri Nurdi (Penulis buku-buku tentang Zionisme Internasional), Ustadz Ferry Nur (Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina/KISPA), Ustadz Agus Sudarmaji (Ketua Aqsa Working Group/AWG), dan lainnya.
Ustadz Ferry Nur bersama kaum muslimin di Jakarta bahkan melaksanakan shalat ghaib untuk almarhum di Masjid Metropolitan Jakarta, seusai shalat Jumat.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Naufal Mahfudz, Direktur Sumber Daya Manusia LKBN Antara, menambahkan saat berta’ziyah ke rumah duka, bahwa sosok almarhum merupakan organisatoris dan manajer ulung pada sebuah kantor berita besar Antara dan setelah pensiun di Kantor berita Islam MINA.
“Almarhum banyak memberikan contoh teladan untuk generasi berikutnya, yaitu dengan kerja kerasnya, yang tak kenal lelah, serta kedisiplinan yang luar biasa dalam mengerjakan suatu program”, ujar Naufal.
Ia menambahkan, integritas dan spiritualitas yang luar biasa, juga menjadi bobot tersendiri pada almarhum, terutama di penghujung usianya dalam mengelola dan mengembangkan pesantren Al-Fatah, serta berdakwah yang tak kenal lelah hingga akhir hayat.
Konsisten Hingga Lanjut Usia
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Pada usia di atas 80 tahun bukanlah usia muda lagi untuk perjuangan umat dan dunia Islam tingkat dunia, yang bersifat rahmatan lil ‘alamin.
Namun, bagi mantan Sekreteris Lembaga (Seklem) Lembaga Kantor Berita Nasional (LBKN) Antara Jakarta selama lebih kurang 15 tahun tersebut, serta terakhir Pembina Utama Pondok Pesantren Al-Fatah se-Indonesia tersebut, usia lanjut bukanlah halangan.
Usia boleh senja, namun bagi bekas wartawan Arab Press Buerau (APB) itu, dan terakhir Pemimpin Umum merangkap Pemimpin Redaksi Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency), semangat juangnya selalu konsisten bahkan terus menggelora manakala bicara perjuangan umat, nasib kaum Muslimin tertindas, ukhuwwah, apalagi kalau bicara soal Al-Aqsha Palestina.
Almarhum menggagas Konferensi Internasional untuk Pembebasan Al-Quds dan Palestina di bandung 2012, dan pendirian Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency) tahun 2012 juga dalam rangka menghadang hegemoni pemberitaan Barat yang cenderung mendeskreditkan Islam dan Muslimin.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Saat Soft Launching MINA, pada Hari Raya Idul Adha, Jumat, 10 Dzulhijjah 1433 H. / 26 Oktober 2012 M., Imaam almarhum menyampaikan fatwa pendirian MINA, yaitu MINA adalah juru bicara kaum muslimin dalam menunaikkan tugas dari Allah menyampaikan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
“MINA adalah cahaya kebenaran, keadilan, keamanan, kedamaian, kejujuran serta amanah menurut Islam, dengan demikian maka ia adalah furqan (pembeda) antara haq dan bathil,” bunyi fatwa.
“Imaam Hamidy merupakan pejuang yang konsisten, militan, berwawasan luas dan tokoh pemersatu visi perjuangan umat,” ujar dr. Joserizal Jurnalis, Presidium Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), saat berta’ziyah ke rumah duka Jumat malam (12/12/2014), di tengah hujan rintik-rintik membahasi bumi Muhajirun, Lampung, membasahi pusara Imaamul Muslimin Muhyiddin Hamidy, yang terletak di samping rumahnya, tidak jauh dari Masjid At-Taqwa kompleks Pesantren Al-Fatah.
