Mengapa Ibu?

Oleh Taufiqurrahman, Lc

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ

Dari Abu Hurairah radhiyallaahuanhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahualaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shallallaahualaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu’.” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengulang tiga kali nama ibu sebagai sosok yang paling berhak untuk mendapatkan bakti anak. Lebih banyak dua kali dibanding ayah yang hanya disebut satu kali. Mengapa?

Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang ibu, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali, sementara kata ayah hanya satu kali. Bila hal itu sudah kita mengerti, realitas lain bisa menguatkan pengertian tersebut. Karena kesulitan dalam menghadapi:

  1. masa hamil
  2. kesulitan ketika melahirkan,
  3. dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu.

Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, seorang ayah tidak memilikinya.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubi X : 239)

Ibnu Bathal menguatkan alasan tersebut, “Konsekuensinya, hak ibu lebih besar tiga kali lipat dari hak ayah. Demikian karena kesusahan (ibu) di saat hamil, melahirkan dan menyusu.”

Penjelasan tersebut sejalan dengan keterangan yang Allah sampaikan melalui ayat berikut,

{ وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ }

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (QS Al Ahqaf : 15)

Berdasarkan penjelasan di atas tampak bahwa tiga keadaan tersebut menjadi alasan mengapa bakti dan cinta anak harus lebih besar kepada ibu dibanding ayah. Sebab kebaikan dan pengorbanannya tiga kali lipat lebih besar dari kebaikan ayah. Adapun ayah hanya berperan dalam sebab kehamilan seorang ibu.

Demikian dikuatkan juga oleh keterangan-keterangan lain yang diambil dari riwayat-riwayat berikut:

Zur’ah bin Ibrahim meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang menemui ‘Umar dan berkata, “Aku mempunyai seorang ibu yang telah lanjut usia. Dia tidak sanggup menunaikan kebutuhannya melainkan harus aku gendong. Aku juga membantunya berwudhu sembari memalingkan wajahku darinya (menghormati). Apakah aku telah menunaikan haknya?” Umar menjawab, “Tidak.” Lalu lelaki tadi menyahut, “Bukankah aku telah menggendongnya di punggungku dan aku menahan diriku atasnya?” Maka Umar pun menjawab, “Sesungguhnya ia telah melakukan hal serupa padamu dengan harapan agar kau tetap hidup. Sedangkan kau melakukannya dengan harapan agar segera berpisah dengannya.”

Suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Abdullah bin Umar radliallahu’anhuma dan berkata, “Aku menggendong ibuku di atas pundakku dari Khurasan hingga aku menunaikan manasik haji untuknya. Apakah menurutmu aku telah menunaikan haknya?” Ibnu Umar menjawab, “Tidak, meskipun untuk (membalas) satu tarikan nafas dari sekian nafasnya (saat melahirkan).”

Kedua riwayat tersebut menegaskan kembali alasan mengapa hak ibu lebih besar dibanding hak ayah. Yakni karena kepayahan dan pengorbanan yang ia alami dalam tiga kondisi di atas.

Pada dasarnya baik ibu maupun ayah memiliki hak yang wajib dipenuhi anak. Sebagaimana diterangkan pada ayat berikut,

{ وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا (٢٣) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤) }

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu di hadapan mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”  (QS Al Isra : 23-24)

Namun, pemenuhan hak kepada ibu lebih diutamakan manakala terjadi benturan dengan hak ayah di waktu bersamaan. Misalnya apabila ibu meminta seorang anak untuk memijitnya di saat bersamaan ayah memintanya agar segera membelikan sesuatu untuknya. Dalam kasus tersebut maka hendaknya seorang anak mendahulukan hak ibu dari hak ayah.

Jika tidak terjadi benturan maka baik hak ibu ataupun ayah wajib dipenuhi anak.

Tetapi harus diperhatikan bahwa anak perlu menimbang mana diantara perintah keduanya yang tidak mengandung maksiat. Jika ternyata salah satu perintah, baik ibu atau bapak, tergolong maksiat kepada Allah, maka tanpa memandang kedudukan antar keduanya, seorang anak harus mematuhi perintah yang mengandung ketaatan kepada Allah dan meninggalkan perintah kemaksiatan.

Dalam kitab ‘al mausu’ah al fiqhiyah’ jilid 8 halaman 68 disebutkan bahwa mayoritas ulama berpendapat wajibnya mendahulukan hak ibu dari hak ayah selama tidak mengandung maksiat. Bahkan riwayat lain dari Al Muhasibi menyebut adanya ijma’ ulama pada pendapat tersebut. Demikian juga didukung oleh Al Laits. (A/RA 02/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: توفيق

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.