Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menanti Sikap Indonesia terhadap Rencana Kehadiran Atlet Israel

Bahron Ansori Editor : Rudi Hendrik - 49 detik yang lalu

49 detik yang lalu

0 Views

Federasi Senam Israel Klaim Diterima Tampil di Ajang Internasional di Indonesia (Dok : Anadolu)

INDONESIA dijadwalkan menjadi tuan rumah 53rd FIG Artistic Gymnastics World Championships pada 19–25 Oktober 2025 di Indonesia Arena (sering disebut Indonesia Arena / Istora GBK), sebuah kali pertama penyelenggaraan ajang ini di Indonesia dan Asia Tenggara dalam skala tersebut. Jadwal dan lokasi resmi acara ini dipublikasikan oleh penyelenggara dan FIG.

Dalam beberapa pekan terakhir muncul kabar bahwa federasi senam Israel telah mendaftarkan atletnya untuk ambil bagian dalam kejuaraan tersebut. Konfirmasi pendaftaran oleh pihak Israel dan kabar bahwa “delegasi Israel terdaftar” memicu perhatian internasional sekaligus reaksi domestik di Indonesia. Laporan-laporan awal dan pernyataan federasi Israel tercatat di media internasional.

Reaksi domestik di Indonesia segera muncul. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 7 Oktober 2025 secara terbuka menyerukan penolakan terhadap rencana kehadiran tim senam Israel, beralasan mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina, menjaga konsistensi amanat konstitusi, serta mempertahankan prinsip kedaulatan dan citra bangsa. Pernyataan ini dipublikasikan lewat kantor berita nasional dan laman resmi MUI.

Penolakan semacam ini tak terjadi di ruang hampa: pengalaman politik-olahraga sebelumnya—khususnya polemik penyelenggaraan Piala Dunia U-20 2023—menunjukkan bahwa keputusan lokal untuk menolak kehadiran tim Israel pernah berujung pada konsekuensi internasional besar, yakni pencabutan hak tuan rumah oleh FIFA pada Maret 2023. Kasus itu menjadi rujukan kuat bagi analisis risiko politik-olahraga sekarang.

Baca Juga: Rahasia Doa Rizki Halal dan Berkah, Mendapatkan Rezeki Tanpa Beban Berat

Dari perspektif tata kelola olahraga internasional, federasi dunia seperti FIG dan IOC memiliki aturan prinsip netralitas politik dan non-diskriminasi: penyelenggara bersandar pada kewajiban untuk menjamin hak atlet dari seluruh anggota federasi peserta untuk berlaga. Bagi penyelenggara nasional, ini menimbulkan benturan antara kewajiban kontraktual dengan federasi internasional dan tekanan politik domestik. (Sumber: dokumen kebijakan umum federasi olahraga internasional; lihat rujukan FIG terkait event).

Secara hukum tata negara, argumen penolak di Indonesia sering mengutip konsistensi kebijakan luar negeri (tanpa hubungan diplomatik dengan Israel) dan aspirasi publik pro-Palestina; sementara argumen pendukung penyelenggaraan menekankan perbedaan ranah: kompetisi olahraga bersifat internasional dan diatur kontrak/standar internasional yang menuntut perlakuan nondiskriminatif terhadap peserta. Benturan ini menempatkan pemerintah dalam dilema politik-hukum yang kompleks. (Analisis hukum publik berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional dan kebijakan domestik.)

Dampak praktis dari dua pilihan—mengizinkan atau memblokir—jelas. Jika Indonesia mengizinkan kehadiran atlet Israel sekaligus menjamin keamanannya, terdapat risiko kritik politik domestik dan potensi terganggunya dukungan kelompok pro-Palestina; namun jika memblokir, ada risiko sanksi atau konsekuensi dari FIG (seperti pencabutan hak penyelenggaraan, denda, atau embargo kerja sama) seperti yang pernah dialami PSSI tahun 2023. Sejarah menunjukkan risiko nyata terhadap reputasi dan akses penyelenggaraan event internasional.

Dari sisi keamanan dan operasional, kehadiran delegasi negara yang dipolitisasi memerlukan perencanaan ekstra: jalur kedatangan dan keberangkatan terpisah, pengamanan ketat, koordinasi protokol dengan Kementerian Luar Negeri dan pihak keamanan, serta penanganan kemungkinan demonstrasi massa. Semua aspek ini meningkatkan biaya dan kebutuhan logistik penyelenggara. (Pengalaman konsorsium penyelenggara internasional menunjukkan peningkatan anggaran keamanan pada event dengan sensitivitas politik tinggi.)