Menurut Jose, yang sedang merampungkan pembangunan dan alat kesehatan Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza, semangat Imaam almarhum patut menjadi contoh oleh aktivis pejuang muslim bahwa berjuang itu harus terus bergelora dari muda sampai lanjut usia.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Melalui amanah Imaam pula, terkirim tak kurang lebih 30 orang mujahid relawan kemanusiaan yang membangun RS Indonesia di Jalur Gaza, Palestina. Serta melalui amanah Imaam pula terkirim sekitar 30 relawan membangun perluasan Masjidil Haram di Mekkah al-Mukarramah.
Senada dengan itu, Ir. Farid Thalib, Kepala Divisi Pembangunan MER-C yang juga Pendiri Radio Silaturrahim (Rasil) menyebut, Imaam almarhum sebagai sosok yang menjadi inspirator, penggerak dan penyemangat yang selalu berapi-api dalam segala kebaikan, walau dalam usia senja.
“Almarhum Imaam Muhyiddin Hamidy adalah figur besar dalam melaksanakan dan menegakkan keadilan serta kebenaran di muka bumi ini,” papar Farid dalam ta’ziyahnya ke rumah duka.
Ia berharap, umat Islam dapat melanjutkan perjuangannya dalam pembebasan Al-Aqsha dan Palestina dengan bersatu.
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
“Selamat jalan Imaam, ya Allah terimalah seluruh kebaikannya dan ampunilah segala kekhilafannya,” doanya untuk penggagas Aqsa Working Group itu, sedih duka begitu mendalam terlihat dari raut mukanya.
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga yang aktif dalam kegiatan keislaman, Dr. Adhyaksa Dault, yang juga dikenal dekat dengan almarhum, turut hadir dalam prosesi pemakaman almarhum, tidak sanggup mengungkapkan dengan kata-kata.
Ia hanya menangis tersedu-sedu hampir sepanjang prosesi pemakaman, saat ada yang menelepon, saat di dalam ruangan, ia terlihat sesenggukan menangisi kepergian Imaam yang juga ia sebut sebagai ayahandanya.
“Beliau dalam tiap pertemuannya selalu berbicara tentang bagaimana umat, umat dan umat Islam,” ujarnya.
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud
Teringat saat ia berkoordinasi dengan Imaam mengirimkan tim ukhuwah untuk bencana tsunami di Aceh tahun 2004 silam.
Waktu itu, Imaam bersama sejumlah 130 relawan kemanusiaan utusan Jama’ah Muslimin (Hizbullah), terjun langsung mengangkat mayat-mayat yang bergelimpangan akibat terjangan tsunami, untuk diurus dan dimakamkan sesuai syariat Islam.
Di Mata Keluarga
Ayahanda Muhyiddin Hamidy, adalah sosok ayah dari 7 anak (3 putera dan 4 puteri) serta kakek bagi 10 cucu itu, merupakan figur yang sangat dicintai dan dihormati di lingkungan keluarganya karena kebaikannya.
Dari isteri pertama, ibunda Djalius (alm), almarhum meninggalkan 4 anak: Medi Ali Usman (memiliki 2 anak), Ade Antilia (2 anak), Ritna Tria Andini (2 anak) dan Onny Firyanti.
Dari isteri kedua, Deri Kiemas (adik kandung Taufik Kiemas alm, mantan Ketua MPR RI), meninggalkan 3 anak : Siti Khadijah Nurillah (memiliki 1 anak), Abu Bakar Siddiq, dan Ahmad Tawakkal Ramadhan ( 3 anak).
Dari isteri ketiga Ummi Hanifah al-Hafidzah, tidak punya anak.
“Saya sebagai isteri beliau menyaksikan, betapa beliau tidak pernah melupakan shalat malam, di samping shalat dhuha tiap pagi, dan shaum Senin Kamis tiap pekan,” ujar Ummi Hanifah isterinya.
Kebiasaan lainnya dari Imaam menurutnya adalah bershadaqah tiap hari Jumat, kadang untuk jariyah masjid, memberi makan kaum dhuafa atau memberi kepada seseorang.
