Mengapa Persekusi Marak?

sumber gambar : Politik Today

Oleh : Widi Kusnadi, Wartawan MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Beberapa hari ini, kasus marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, menilai praktik persekusi di Indonesia menunjukkan peningkatan beberapa pekan terakhir ini.

Kasus terbaru persekusi menimpa seorang remaja mengaku bernama Putra Mario Alvian Alexander (15 tahun), warga jalan Cipinang Muara 3 RT 4 RW 8 , Jakarta Timur. Polisi menyatakan, bocah itu mengalami persekusi yang dilakukan oleh sejumlah orang yang merasa kecewa dan jengkel dengan statusnya di media sosial miliknya yang menghina Habib Rizieq Syihab.

Sebelumnya, Mario menulis status dalam akun facebooknya yang dianggap menghina Habib Rizieq. Setelah diperingatkan oleh Lesmana Geovanii Pahlevi, ia menyatakan menolak meminta maaf. Bahkan ia menantang jika ada pihak yang ingin melaporkannya ke polisi. Akhirnya aparat mengevakuasi Mario dan keluarganya karena massa yang menggeruduk rumahnya.

Pada kasus yang sama sebelumnya, Kapolres Solok Kota, AKBP Susmelawati Rosya juga dicopot gara-gara kasus persekusi ini. Kali ini, korban persekusinya bernama Fiera Lovita yang mengalami intimidasi dan diancam oleh ormas tertentu karena status di salah satu media sosial miliknya yang dianggap melecehkan ulama.

Rosya dinilai tidak melakukan penegakan hukum terhadap pihak yang diduga melakukan tindak pidana di dalam perkara itu. Padahal, aksi intimidasi dan pengancaman kekerasan itu nyata. AKBP Rosya menganggap masalah itu sudah selesai setelah kedua belah pihak membuat pernyataan. Namun, hal itu dianggap sebagai sebuah kesalahan karena tidak tuntas menangani masalah itu.

Definisi Persekusi dan Ancamannya

Dalam kamus KBBI online, persekusi (persecution) didefinisikan sebagai perbuatan pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga secara sistematis dan kemudian korban disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Motif persekusi ini biasanya karena suku, agama, atau pandangan politik.

Persekusi berbeda dengan main hakim sendiri. Main hakim sendiri adalah tindakan untuk menghukum suatu pihak tanpa melewati proses yang sesuai hukum yang berlaku. Persekusi lebih condong pada perbuatan yang dilatarbelakangi hal-hal yang disebutkan di atas, sementara main hakim sendiri lebih bersifat umum dan kriminal. Contohnya pelaku maling motor yang dihakimi massa hingga tewas.

Baca Juga:  Renungan Hardiknas 2024: Pendidikan Bermutu untuk Memperkuat Daya Saing Bangsa

Letjen (purn) Suryo Prabowo menuliskan, istilah ‘persekusi’ awalnya digunakan ketika umat kristen secara masif dicari dan dikejar-kejar massa dan pemerintah Romawi kuno, untuk dieksekusi. Padahal umat Kristen ketika itu tidak melakukan hatespeech kepada masyarakat dan pemerintah. Mereka hanya berbeda agama dengan penguasa saat itu.

Mengapa Melakukan Persekusi

Satu hal yang menarik untuk dianalisa, mengapa masyarakat saat ini lebih menyelesaikan masalah penghinaan dan pelecehan pada sesuatu yang dihormati dengan cara-caranya sendiri (persekusi). Bukankah mereka tahu ada aparat penegak hukum yang akan mengurusi segala perbuatan pidana.

Ada beberapa alasan yang mungkin bisa dikemukakan yang ini bisa menjadi catatan bagi semua pihak, terutama aparat keamanan:

Analisis pertama adalah, ada sebuah peribahasa, tidak mungkin ada asap jika tidak ada api. Dalam kasus ini, tidak mungkin sebagaian masyarakat melakukan aksi persekusi jika memang tidak ada sebab-sebab yang melatarbelakanginya.

Menurut hemat penulis, jika ingin meredam aksi persekusi, tentu aparat harus menghentikan ujaran-ujaran kebencian yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dengan juga memproses hukum mereka. Jika memang mereka memposting status-status bernada ujaran kebencian, tentu bisa dijerat dengan pasal UU ITE seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Istilahnya memadamkan apinya dulu supaya asapnya juga hilang.

Di samping itu, himbauan-himbauan kepada masyarakat agar jangan saling mencela, menghina tetap harus senantiasa dilakukan.

Analisis kedua, masyarakat sepertinya tidak terlalu percaya pada aparat dalam soal penegakan hukum dan rasa keadilan. Sebagaian menganggap, polisi berbuat kurang adil dalam memproses perkara-perkara, khususnya yang melibatkan ormas tertentu.

Penulis mengambil contoh misalnya dalam kasus bendera merah putih yang bertuliskan kalimah tauhid yang terjadi pada Januari 2017 lalu. Aparat segera memeriksa pelaku, sementara tidak sedikit bendera merah putih yang ditulisi kata-kata seperti Metalica tidak disentuh.

Dalam kasus Abu Sadeli, ia dinyatakan sebagai tersangka karena melakukan deklarasi dukungan terhadap salah satu cagub DKI Jakarta dengan mengacungkan golok. Oleh pihak kepolisian, Ia dijerat dengan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Sementara kasus yang terjadi di Sintang, Kalimantan Barat, sebuah kelompok massa merangsek masuk bandara dengan membawa senjata tajam, hingga saat ini belum ada kabar proses hukumnya.