Baca Juga: Negara Adidaya Lumpuh: Amerika Serikat Resmi Shutdown, Rakyat Terjerat Ketidakpastian

Dimensi sosial-media dan opini publik juga berperan besar: narasi-narasi pro dan kontra menyebar cepat, memengaruhi sentimen publik serta tekanan terhadap pejabat. Sebagian kelompok masyarakat mengorganisir petisi atau deklarasi penolakan, sementara komunitas olahraga dan beberapa kalangan profesional menekankan pentingnya menjaga prinsip “sport for all”. Laporan media lokal mencatat gelombang seruan penolakan yang disuarakan MUI dan beberapa ormas.

Secara etis, ada perdebatan tentang batas antara solidaritas politik dan hak individu atlet untuk berlaga. Pendekatan yang berorientasi hak menempatkan atlet sebagai individu yang tak selalu mewakili kebijakan negaranya—namun solidaritas politik menekankan bahwa membiarkan delegasi tampil di wilayah yang menyatakan penentangan bisa dipersepsikan sebagai bentuk normalisasi politik. Perdebatan ini bersifat normatif dan sulit menemukan “kebenaran tunggal”. (Refleksi etika olahraga dan politik).

Sisi ekonomi juga tidak bisa diabaikan: pembatalan atau gangguan penyelenggaraan membawa kerugian tiket, sponsor, dan pembangunan citra ekonomi kreatif. Sebaliknya, penyelenggaraan sukses dapat meningkatkan pariwisata olahraga dan citra internasional. Pilihan akhir pemerintah/penyelenggara akan mempengaruhi dampak ekonomi jangka pendek dan reputasi jangka panjang. (Studi kasus event internasional sebelumnya menunjukkan korelasi langsung antara stabilitas politik lokal dan keberhasilan ekonomi event.)

Respon internasional kemungkinan beragam: beberapa federasi dan pemerintah akan menilai keputusan Indonesia melalui lensa aturan federasi internasional, sementara aktor politik dan publik internasional yang pro-Palestina atau pro-Israel akan bereaksi sesuai perspektif geopolitiknya. FIG sendiri cenderung menegaskan prinsip nondiskriminasi; tindakan keras terhadap pelanggaran dapat berupa intervensi administratif.

Baca Juga: Bantuan Udara adalah Rudal Jenis Baru

Di ranah praktis, solusi hibrida yang pernah dipertimbangkan pada kasus lain meliputi: (a) penyelenggaraan tanpa sorotan politik—menjamin keselamatan peserta tetapi membatasi acara protokoler yang berpotensi dianggap “normalisasi”; (b) menyediakan status teknis (mis. bertanding di bawah bendera netral atau label federasi) — meski pada praktiknya FIG dan tubuh olahraga lain memiliki aturan ketat soal itu; atau (c) dialog diplomatik intensif supaya ada kesepahaman antara penyelenggara, FIG, dan pihak keamanan. Masing-masing opsi membawa keuntungan dan risiko berbeda. (Rangkuman opsi kebijakan berdasarkan praktik internasional.)

Untuk publik di Indonesia, penting memahami bahwa olahraga internasional berjalan pada persilangan norma global dan kedaulatan nasional. Keputusan akhir akan mencerminkan pilihan politik negara: apakah menempatkan konsistensi politik luar negeri dan aspirasi publik di atas kewajiban kontraktual internasional, atau sebaliknya. Pengukuran dampak harus melibatkan analisis risiko hukum (kontrak FIG), konsekuensi diplomatik, dan kehati-hatian terhadap stabilitas sosial domestik. (Rekomendasi manajemen risiko singkat.)

Akhirnya, kasus kehadiran atlet senam Israel di Jakarta bukan semata persoalan olahraga—ia adalah studi kasus persilangan politik, hukum, etika, dan manajemen acara internasional. Pengalaman Indonesia dengan Piala Dunia U-20 2023 mengingatkan bahwa keputusan emosional atau simbolik bisa berujung konsekuensi praktis besar. Oleh karena itu, diperlukan langkah terukur: data pengamanan, konsultasi hukum dengan FIG, komunikasi publik yang jelas, dan dialog lintas-pemangku kepentingan—agar pilihan yang diambil mempertimbangkan nilai-nilai nasional sekaligus kewajiban internasional.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Influencer Dibayar, Palestina Berdarah: Perang Sunyi di Media Sosial

Rekomendasi untuk Anda