Memang, di balik ketegasannya dalam masalah prinsip, konsistennya dalam urusan kebaikan dan kebenaran, serta militansinya dalam perjuangan, terdapat sifat kasih sayang almarhum kepada makmum yang dipimpinnya.
Banyak di antara asatidz dan dewan imaamah yang ia bantu untuk urusan ibadah, seperti bantuan membangun rumah, pemberian uang untuk keperluan kuliah, hingga memberangkatkan haji dan umrah semasa aktif di kedinasan.
Penulis turut menyaksikan, betapa almarhum tidak segan-segan mengantar atau menjemput alumni pesantrennya yang akan kuliah atau baru tiba dari kuliah di luar negeri.
Penulis, juga beberapa rekan Penulis yang Penulis ketahui, seringkali mendapatkan kiriman bingkisan, titipan dari Imaam, kadang berupa nasi kotak, makanan ringan, buku, hingga berupa uang.
“Satu lagi yang selalu diperhatikan almarhum adalah program Tahfidz Al-Quran di pesantrennya,” papar Hanifah.
Maka, tidak heran jika di rumahnya di Muhajirun Lampung, berkumpul puluhan santri penghafal Al-Quran, yang hampir 24 jam mengumandangkan ayat-ayat Allah, firman-firman-Nya, Al-Quranul Karim.
Onny Firyanti, puteri bungsu almarhum, merasa paling terpukul dengan kepergian ayahandanya tercinta, gurunya, mentornya, sekaligus pembimbingnya.
“Papa jika bicara dan bertemu anak-anaknya selalu yang dibicarakan adalah bagaimana ajaran Islam dijalankan, kami anak-anak muslimatnya agar menutup aurat sebagai kewajiban, dan agar thaat pada perintah Allah dan Rasul-Nya,” ujar Onny, sapaan akrabnya.
Menurutnya, ayahnya jika mengirimkan pesan singkat melalui sms biasanya jam 3 pagi. Jika tidak membalas, nanti pagi ditelepon mengingatkan tidak shalat tahajud ya? paparnya.
Hal lainnya, dalam dua pekan terakhir ini sebelum wafatnya, hampir tiap hari ia ditelepon ayahnya soal pembangunan Masjid An-Nubuwwah, sebagai pusat peradaban dunia Islam.
“Papa selalu mengajak kami anak-anaknya ke jalan kebaikan,” paparnya mengenang.
Apalagi, tambahnya, kalau sudah bicara Palestina, Al-Aqsha, ayahnya paling antusias, bicara Al-Aqhsa, Rumah Sakit Indonesia di Gaza, dan kewajiban berjuang membebaskannya dari belenggu penjajahan Zionis Israel.
“Siapa lagi yang akan membebaskan Al-Aqsha kalau bukan kita umat Islam,” imbuhnya, menirukan pesan ayahnya sekaligus Imaam kaum muslimin.
Kesan kebaikan almarhum disampaikan pula oleh puterinya yang lain, Ade Antilia, yang menyebutkan bahwa ayahnya paling senang menghadiri majelis ta’lim saat di Petojo Sabangan, Jakarta, walaupun waktu itu sangat sibuk dalam kedinasan sebagai pimpinan Kantor Berita Antara.
“Bahkan sejak papa dibai’at menjadi Imaamul Muslimin tahun 1976 hingga akhir hayatnya, ayahandanya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk perjuangan, untuk ikhwan-ikhwan, untuk pesantren dan lainnya,” ujarnya.
Seolah kami sekeluarga kehilangan kasih sayang seorang ayah. Namun, kini setelah almarhum tiada, baru ia sadari bahwa apa yang dilakukan ayahnya sungguh sangat mulia, semuanya untuk kejayaan Islam dan Muslimin. Untuk itu, dirinya bertekad melanjutkan apa yang menjadi amal shalih ayahnya, khususnya Kantor Berita Islam MINA.
