Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengapa Rusia Begitu Marah pada Ukraina? (Oleh: Rifa Berliana Arifin)

Rifa Arifin - Rabu, 2 Maret 2022 - 06:54 WIB

Rabu, 2 Maret 2022 - 06:54 WIB

7 Views ㅤ

Perang Rusia vs Ukraina sudah memasuki hari ke lima, situasi makin tidak kondusif, korban sipil dan militer dari Ukraina berjatuhan, tercatat sampai saat ini 102 korban tewas dan 500 ribu orang mengungsi. Kalkulasi perang ini sepertinya belum diperhitungkan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.

Zelensky keliru memahami strategi bergabung dengan NATO tanpa mempertimbangkan faktor dalam negeri dan skema bantuan NATO jika perang berkelanjutan.

Sampai saat ini, bantuan militer dari anggota NATO belum kunjung datang, meski lusinan sanksi dari beberapa negara Eropa sekutu Amerika Serikat sudah diterbitkan, dimulai dari bank-bank Rusia dikeluarkan dari sistem keuangan internasional, pembekuan aset-aset vital Rusia di Uni Eropa.

Di tengah dunia yang kian berangsur pulih dari Covid-19, tapi dikejutkan dengan sikap Presiden Rusia Vladimir Putin yang bersikeras dan selangkahpun tidak mundur dari meginvasi Ukraina, sebetulnya apa yang membuat Putin sebegitu marah pada Ukraina?

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Putin merasa dibodohi dan dikecoh oleh NATO, Putin dan negaranya merasa dimusuhi. Pada tahun 1990 Putin sudah mewanti-wanti secara tegas bahwa dirinya tidak akan membiarkan NATO bergerak ke arah Timur meski itu hanya seinci.

Negosiasi yang menjadi kesepakatan itu berasal dari percakapan pada tahun 1990 antara Menteri Luar Negeri AS saat itu James Baker dan pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev. Sejarawan di era masa perang dingin Mary E Sarrote mencatatnya dalam bukunya Not One Inch bagaimana negosiasi itu berlangsung.

Saat itu, Baker mengemukakan gagaTreatysan untuk membiarkan Jerman bersatu kembali dengan imbalan NATO bergerak tidak satu inci pun ke timur. Gorbachev menyetujuinya.

NATO (North Atlantic Treaty Organization) adalah pakta pertahanan negara-negara barat yang dibuat pasca Perang Dunia II, untuk menghadapi negara-negara Pakta Warsawa yang komunis pimpinan Uni Sovyet.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Memasuki tahun 1991 di mana Uni Soviet runtuh, terpecah jadi berbagai negara, Pakta Warsawa buyar dan sebagian besar negara yang sebelumnya merupakan bagian dari Uni Soviet atau di bawah pengaruh Soviet mulai melirik Barat.

Di sinilah kemudian  AS  berpikir bahwa memperluas NATO adalah ide yang baik, cara ampuh bagi Barat untuk memastikan pengaruhnya di Eropa paska runtuhnya Soviet. Rusia tentu sangat menentang itu, NATO selamanya akan menjadi ancaman bagi Rusia.

NATO berkembang menjadi kekuatan pertama di tahun 90-an dengan tambahan anggota dari beberapa negara Eropa tengah. Kemudian  di tahun 2000-an mulai bertambah banyak negara lebih jauh ke timur yang masuk menjadi anggota, termasuk segelintir negara pecahan Soviet. Rusia semakin merasa dimusuhi.

Mengapa Ukraina Diinvasi

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Presiden Putin masih bersabar ketika Polandia dan Cekosloakia lanjut Estonia dan lainnya bergabung  menjadi anggota NATO, namun ketika NATO mulai masuk ke Ukraina, kesabaran Putin habis.

Putin selalu berpikir bahwa Ukraina dan Rusia adalah satu tubuh karena terlalu banyak ikatan budaya dan sejarah diantara keduanya. Bahkan bila melacak jejak sejarah 12 abad lalu negara Rusia dimulai dari Ukraina.

Ketika Presiden AS George W Bush menawarkan keanggotaan NATO kepada Ukraine 2008, inilah yang menjadi pemicu awal. Walau keanggotaannya ditolak oleh Perancis dan Jerman. Tapi itu memberikan kejumawaan Ukraina hingga saat ini.

Dunia internasional makin khawatir ketika kemarahan Putin memuncak sampai Rusia saat ini sudah mengaktifkan senjata nuklirnya. Pilihan Putin adalah antara NATO mundur dari Ukraina atau Ukraina rata dengan tanah.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Pilihan NATO dan Ukraina akan mentukan ke mana muara konflik ini berakhir, sementara Rusia tidak ada opsi mengalah dan mundur pada negosiasi kosong.

Posisi Indonesia

Indonesia masih menjadi negara yang bergantung pada impor minyak dan gandum juga barang elekronik lain berbasis logam. Di mana konsumsi kedua komoditi ini sangat besar, seperempat kebutuhannya diimpor dari Rusia. Tanaman gandum tidak bisa ditanam di Indonesia, sedangkan perubahan pola masyarakat Indonesia ke roti dan mie instan terus memicu ketergantungan pada gandum.

Perang Rusia vs Ukraina ini berdampak dua sisi terhadap Indonesia. Komoditas sumber ekspor Indonesia seperti batu bara harganya ikut naik, tapi satu sisi harga minyak yang tinggi bisa merugikan Indonesia.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyatakan, Rusia dan Ukraina adalah negara-negara sahabat Indonesia, maka Indonesia mengharapkan perdamaian segera tercapai.

Ini adalah pernyataan diplomat tertinggi Indonesia yang mengandung banyak makna. (A/RA-1/P1)

Miraj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Rekomendasi untuk Anda

Eropa
Eropa
Internasional
Internasional
Internasional