oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA), bersumber dari tulisan Richard Gowan di Al Jazeera Amerika
Terbaginya suara di Dewan Keamanan PBB dan tidak mampunya dewan bertindak tegas pada perang di Suriah, Ukraina dan Gaza, membuat kredibilitas lembaga polisi dunia itu memburuk.
Ahad ini, Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius menggunakan Majelis Umum PBB melobi rencana untuk membalikkan tren buruk itu.
Paris ingin ada kesepakatan yang gentlemen di antara lima anggota tetap dewan yang memegang hak veto – Cina, Perancis, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat (AS), yang dikenal sebagai P5 – untuk tidak memveto resolusi yang dimaksudkan untuk menghentikan kekejaman massal.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Usulan yang akan dibahas Fabius bersama setidaknya 20 menteri luar negeri lainnya pada Kamis malam (25/9), didasarkan pada seruan moral untuk menghindari kebuntuan geopolitik di saat-saat kebutuhan menghentikan kekejaman massal kian mendesak.
Pada empat kali sidang sejak konflik Suriah terjadi pada 2011, Cina dan Rusia telah memveto resolusi dukungan Barat yang bertujuan untuk menekan Presiden Suriah Bashar Al-Assad.
Banyak yang berpendapat, jika PBB terlibat lebih efektif sejak awal konflik, ketika kekerasan masih relatif terbatas, mungkin telah terhindari eskalasi ke dalam perang saudara yang sekarang masuk tahun keempat, di mana telah menewaskan lebih 191.000 orang. Tapi Moskow dan Beijing menggunakan hak vetonya untuk menunda setiap upaya serius yang bermaksud melengserkan Assad atau bahkan menolak embargo senjata terhadap rezim Suriah itu.
Tidak seperti reformasi Dewan Keamanan yang memerlukan perubahan formal pada Piagam PBB, pembatasan hak veto bisa disepakati secara informal dalam semalam jika P5 menginginkan itu. Perancis menekankan bahwa ini akan menjadi “komitmen sukarela”, bukan satu pengikatan secara hukum.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Walaupun konsep Presiden Perancis Francois Hollande ini mendapat dukungan negara-negara dari Meksiko hingga Liechtenstein, tapi tidak mungkin segera menjadi kenyataan. Beijing dan Moskow, melihat usulan Perancis tersebut sebagai hukuman atas bantuan kedua negara itu terhadap Suriah.
AS hampir sama meragukan. Meskipun telah jarang menggunakan hak veto sejak Perang Dingin, namun biasanya Washington menggunakannya untuk memblokir kritik terhadap Israel. Para pejabat AS khawatir bahwa kekuatan lain akan bersikeras bahwa operasi militer Israel, seperti serangan berdarah musim panas ini ke Gaza, memenuhi syarat sebagai kekejaman massal.
Para diplomat Perancis telah menduga bahwa Duta Besar AS untuk PBB, yang juga mantan aktivis hak asasi manusia, Samantha Power, tidak akan membunuh gagasan “menahan hak veto”. Tapi Washington mungkin diam-diam merasa senang bahwa Cina dan Rusia yang dihadapkan dengan usulan itu.
Semetara itu beberapa pendukung usulan Perancis berpendapat bahwa Perancis dan Inggris secara sepihak harus berjanji untuk tidak menggunakan hak vetonya menghadapi kekejaman massal. Tapi di Moskow, Beijing dan ibukota non-Barat lainnya, ini bisa dilihat sebagai sinyal kelemahan di mata kekuatan Eropa.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Kedudukan Paris dan London sudah hampir sama pentingnya dalam permasalahan dunia, karena kedua negara adalah pendiri-pendiri PBB sehingga bisa dikatakan sudah aktif di PBB sejak PBB didirikan. Secara terbuka kedua negara berjanji tidak menggunakan hak veto, namun di balik alasan terpuji itu, bisa membuat kedua negara terlihat seperti anggota kelas dua di P5.
Di saat konsep “menahan hak veto” mungkin akan sebatas teori di masa mendatang, pertemuan Kamis tetap akan melayani pertanyaan tentang bagaimana konsep itu akan berhasil.
Misalnya pertanyaan: “Bagaimana perjanjian diciptakan?”, “Pada titik mana kekerasan disebut mencapai tingkat kekejaman massal?”, dan “Apakah hal itu dapat diukur secara obyektif?”.
Pada pertengahan 2011, ketika Perancis dan Inggris pertama kali menyerukan aksi PBB terhadap Suriah, Rusia hanya menjawab bahwa Assad harus bertindak tegas untuk menjaga ketertiban negerinya. Sementara itu, AS menyatakan bahwa tindakan Israel di Gaza dibenarkan sebagai pertahanan diri. Sikap ini yang membuat negara anggota P5 lainnya tidak suka dan marah.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Para diplomat Perancis telah mencoba mengatasi dilema itu terlebih dahulu. Termasuk meminta Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon atau International Court of Justice (ICJ) menjelaskan contoh batasan kekerasan untuk disebut “kekejaman massal”. Namun solusi itu mungkin tidak bisa meyakinkan orang yang meragukannya.
Sekjen adalah diplomat bukan hakim, dan Ban telah enggan menyinggung anggota P5.
Penentangan terhadap ide itu didasarkan pada kekhawatiran tindakan yang mungkin membenarkan sebuah kekejaman massal yang ditetapkan PBB.
Cina dan Rusia tidak lupa pada masalah Libya pada 2011, ketika kedua negara itu menahan diri dengan tidak memveto resolusi PBB yang mendukung Barat menyetujui aksi militer di sana dan menyaksikan NATO menggunakan resolusi untuk menggulingkan Muammar Gaddafi.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Sejak itu, ketika diplomat AS, Inggris atau Perancis berpendapat bahwa Dewan Keamanan harus bertindak mencegah pembantaian, Cina dan Rusia mencurigai mereka.
Menggolkan usulan Perancis itu dinilai sangat tidak mungkin, di mana politisi atau jenderal NATO tidak akan menerima kendala tersebut. Dan tidak ada anggota P5 akan menandatangani kesepakatan yang benar-benar akan membatasi kebebasan mereka bergerak dalam negosiasi atas krisis masa depan yang tidak dapat diramalkan.
Ini bukan berarti bahwa Fabius membuang-buang waktunya di New York pekan ini. Pembicaraan tentang “menahan hak veto” berkontribusi mengharuskan PBB untuk membicarakan sikap “tidak membiarkan kekejaman massal terus berlanjut”.
Terkait perang di Suriah, Beijing dan Moskow telah memberikan suara mendukung dua resolusi Dewan Keamanan yang sangat rinci menuntut adanya akses kemanusiaan yang lebih besar untuk warga Suriah tahun ini.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Dewan Keamanan PBB, hakekatnya adalah lembaga yang berantakan dan kadang-kadang tidak berfungsi. (P001/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa