Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mempertanyakan Kebebasan Berpendapat di Kampus AS

Rudi Hendrik - Ahad, 2 Juni 2024 - 15:54 WIB

Ahad, 2 Juni 2024 - 15:54 WIB

17 Views

Mahasiswa mendirikan perkemahan di Universitas Columbia New York pada 25 April 2024, sebagai protes terhadap serangan Israel di Jalur Gaza. (Foto: Kyodo News)

Oleh Matthew Carland, wartawan Kyodo News

Ketika gelombang demonstrasi pro-Palestina di kampus-kampus AS telah berhasil diredam dalam beberapa pekan terakhir, termasuk melalui tindakan polisi yang menangkap ribuan orang di seluruh negeri, beberapa mahasiswa semakin kecewa dengan otoritas universitas atas apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan terhadap hak kebebasan berpendapat akibat tekanan politik.

Menyusul serangan kelompok pejuang perlawanan Hamas Palestina terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober 2023 dan dimulainya perang genosida militer Zionis Yahudi yang menargetkan Jalur Gaza, para pengunjuk rasa mahasiswa AS berkumpul untuk menyerukan universitas-universitas mereka memutus hubungan keuangan dengan Israel, dan menuduh negara tersebut melakukan tindakan militer yang tidak proporsional dengan konsekuensi kemanusiaan yang mengerikan.

Sekitar 1.200 orang tewas dalam serangan Hamas, sementara jumlah korban tewas akibat operasi militer Israel telah lebih dari 36.000 orang, menurut Kementerian Kesehatan di Gaza. Kegagalan Washington untuk menghentikan bantuan militer kepada Israel meskipun secara terbuka mempertanyakan taktik mereka dalam perang yang telah berlangsung berbulan-bulan juga menjadi fokus protes AS.

Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir

Di tengah kekacauan yang terjadi di kampus-kampus besar, Kongres AS telah mengamati sekolah-sekolah Ivy League seperti Universitas Columbia di New York, tempat perkemahan besar-besaran pro-Palestina menjadi katalisator aksi protes serupa di perguruan tinggi AS lainnya, serta di Kanada dan Eropa.

Dampaknya, ketika para politisi mempertanyakan pimpinan universitas pada sidang komite dan menuduh mereka gagal mengamankan kampusnya, menyebabkan rektor Universitas Harvard dan Universitas Pennsylvania mengundurkan diri.

Tokoh lain seperti Presiden Universitas Columbia Minouche Shafik, yang juga menghadapi tekanan untuk mengundurkan diri, memimpin tindakan keras yang agresif yang melibatkan penangkapan besar-besaran oleh polisi, hukuman administratif, dan revisi kebijakan untuk membatasi protes.

“Ini sungguh mengerikan. Benar-benar metode yang kejam untuk membungkam kebebasan berpendapat,” kata Linnea Norton (26) seorang Ph.D. mahasiswa ekologi di Universitas Columbia.

Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah

Norton, yang menggambarkan penangkapannya pada 18 April bersama dengan sekitar seratus pengunjuk rasa damai lainnya di halaman kampus, mengatakan, keputusan untuk memanggil polisi adalah langkah “bermotif politik” yang dilakukan Shafik sehari setelah dia dikecam di Washington pada sidang Kongres.

Setelah penangkapan tersebut, Norton diskors tanpa batas waktu dan kartu universitasnya dinonaktifkan, sehingga dia tidak dapat mengakses fasilitas kampus, katanya.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Mike Johnson dan sejumlah tokoh lainnya menyebut protes kampus pro-Palestina sebagai antisemitisme.

Pada bulan April, petinggi Partai Republik menyarankan agar Garda Nasional dikerahkan untuk menjaga ketertiban di Universitas Columbia, sementara 21 anggota DPR dari Partai Demokrat menyerukan anggota dewan universitas untuk mengundurkan diri jika mereka tidak dapat membubarkan para pengunjuk rasa.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah

Norton membantah karakterisasi protes tersebut sebagai antisemit, dengan menyebutkan kehadiran mahasiswa Yahudi pro-Palestina di perkemahan tersebut dan bahwa dia sendiri adalah keturunan Yahudi.