“Kantor berita MINA harus menjadi alternatif utama dalam dakwah online, sama seperti kehadiran Radio Silaturrahim yang menjadi alternatif radio dakwah,” tekadnya.
Satu keinginan ayahandanya yang menurut putera-puterinya belum kesampaian, yakni ingin berkunjung ke Gaza, untuk ikut meresmikan RS Indonesia di sana bersama MER-C.
Adapun di mata cucu-cucunya, sang opa begitu biasa disapa di tengah cucu-cucunya, kakeknya merupakan teladan bagi generasi muda.
“Opa orangnya kharismatik, selalu memotivasi untuk berbuat baik,” ujar Balqis Ra Aisyana (24), cucu pertama almarhum.
Menurutnya, kakeknya selalu mengingatkan soal shalat, mengaji dan menutup aurat.
Hal senada dirasakan cucu lainnya, Lulu Jannata (22), yang menyebutkan kakeknya sebagai sosok yang tegas dan disiplin dalam segala hal.
“Kalau sudah punya mau, pokoknya harus, tapi itu kemauan yang manfaat,” katanya lagi.
Masih menurut Lulu, kakeknya, paling sering memberikan hadiah kepada cucu-cucunya buku-buku bacaan yang bermanfaat.
Mereka semua kini merasakan ada yang hilang dari kehidupannya, ada yang pergi dari lingkungannya, ada yang melayang dalam pelukannya.
Tapi bukan hilang ke mana-mana, melainkan kembali kepada sang penciptanya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah menyebutkan di dalam firman-Nya, “Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian”. (Q.S. Ali Imran [3] : 185).
Itu bunyi ayat yang disampaikan oleh Ustadz K.H. Abul Hidayat Saerodjie, salah seorang sesepuh di Pesantren Al-Fatah, saat memberikan nasihat terakhir di pemakaman almarhum.
“Yang paling penting bagi kita anak cucunya, keluarganya, dan makmum semuanya, adalah meneruskan kebaikannya,” nasihat Ustadz K.H. Adzro’i Abdus Syukur, pada malam ta’ziyah di kediaman almarhum, Sabtu malam (13/12/2014).
Pada kesempatan ta’ziyah, menyabarkan keluarga armarhum yang ditinggalkannya, Penulis sempat menyampaikan In Memorian riwayat hidup amal kebaikan almarhum semasa hidupnya, guna mengenang segala kebaikannya serta meneruskannya dalam kehidupan nyata.
Minta Maaf
Penulis merasakan saat-saat terakhir berjumpa almarhum Rabu lalu (10/12/2014) di ruang tamu kediamannya di Muhajirun, Lampung, dua hari menjelang wafatnya.
Saat itu, Penulis, almarhum Imaam Hamidy, dan isteri beliau Ummi Hanifah al-Hafidzah, di ruang tamu, sambil duduk tiduran, almarhum mengatakan,”Ustadz, Jazakallahu khaira, ustadz dan ikhwan-ikhwan sudah banyak membantu kami, Imaam banyak minta maaf,” ujar Imaam dengan suara lirih sambil tersenyum cerah.
“Alhamdulillah….Imaam, kalau saya masih jauh, belum banyak bantu Imaam, kami yang seharusnya minta maaf,” kata Penulis lagi.
Sebelumnya, saat menelepon Amir Ukhuwah Pusat, Haji Abdul Malik alias Bustamin Utje, terkait kedatangan siswa-siswa Imtiaz Malaysia ke Al-Fatah Lampung, Imaam juga meminta maaf kepada Bustamin atas kurangnya koordinasi penyambutan tamu.
Setelah itu, masih sambil tiduran, Imaam menyampaikan beberapa hal untuk dicatat Penulis, yang kemudian Penulis ketik sampai empat halaman hvs, sebagai bahan musyawarah Dewan Imaamah yang direncanakan pada liburan akhir tahun 2014 mendatang.