Baca Juga:  Dukungan Mahasiswa AS untuk Palestina Menginspirasi Dunia

Perlakuan istimewa yang diterima oleh Bapak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan tidak ditahannya ia selama menjadi tersangka hingga menjalani persidangan dalam kasus penodaan agama juga menjadi catatan bagi sebagian masyarakat. Padahal kasus-kasus penodaan agama yang terjadi sebelumnya, pelaku selalu ditahan dan dijatuhi hukuman yang lebih berat dari Ahok.

Deretan Kasus Penghinaan Terhadap Ulama

Mungkin bagi sebagian orang, sosok Habib Rizieq Syihab bukanlah merupakan seorang ulama. Akan tetapi bagi para pengikutnya, ia merupakan sosok kharismatik yang harus dijaga kehormatannya, dijaga harta dan jiwanya. Bahkan, sebagian pengikutnya rela mati atau dipenjara demi membela Habib Rizieq.

Memang begitulah cara para santri memuliakan sosok panutannya. Selama sang tokoh tadi tidak nyata-nyata murtad (keluar dari agama) atau melakakukan perbuatan maksiat, maka mereka tidak akan merelakan satu helai rambut pun jatuh karena perlakukan orang-orang yang zalim kepadanya.

Jika mencermati orang-orang yang tidak suka pada Habib Rizieq, baik di media sosial maupun di dunia nyata, selain kasus Putra Mario Alvian Alexander dan Fiera Lovita di atas, setidaknya penulis mendapati ada beberapa postingan yang terkesan menghina atau merendahkan, baik itu kepada Habib Rizieq, Ustaz Arifin Ilham, TGB Muhammad Zainul Majdi dan lainnya. Berikut adalah beberapa contohnya:

  1. Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi mendapat pelecehan verbal dari seorang pengusaha muda bernama Steven Hadisurya Sulistyo. Peristiwa ini terjadi saat ia melakukan atrian di Bandar Udara Changi, Singapura pada 9 April 2017 lalu.
  2. Pedangdut Inul Daratista pada Maret 2017 lalu menuliskan komentar di akun Instagram miliknya yang menyebut pria bersurban bisa berbuat mesum. Ia dinilai telah menghina ulama dengan komentarnya itu. “Jika menuduh orang berzina, maka dia wajib menghadirkan empat orang saksi yang melihat dengan mata kepalanya,” katanya Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain.
  3. Sebuah video di Youtube menggambarkan tiga orang remaja (satu pria dan dua wanita) menirukan gaya dan ucapan ust Arifin Ilham. Namun dalam video itu, tiga remaja itu menirukan sambil cengengesan sehingga terkesan melecehkan ust Arifin yang melakukan poligami.
  4. Seorang tenaga honorer berinisial A di Cimahi yang dilaporkan polisi karena dalam beberapa postingannya dianggap menghina Habib Rizieq. Akun @rat0n0efendi memposting sejumlah foto A duduk di sebuah ruang tamu dengan banyak orang.
  5. Dalam sebuah video di Youtube, seorang wanita yang sebut bernama Daimah binti Tamami berbicara melontarkan kata-kata dengan nada menghina ust Yusuf Mansur. Tidak hanya Yusuf Mansur, SBY pun tidak luput dari caciannya.
Baca Juga:  Renungan Hardiknas 2024: Pendidikan Bermutu untuk Memperkuat Daya Saing Bangsa

Mari Mencari Solusi

Untuk mengatasi aksi persekusi yang terjadi akhir-akhir ini, tentu memerlukan kerja sama dari semua pihak, baik masyarakat, aparat penegak hokum, terutama pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya yang harus memenuhi rasa masyarakat.

Berbicara penegakan hukum, tentu bukan hanya pelaku persekusi yang harus ditindak, tetapi para penyebar kebencian, penghina tokoh tertentu dan pihak-pihak yang terlibat harus dipreses secara adil dan tepat, tanpa memandang status.

Presiden sebagai kepala negara haruslah dapat merangkul semua elemen masyarakat dalam rangka mensukseskan program-program yang telah dibuatnya. Sekecil apapun peran yang bisa dilakukan sebuah elemen masyarakat, tentu hal itu tetap dibutuhkan.

Sesuai dengan semangat sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia haruslah benar-benar dapat dirasakan. Banyak kasus kejahatan yang terjadi di sebuah negara karena berawal dari ketidakadilan sosial, baik itu keasilan ekonomi, hukum, politik dan lain sebagainya.

Sebagai , apalagi kita berada di bulan suci Ramadhan 1438 H, mari kita tanamkan semangat saling memaafkan,  saling menghormati  antar sesama warga negara Indonesia, apalagi sesama umat Islam.

Ujaran kebencian, statemen-statemen yang berbau SARA harus kita hindari. Jika ada yang melakukan itu, kita serahkan pada pihak berwajib.  Mari kita doakan, semoga Polisi di bawah kepemimpinan Bapak Tito Karnavian bisa mengemban amanah dengan baik, adil dan dapat memberi rasa aman dan nyaman kepada seluruh rakyat Indonesia. (P2/RS2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.