“Ada persepsi bahwa mengadvokasi hak asasi manusia warga Palestina agar dapat hidup bebas di tanah mereka adalah tindakan antisemit, padahal sebenarnya tidak,” katanya.

Namun bagi Andrew Stein, seorang mahasiswa ilmu komputer berusia 22 tahun di Universitas Columbia, protes tersebut dibayangi oleh permusuhan. Dia mengatakan, administrator perlu menjaga keamanan kampus karena dia dan mahasiswa Yahudi lainnya mengalami insiden antisemit.

Ketika Stein dan beberapa temannya mengadakan unjuk rasa pro-Israel pada akhir pekan baru-baru ini, sekelompok pengunjuk rasa pro-Palestina yang bertopeng mencuri salah satu bendera Israel dan memercikkan air ke wajahnya, katanya.

Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi

“Saya tidak punya masalah jika orang-orang pro-Palestina dan menggunakan hak untuk melakukan protes dan hak kebebasan berpendapat, tapi saya hanya ingin aman,” katanya.

Di Universitas New York, seorang mahasiswa pascasarjana berusia 25 tahun yang mengidentifikasi dirinya dengan inisial R.D. mengatakan, dia “tidak akan berhenti” melakukan protes meskipun menyaksikan penangkapan sekitar 150 pengunjuk rasa bulan lalu, termasuk beberapa rekan mahasiswa dan anggota fakultasnya.

“Saya pikir ada ancaman nyata terhadap kebebasan berpendapat di negara ini,” katanya.

R.D. menolak gagasan bahwa “agitator luar” sedang membajak gerakan mahasiswa, sebuah klaim yang menurutnya digunakan oleh polisi untuk membenarkan penangkapan mahasiswa. Wali Kota New York Eric Adams juga menggunakan ungkapan tersebut ketika mendukung pengusiran paksa pengunjuk rasa pro-Palestina dari kampus-kampus.

Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan

“Mereka mengira bisa menarik garis batas antara mahasiswa dan masyarakat, dan itu bodoh bagi mereka,” kata R.D. “Seorang ‘agitator luar’ adalah seseorang yang berdiri dalam solidaritas berdasarkan prinsip bersama para mahasiswa dan tuntutan kami.”

University of Southern California, dengan alasan masalah keamanan, pada bulan April mengumumkan keputusannya untuk membatalkan pidato kelulusan yang disampaikan oleh pembaca pidato perpisahan Asna Tabassum, seorang mahasiswa Muslim yang menyatakan keyakinan pro-Palestina di media sosial, setelah kelompok pro-Israel menyebut unggahan tersebut antisemit.

Dalam surat terbuka yang diterbitkan di situs web Council on American-Islamic Relations, sebuah organisasi nirlaba untuk hak-hak Muslim, Tabassum mengatakan dia “terkejut” dan “sangat kecewa” karena universitasnya “menyerah pada kampanye kebencian yang dimaksudkan untuk membungkam suara saya.”

Irene Mulvey, Presiden American Association of University Professors, sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan memajukan kebebasan akademik dengan memiliki cabang di perguruan tinggi di seluruh negeri, mengkritik politisi karena meminta pengunduran diri pejabat universitas.

Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina

“Kita menyaksikan aliran baru McCarthyisme di AS di mana para politisi berusaha untuk campur tangan dalam pekerjaan pendidikan tinggi untuk menjadikannya agenda mereka,” kata Mulvey dalam email kepada Kyodo News, merujuk pada kampanye anti-komunisme di AS tahun 1950-an yang dipimpin oleh Senator Joseph McCarthy.

Protes mahasiswa di perguruan tinggi AS sebagian berasal dari Gerakan Kebebasan Berbicara yang diluncurkan pada tahun 1964 di Universitas California, Berkeley. Karena perguruan tinggi di California pada saat itu membatasi aktivitas politik mahasiswa, mahasiswa melakukan aksi duduk dan protes hingga universitas setuju untuk menghormati hak amandemen pertama mereka di kampus berdasarkan Konstitusi AS. []

Sumber: Kyodo News

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?

Rekomendasi untuk Anda