Alhamdulillah notulen itu sudah Penulis sampaikan kepada Imaam Yakhsyalah Mansur, pelanjutnya, melalui Majelis Kutab Pusat Jama’ah Muslimin (Hizbullah).
Imaampun berbicara mulai dari soal tanggung jawab muslimin menghadapi situasi dalam dan luar negeri, pembangunan Masjid An-Nubuwwah, kantor berita Islam MINA, Shuffah Al-Quran, dakwah ke Thailand, kerjasama Istambul, Kedutaan Turki, nasib Al-Aqsha, semakin kejamnya Zionis, perpustakaan multimedia, hingga film dokumenter Perang Khaibar.
Masih terdengar Penulis mencatat pesannya, “Jangan lupa juga, surat untuk Menteri Dalam Negeri Malaysia dan Surat Keputusan Wilayah Malaysia-Batam”.
Seolah Imaam hendak mengemukakan semua ide-idenya, cita-citanya, harapan-harapannya, dan semua niat amal sholehnya.
“Itu semua pekerjaan-pekerjaan besar, terutama Shuffah Al-Quran, yang dapat mempengaruhi kebaikan dunia, dan itu Khilafah,” ujar Imaam mengakhiri kalimatnya.
Almarhum melanjutkan, Al-Quran merupakan sumber hukum tertinggi, pedoman hidup manusia. Maka, Shuffah Al-Quran menjadi wajib untuk diwujudkan.
“Ekstremnya, majelis yang lain boleh tidak ada, tetapi Shuffah Al-Quran wajib ada,” pesannya.
Lalu, almarhum bangun, dan menyampaikan pamit mau ke belakang. Tangan beliau yang lembut Penulis cium, hangat, tenang, serta Penulis diizinkan untuk kembali ke Ciluengsi, Bogor, karena memang sudah diizinkan sebelumnya.
Penulis sampaikan pada Kamis siang mengisi tausiyah di Batu Tulis Bogor, Kamis malamnya mengisi pengajian karyawan di Pasar Kenari Cileungsi, dan Jumat sorenya Jadwal Bedah Berita MINA di Radio Silaturrahim Cibubur.
“Insya Allah selesai acara tersebut, kami segera kembali, Imaam,” izin Penulis.
Memang sebelumnya Penulis sepulang dari safari Dakwah Malaysia-Pattani, Thailand, dipanggil Imaam beberapa hari untuk menyampaikan laporan perjalanan. Penulis datang ke Muhajirun Ahad (8/12) sampai Rabu (11/12) pamitan.
Ya, Allah…. rupanya itulah pertemuan terakhir Penulis dengan Imaamul Muslimin Syaikh Muhyiddin Hamidy.
Begitu mendengar berita Jumat pagi ba’da shubuh Imaam dipanggil ke haribaan-Nya. Penulis dan Dewan Imaamah di Cileungsi, Bogor pun bergegas pagi itu juga terbang ke kampung Islam Internasional Muhajirun, menemui Imaamul Muslimin Muhyiddin Hamidy, yang telah menjadi jenazah.
“Innaalillaahi wa innaa ilaihi rooji’un….. Sesungguhnya kita semua milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya lah jua kita akan kembali”….
Penulis hanya dapat menyalatkan, mengantar ke pusaranya sebagai penghormatan terakhir, dan mendoakannya, setelah sebelumnya Penulis sempat mencium wajahnya yang harum, bersih, bercahaya… Subhanallah.
“Selamat jalan wahai penghuni syurga, izinkan aku kelak bersamamu di syurga-Nya. Amin,” doa Penulis dalam hati.
Saat Terakhir
Menurut keterangan isterinya, Ummi Hanifah, sepekan sebelum wafatnya, almarhum sempat menangis di kamar tidur, di hadapannya.
