MENATA AKHLAK DENGAN IBADAH

Shalat berjamaah seharusnya membentuk akhlak (Gambar: Pasar Kreasi)
berjamaah seharusnya membentuk (Gambar: Pasar Kreasi)

Oleh: Rudi Hendrik, reporter Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Apakah kalian setuju jika akhlak lebih penting dari pada ibadah? Sebab, tujuan utama dari semua ibadah adalah membentuk akhlak.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Imam Malik no. 1723).

Sabda Rasulullah tersebut sejalan dengan Firman Allah Subhana Wa Ta’ala:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa’ [21] ayat 107).

Shalat menata akhlak

Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Artinya : “Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegahmu dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut [29] ayat 45)

Jadi, siapa yang shalatnya tidak mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar, berarti shalatnya hanya gerakan-gerakan olahraga. Ia shalat, tapi akhlaknya tidak membaik.

Dalam hadits qudsi Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Aku hanya menerima shalat dari orang yang dengannya ia tawaduk pada keagungan-Ku, tidak menyakiti makhluk-Ku, berhenti maksiat kepada-Ku, melewati siangnya dengana zikir kepada-Ku, serta mengasihi orang fakir, orang yang sedang berjuang di jalan-Ku, para janda, dan orang yang ditimpa musibah.” (HR. Al-Zubaidi [3/21] dan [8/352])

Ada hubungan antara ibadah (shalat) dengan akhlak (sikap tawaduk dan kasih sayang). Maka sadarlah, jika shalatmu tidak membuatmu memiliki rasa kasih sayang terhadap orang lain, berarti shalatmu tidak menghasilkan buahnya secara sempurna.

dan menata akhlak

Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah [9] ayat 103)

Tujuan zakat adalah untuk menyucikan. Proses pengambilannya pun dengan cara yang santun dan menenteramkan jiwa.

Makna menyucikan adalah mendidik dengan akhlak yang baik. Orang yang berzakat akan belajar mengasihi sesama dan bermurah hati. Demikianlah, ibadah mengalir menuju akhlak.

Bagaimana dengan sedekah? Sedekah tidak semata-mata memberikan uang kepada seorang pengemis di pinggir jalan.

Mari kita simak hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang artinya, “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah. Amar makruf dan nahi mungkar yang kau lakukan adalah sedekah. Menunjukkan seseorang yang sedang tersesat adalah sedekah. Menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu adalah sedekah. Menuntun orang buta adalah sedekah. Dan sedekah paling utama adalah sesuap makanan yang kau berikan kepada isterimu.” (HR. Muslim no.2700 dan Ibnu Majah no.1691)

Pengertian sedekah saat ini telah bergeser. Ia sebenarnya mengarah kepada akhlak yang mulia. Makna lainnya adalah “sedekah akhlaki”, nama yang benar-benar menunjukkan esensinya.

menata akhlak

Lempar jumrah saat haji (Gambar: Santripedia.net)
Lempar jumrah saat (Gambar: Santripedia.net)

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda yang artinya, “Jika kalian sedang berpuasa, maka jangan berbuat kotor dan membentak. Jika dimaki atau diajak bertengkar, katakanlah, ‘Aku sedang berpuasa’.” (HR. Muslim)

Hari saat berpuasa adalah hari akhlak, karena itu janganlah berbuat fasik, mencela, menyakiti, dan seterusnya.

Puncak akhlak saat ibadah haji

Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

Artinya : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berbuat kotor, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 197)

Haji merupakan latihan disiplin akhlak yang cukup berat. Di sana, kita harus benar-benar berusaha berakhlak baik. Di sana kita tidak boleh bersuara keras, tidak boleh mencela seseorang, bahkan kita harus berusaha sekuat-kuatnya memperbaiki akhlak. Kita akan tinggal di sana sekitar 20 hari, dan itu benar-benar adalah sebuah pendisiplinan.

Tiga juta lebih jamaah haji dituntut untuk berdesak-desakan setiap tahun. Dalam kondisi yang sangat padat seperti itu, kita harus benar-benar menunjukkan akhlak.

Mereka semua melempar jumrah dalam waktu yang sama, mereka semua berada di gunung Arafah pada waktu yang sama. Ketika itulah akhlak mencapai puncaknya.

Jamaah haji telah latihan berakhlak baik bersama tiga juta jamaah lainnya selama sekitar 20 hari. Karena itu, sudah selayaknya seorang Muslim berakhlak baik kepada orang tuanya, istri/suaminya, kerabatnya, tetangganya dan orang lain, sepulang dari melaksanakan ibadah haji.

Jadi, shalat, zakat, sedekah, puasa dan haji, tidak akan banyak berarti bila tidak diikuti dengan perbaikan akhlak. Wallahu ‘alam. (P09/R1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0