DALAM sejarah Islam yang panjang, satu pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang terus bergema dan menjadi pegangan umat hingga akhir zaman adalah sabdanya, “Hendaklah kalian bersama al-jama’ah, karena sesungguhnya tangan Allah bersama al-jama’ah.” (HR. Tirmidzi). Ucapan ini bukan sekadar peringatan, tapi merupakan petunjuk hidup yang menyelamatkan: bahwa menetapi al-jama’ah adalah bagian dari iman, dan sekaligus benteng kokoh kesatuan umat Islam dari perpecahan yang mematikan.
Secara bahasa, al-jama’ah berarti kelompok, kumpulan, atau kesatuan. Namun dalam konteks Islam, al-jama’ah bermakna lebih dalam: ia adalah komunitas kaum muslimin yang berjalan di atas manhaj (metode) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, yang bersatu dalam ikatan aqidah, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta memiliki pemimpin yang mereka taati dalam kebaikan.
Menetapi al-jama’ah bukan berarti sekadar ikut-ikutan dalam kerumunan mayoritas. Tapi lebih jauh, ia adalah bentuk kepatuhan terhadap sistem Ilahi yang mengikat umat dalam barisan teratur—dengan adab, ilmu, dan kepemimpinan yang sah. Inilah mengapa Imam al-Barbahari berkata, “Jika engkau melihat seseorang mencela sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketahuilah bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu. Dan Rasulullah telah bersabda: ‘Umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan.’ Maka menetaplah bersama al-jama’ah.”
Al-Jama’ah sebagai Pilar Keimanan
Iman bukan hanya urusan hati, tetapi juga amal nyata yang tercermin dalam kesetiaan terhadap barisan umat Islam. Seorang muslim yang memahami nilai al-jama’ah akan menyadari bahwa kesendiriannya dalam ibadah, dalam perjuangan, dan dalam pengambilan keputusan hidup sangat rentan terhadap syubhat dan hawa nafsu. Dalam kondisi inilah iblis bekerja paling keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya serigala itu hanya memakan kambing yang terpisah dari kelompoknya.” (HR. Abu Dawud)
Baca Juga: Setelah Bill Gates Bicara Vaksin, Jakarta Mendadak Siaga TBC, Adakah Hubungannya?
Keimanan yang kokoh tumbuh dalam lingkungan yang sehat, dalam jama’ah yang saling menguatkan, menasihati, dan menolong dalam kebaikan. Seseorang mungkin kuat ketika sendirian, tapi jauh lebih kuat dan terlindungi ketika berada dalam barisan orang-orang beriman yang terorganisasi.
Umat Islam kini tengah berada di titik kritis sejarah. Di mana-mana, kita menyaksikan perpecahan, konflik antar kelompok, dan pertikaian internal yang merugikan umat sendiri. Semua ini bukanlah hal baru. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang selamat—yakni “al-jama’ah.” (HR. Abu Dawud)
Lalu bagaimana agar kita tetap menjadi bagian dari al-jama’ah yang selamat?
Pertama, dengan meluruskan aqidah sesuai dengan pemahaman salafush shalih. Kedua, dengan menetapkan hati pada jalan jama’ah yang terikat pada kepemimpinan Islam, bukan pada fanatisme kelompok atau mazhab. Ketiga, dengan menanamkan adab berjama’ah, seperti taat dalam kebaikan, berlapang dada, mengedepankan maslahat umum, dan menjauhi fitnah serta ghibah.
Baca Juga: Ibadah Haji dan Kesehatan: Pelukan Spiritual Yang Menyembuhkan Jasmani
Kesatuan tidak mungkin lahir dari egoisme. Ia hanya tumbuh dari hati-hati yang tunduk kepada Allah dan ikhlas untuk berjama’ah.
Jangan Tertipu oleh Kebebasan Semu
Di zaman ini, banyak yang menjunjung tinggi “kebebasan berpikir” dan “kebebasan memilih jalan sendiri.” Sayangnya, ini sering kali menjerumuskan ke dalam individualisme dan memutuskan diri dari jama’ah kaum muslimin. Ada yang merasa cukup hanya dengan menjadi “muslim pribadi”, tanpa merasa perlu terikat dengan struktur, kepemimpinan, dan aturan jama’ah. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa memisahkan diri dari jama’ah walaupun sejengkal, maka ia telah melepas ikatan Islam dari lehernya.” (HR. Ahmad)
Islam bukan agama individualistik. Ia adalah agama yang membentuk umat. Shalat berjama’ah lebih utama dari shalat sendirian. Puasa Ramadhan dimulai dan diakhiri bersama jama’ah. Haji dilakukan dalam barisan. Bahkan jihad sekalipun diperintahkan dalam struktur jama’ah yang sah.
Maka, betapa ironis jika seseorang mengklaim dirinya taat kepada Allah, namun enggan menetapi jama’ah. Ibarat seorang prajurit yang mengaku cinta tanah air, tapi tidak mau bergabung dengan pasukan perang.