“Masya Allah, betapa beratnya urusan ummat yang harus Imaam tanggung, Shuffah Al-Quran, Masjid An-Nubuwwah, Kantor Berita Islam MINA, Tarbiyah Al-Fatah, urusan Haji Umrah ikhwan-ikhwan,…..”, ujar almarhum Imaam masih sambil menangis sendiri, menitikkan air mata, betapa tanggung jawabnya kelak di akhirat.
Adapun saat-saat terakhir menjelang wafatnya penggagas satu rumah satu hafidz itu, seperti menurut keterangan keluarga almarhum dan ikhwan yang sempat menemani almarhum sebelum wafatnya, almarhum merasakan sakit di dada sebelah kiri pada Kamis siang menjelang Dzuhur (11/12/2014).
Tatang Syahria (47 th) dan Mukhsin Abdur Rahman (67 th), staf pembantu rumah tangganya dipanggil menemuinya di kamar.
Tatang menawarkan Imaam untuk berobat di Rumah Sakit Medistra di Jakarta saja, yang selama ini biasa menangani sakit beliau, dengan para dokter spesialis yang biasa menangani almarhum semasa hidupnya.
“Iya Tang, tapi Imaam masih ingin di Muhajirun,” ucap Imaam saat itu, seperti dituturkan Tatang.
Jalan keluarnya, sore itu pula Tatang minta bantuan seorang paramedis Iin Mutmainnah (isterinya Nur Ikhwan Abadi, relawan RS Indonesia di Gaza), segera diantar ke dokter spesialis jantung di Pahoman, Bandar Lampung, ditemani Akmalul Iman sebagai sopir dan Ummi Hanifah, isterinya. Di belakang mengawal mobil ukhuwah, terdiri dari Nurul (sopir), Ismail, Harun dan Mukhsin.
Setelah diperiksa dan mendapatkan perawatan medis, kondisinya agak membaik, dan almarhum beserta ikhwan lainnya kembali ke rumah Muhajirun.
Di sepanjang perjalanan, biasa saja, duduk dengan tenang, bahkan masih bicara lancar, mengajak ke rumah makan karena semua memang belum pada makan, dan beliau yang bayar.
Sampai di rumah sekitar pukul 22.00 malam, shalat Maghrib dan Isya jama’ ta’khir.
“Sepertinya beliau nggak tidur sejak saya beranjak tidur sekitar jam 00.30,” ujar kesaksian Ummi Hanifah, isterinya.
Masih menurutnya, almarhum bahkan yang membangunkan dirinya sekitar jam 03.00 dini hari, mengingatkannya untuk shalat tahajud.
Saat itu, almarhum sudah shalat tahajud sambil duduk di kursi. Almarhum masih dapat berjalan ke kamar kecil untuk berwudhu dengan air zam-zam, seperti kebiasaannya. Tidak terjadi apa-apa pada diri Imaam malam itu sampai dini hari.
“Saya rasakan masih ada bekas air wudhunya, menempel pada kain ihram di bawah kursi, yang biasa beliau gunakan untuk mengelapnya,” tutur Hanifah.
Menurut isterinya, Ummi Hanifah, alhafidzah 30 juz Al-Quran, kebiasaan Imaam memang tidak pernah meninggalkan shalat tahajud tiap malam.
Selang beberapa menit setelah shalat tahajud, Imaam terdengar lirih merintih pelan sambil memegang dadanya.
Segera dipanggilkan Mukhsin yang sedang ukhuwah jaga di ruang tengah. Setelah masuk ke kamar, dipanggil juga Tahsya, anak tahfidz muslimah Al-Quran yang tinggal di kamar belakang.
Setelah dipijit-pijit, mulai agak mendingan, tapi tidak ada komunikasi apapun.
Hanya terucap pelan kalimah Imaam, “Allah, ya Allah astaghfirullah, ampunilah aku, ampunilah aku, ampunilah aku…”, tiga kali terdengar, kata Mukhsin.
Setelah itu, agak tenang mendingan. Mukhsin izin ke isteri Imaam, mau shalat witir dulu di ruang tengah, menjelang shubuh.
Sekitar pukul 04.00 WIB, Hanifah memanggil Tatang, untuk segera ke kamar karena Imaam merasakan sakit lagi. Bergegas tatang masuk ke kamar, sedangkan Mukhsin menyususl lagi seusai shalat witir.
Saat adzan Shubuh berkumandang, pukul 04.15 WIB, kondisi almarhum sudah tidak ada respon bicara, tapi nadi di leher dipegang masih ada denyut, tapi sangat pelan, sangat lemah, sangat lemah.
Mukhsin meminta isteri almarhum yang memang hafidz Al-Quran, untuk menalqinkannya dengan kalimah “Laa ilaaha illallaah,… Laa ilaaha illallaah,…”.
Menurut keterangan Mukhsin, sempat terdengar seperti jawaban dehem atau batuk kecil dua kali.
Bergegas, Tatang, Mukhsin dan ikhwan yang menjaga segera mengantar mengangkat almarhum ke dalam mobil untuk segera dibawa ke Rumah Sakit Natar Medika, sekiar 4 km dari kompleks Pesantren.
Tatang, yang memang puluhan tahun ikut bersama almarhum Imaam Hamidy ke manapun almarhum pergi, mulai tak kuasa menahan tangis, tetesan air mata mulai mengalir di wajahnya,… sambil memeluk dan membopongnya, dibantu Mukhsin, almarhum dibawa ke rumah sakit terdekat.
Sesampai di Rumah Sakit Natar Medika, menurut dokter jaga yang memeriksanya, almarhum sudah tidak ada, sudah meninggal, sejak di kediaman.
Kepergiannya terasa begitu tiba-tiba. Sakitnya memang sudah lama, beberapa kali masuk rumah sakit. Tapi rupanya almarhum, seperti kebanyakan orang tua, tidak mau merepotkan orang lain.
Isterinya dan ikhwan-ikhwan yang ada di situpun menangis sesenggukan….. Mukhsin, abah Tatang paling keras tangisannya, memeluk erat janazah almarhum…… Imaam…. Imaam….
“Innaalillaahi wa innaa ilaihi rooji’un….. Sesungguhnya kita semua milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya lah jua kita akan kembali”….
Menyusul ke rumah sakit, setelah shalat Shubuh, Ustadz Yakhsyallah Mansur usai mengimami shalat Shubuh di Masjid at-Taqwa Kompleks Pesantren Al-Fatah Muhajirun. Setelah sebelumnya meminta jamaah shalat Shubuh mendoakan Imaam yang seang ke rumah sakit. Ia ditemani Waliyul Imaam Lampung, Ir. Novirzal dan Ir. Wahyu Iwa Sumantri.
Husnul Khatimah
“Sepekan menjelang wafatnya, Imaam selalu ramah, banyak minta maaf, bahkan berhumor dengan ikhwan-ikhwan,” ujar Ummi Hanifah al-Hafidzah isteri beliau.
bahkan, Rabu malam, satu setengah hari sebelum kepergiannya, Imaam masih memberikan arahan musyawarah panitia pembangunan Masjid An-Nubuwwah. Satu per satu asatidz dan lajnah disalaminya.
“Nah, ini calon Imaam nanti,” ujar Imaam berseloroh kepada Imron Rosyadi, seksi akomodasi, saat bersalaman. “Ah, Imaam bisa aja bercanda,” jawab Imron.
Firasat itu sebenarnya sudah dirasakan oleh Ummi Hanifah, saat Kamis malam itu almarhum banyak mengeluarkan keringat.
“Kalau keluar keringat begini seperti Rasulullah, berarti sudah dekat,” ujar Imaam kala itu.