Baca Juga: Zionisme: Wajah Kezaliman yang Membungkam Nurani Dunia
Berada dalam jama’ah menuntut kedewasaan spiritual. Kita belajar untuk tidak memaksakan kehendak pribadi, menerima koreksi, menaati perintah pemimpin dalam hal kebaikan, serta mengutamakan kepentingan bersama di atas ego.
Jama’ah melatih kita menahan diri dari celaan, sabar atas kekurangan saudara, serta tidak mudah mencela ketika keputusan yang diambil tidak sesuai harapan pribadi. Inilah kualitas ruhani yang hanya bisa tumbuh jika seseorang hidup dalam barisan. Tanpa jama’ah, seseorang bisa menjadi pribadi yang liar secara emosi dan rapuh secara spiritual.
Kemenangan Islam Dimulai dari Jama’ah
Tidak ada kemenangan dalam Islam tanpa jama’ah. Ketika Rasulullah ﷺ membangun kekuatan Islam di Madinah, hal pertama yang beliau bangun bukan hanya masjid, tapi struktur jama’ah: persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar, sistem ekonomi bersama, dan kepemimpinan tunggal di bawah Rasulullah ﷺ sendiri.
Demikian pula para khalifah setelah beliau. Mereka membangun peradaban dengan fondasi jama’ah yang kuat. Setiap kejayaan umat Islam lahir dari kebersamaan, kesatuan, dan kepemimpinan yang ditaati.
Baca Juga: Al-Jama’ah: Wadah Iman, Ladang Amal, dan Kunci Kejayaan Islam
Sebaliknya, setiap keruntuhan dalam sejarah Islam selalu diawali oleh perpecahan, pertikaian internal, dan hilangnya ketaatan terhadap jama’ah.
Menjaga Jama’ah adalah Amal Jihad
Menetapi jama’ah bukan hal ringan. Ada rasa lelah, ada konflik batin, ada pengorbanan. Tapi semua itu adalah bagian dari jihad. Menahan diri dari fitnah, menundukkan ego pribadi, dan tetap setia dalam barisan walau ada kekecewaan—semua itu adalah bagian dari jihad fi sabilillah yang besar pahalanya.
Jangan menunggu jama’ah menjadi sempurna untuk tetap bertahan. Jama’ah dibentuk oleh manusia biasa yang sedang berjuang menuju kesempurnaan. Yang kita jaga bukan kesempurnaannya, tapi keutuhan dan keberkahannya.
Menetapi al-jama’ah adalah pekerjaan akal dan hati. Tapi yang lebih penting, ia adalah pekerjaan bawah sadar. Kita harus menyemai kesadaran kolektif umat bahwa kita adalah satu tubuh. Sakit satu bagian, maka seluruh tubuh merasakannya. Kita tidak bisa merasa nyaman ketika umat lain terombang-ambing dalam perpecahan dan kelemahan.
Baca Juga: Bersama dalam Ketaatan: Urgensi Hidup Berjama’ah bagi Seorang Muslim
Kesadaran ini harus ditanamkan sejak kecil, diajarkan dalam keluarga, dimodelkan dalam komunitas, dan ditegakkan dalam institusi. Kita harus mulai berbicara sebagai “kita” bukan “aku”. Harus belajar hidup untuk umat, bukan hanya untuk kepentingan pribadi.
Menetapi Jama’ah, Jalan Menuju Surga
Menjadi bagian dari jama’ah yang lurus, bukan hanya menyelamatkan di dunia, tapi juga di akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa mati dalam keadaan tidak memiliki bai’at (kepemimpinan jama’ah) di lehernya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim)
Hadis ini bukan sekadar ancaman, tapi seruan kasih sayang. Allah ingin kita masuk surga dalam barisan yang rapi. Karena surga itu bukan tempat untuk orang-orang egois yang berjalan sendiri. Surga adalah tempat untuk umat yang bersatu dalam cinta, disiplin, dan ketundukan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Di tengah gelombang dunia yang penuh fitnah, umat ini butuh barisan. Bukan sekadar komunitas sosial, tapi jama’ah ruhani yang terorganisasi, memiliki visi peradaban, dan tegak di atas manhaj yang benar.
Baca Juga: Museum Al-Qur’an Al-Akbar Palembang: Wisata Religi Ikonik di Sumatera Selatan
Mari luruskan niat. Mantapkan hati untuk menjadi bagian dari jama’ah yang shalih. Tinggalkan egoisme, individualisme, dan fanatisme buta. Gantikan dengan cinta, adab, dan taat kepada pemimpin dalam kebaikan.
Karena ketika kita menetapi al-jama’ah, kita sedang membangun benteng perlindungan diri, menguatkan pilar keimanan, dan menjaga warisan agung Rasulullah ﷺ: umat yang satu, umat yang kuat, dan umat yang layak menang. Wallahu a’lam bish-shawab.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Hidup Bersama Al-Jama’ah: Kewajiban, Hikmah, dan Jalan Menuju Keutuhan Umat