Kini firasat itu baru terasa menjadi kenyataan setelah terjadi. Termasuk Penulis, biasanya kalau Imaam memberikan perintah notulen, seperti Rabu dua hari menjelang wafatnya, kadang sehari sampai 2-3 kali Imaam menelepon atau sms menanyakan sudah selesai belum? Penulis sendiri mau telepon atau sms, khawatir mengganggu juga, barangkali sedang istirahat karena sakit.
Akhirnya, memang almarhum sedang istirahat, bahkan kini istirahat selama-lamanya, meninggalkan semuanya, meninggalkan keluarganya, meningalkan ikhwan akhwatnya, untuk menemui Tuhannya. Dan ia, seperti kebiasaan orang-orang tua terdahulu, tidak mau merepotkan pada ujung usianya….
Teringat kan firman Allah, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan puas lagi diridhai-Nya, Masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam syurga-Ku”. (Q.S. Al-Balad ayat 27-30).
Kita semua keluarga, makmum dan kaum muslimin merasa kehilangan pemimpin umat, kehilangan orang tua, kehilangan penasihat utama.
Ia menemui Tuhannya pada hari terbaik Jumat pagi, pada waktu terbaik setelah shalat tahajud mengirirngi adzan Shubuh, dengan diiringi kalimah Allah, dan istighfar, serta talqin Laa ilaaha illallaah, diiringi keringat mengantarkan kepergiannya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda di dalam dalam hadits riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu, yang artinya, “Tidak ada seorang muslim yang meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.”
Pada hadits lain dinyatakan, yang maknanya, “Seorang mukmin apabila meninggal dunia, maka mengeluarkan keringat dari keningnya”. (H.R. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dari Buraidah bin Khusaib Radhiyallahu ‘Anhu).
Apalagi almarhum kemudian dishalatkan di masjid oleh ribuan kaum muslimin dan muslimat, oleh santriwan-santriwati, oleh para umara dan ulama, oleh kaum fuqara dan dhu’afa, serta oleh para penghafal Al-Quran. Subhanallaah.
Ustadz Yakhsyallah Mansur, yang kemudian hari itu juga dibai’at sebagai Imaamul Muslimin, memimpin prosesi pemakaman almarhum, setelah sebelumnya dimandikan, dikafankan dan dishalatkan oleh ribuan jamaah yang hadir.
“Badan almarhum saat dimandikan sangat bersih, tidak ada sedikitpun bekas jatuh,” ujarnya, yang ikut memandikan jenazah.
Seorang makmum nun jauh dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, Ardansyah mengirimkan pesan duka melalui pesan singkat kepada Penulis, Sabtu (13/12/2014), pukul 15.02 WIB. Isinya, “Hari kemarin dan hari ini terasa sangat berat, separuh jiwaku terasa hilang bersamaan dengan hilangnya Imaamul Muslimin tercinta. Wajah pucat dan muram masih berselimut di wajahku. Namun, itu takkan membuatmu kembali ke hadapanku.
Aku rindu padamu, aku rindu mencium tanganmu, aku rindu cambukan nasihatmu, aku rindu pelukan hangatmu. Aku tak percaya hal ini benar-benar terjadi. Kini aku benar-benar kehilangan dirimu.
Namun aku berharap ini hanya sementara, semoga Allah mengumpulkan aku bersama dirimu wahai Imaamku, mujahid ikhlasku, pejuang kesatuan ummatku. Aku ingin kelak bertemu di syurga-Nya, denganmu Wahai Imaam yang kubanggakan.
Wahai Imaam, maafkan diriku, aku tak sempat memberimu kebahagiaan menjadi kader yang baik dan belum mengharumkan nama Jama’ah Muslimin. Aku masih menjadi kader biasa-biasa saja. Bahkan masih jauh dari kata bermanfaat bagi ummat.
Ya Allah ya Rabb, untuk itu bantulah hamba-Mu ini agar bisa mengikuti jejak Nabi, para sahabat dan Imaam tercinta almarhum. Amin yaa Robbal ‘aalamiin…. (L/P4/R03).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)