Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengembangkan Aneka-ragam Sumber Pangan Lokal Berbasis Komunitas (Bagian akhir)

Rana Setiawan - Ahad, 31 Desember 2023 - 09:31 WIB

Ahad, 31 Desember 2023 - 09:31 WIB

7 Views

Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA MUI) Dr Hayu Prabowo.(Foto: Dok. MINA)

Oleh: Dr. Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH & SDA MUI)

 VI. Membangun Pangan Lokal Berbasis Masyarakat

Untuk dapat membangun pangan lokal berbasis masyarakat dalam jangka panjang Said Abdullah (2020) menggagas setidaknya ada empat hal yang perlu difasilitasi.

Pertama, memberikan akses terhadap sumber-sumber produksi pangan, lahan salah satunya kemudian input pertanian, misalnya pupuk, benih, Alsintan (alat mesin pertanian).

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Pemerintah hari ini sudah banyak menggelontorkan bantuan ke petani terkait dengan Alsintan dan sebagainya, tapi perlu perbaikan yang kuat terkait dengan ketepatan, tepat waktu, sasaran dan lainnya.

Ketahanan pangan berbasis masyarakat, syarat pertama ketersediaan lahan harus dipenuhi, karena agak sulit membayangkan ketahanan pangan terwujud bila akses terhadap sumber produksi dalam hal ini lahan, terutama di pedesaan, terbatas.

Kedua, adalah caranya, ketika prasyarat lahan terpenuhi. Terkait lingkungan, kita harus sudah mulai sadar dan melakukan hijrah, dari model pertanian yang sangat boros sumber daya, terutama sumber daya eksternal dari luar lingkungan lahan pertanian.

Misalnya penggunaan pestisida, pupuk kimia yang berlebihan, perusakan lingkungan pertanian, itu yang harus dikurangi. Model pertanian yang digunakan harusnya model pertanian yang berkelanjutan atau pertanian yang ekologis.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Karena ancamannya menjadi sangat kuat terutama perubahan iklim, degradasi agroekosistem kita sudah luar biasa terutama di Jawa. Kesuburan tanah sudah hancur, ahli pertanian IPB pernah meneliti unsur bahan organik itu hanya 0,05% padahal harusnya 1% dari setiap area lahan pertanian.

Ketiga, bagaimana mengembangkan pasar yang tidak hanya bagus, baik dalam konteks penjualan, tetapi juga berkeadilan. Dari rantai distribusi produk itu dari pertanian hingga konsumen, sebenarnya siapa yang paling banyak mendapat keuntungan?

Dua riset KRKP pada beras di Jawa Tengah dan Karawang, yang paling banyak justru para penggilingan dan pedagang beras yang lebih besar untungnya.

Petani itu hanya dapat setengah dari yang didapatkan oleh para pedagang rantai berikutnya. Jadi perlu ada pasar yang berkeadilan. Bila ada petani di gambut boleh dibuat pasarnya, tapi jangan lupa soal keadilan.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Sistem dan cadangan pangan lokal berbasis kearifan lokal masyarakat. Misalnya NTT dengan agroekosistem semi-arid (iklim semi-arid adalah perbedaan musim hujan dan kemarau yang sangat menyolok), harus dikembangkan pertanian dengan mode pertanian yang cocok dengan iklim di sana, Jagung, sorgum, apalagi umbi-umbian yang tahan kering dan tahan panas yang harus dikembangkan sebagai suatu sistem.

Bila di sana ada mekanisme berbagi antar suku antar komunitas, itulah yang dikembangkan. Di Baduy misalnya ada sistem tanam yang bergilir tanpa merusak hutan tutupan, itu yaitu harus dikembangkan dan didukung.

Untuk mencapai ke sana dapat dilakukan langkah pertama adalah membangun kesadaran kolektif pada level komunitas dimulai bahwa pangan itu penting, desa kita harus kuat pangannya.

Kedua melakukan pengukuran neraca pangan paralel dengan pembangunan kesadaran. Biasanya satu desa atau satu komoditas apa pun levelnya diukur berapa orang di situ atau ada berapa mulut kasarnya, ada berapa perut yang harus makan, berapa banyak beras yang dimakan per hari, per bulan, per minggu, berapa banyak sayur, ikan, dsb.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Kemudian dari mana datangnya? dari beli atau lainnya. kemudian berapa yang diproduksi, berapa luas lahan, sehingga pada akhirnya kita punya neraca antara produksi dan konsumsi. Bila produksinya lebih besar dari konsumsi berarti desa swasembada.

Kemudian bagaimana mengoptimalkan kelebihan produksi tersebut. Apakah tadi ada langsung ke unit pengolahan pasca panen dan pemasaran atau seperti apa. Bila dia neraca produksinya defisit, maka bagaimana caranya meningkatkan produksi atau mengurangi konsumsi.

Apakah dengan intensifikasi memperkuat proses produksinya, atau bekerjasama dengan desa yang lain.

Ketiga, pengembangan kelembagaan. Jadi setelah ada neraca, apa yang bisa dilakukan, siapa yang melakukan karena tidak mungkin individu ataupun rumah tangga, maka perlu dibuat kelembagaan. Ini sangat bebas, misalnya di Sumba itu dengan ibu-ibu, di Flores dengan kelompok desa dan kelompok tani dan macam-macam bentuknya.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Keempat mengembangkan strategi produksi-distribusi-konsumsi terutama untuk warga desa. Bagaimana tata produksinya? Bagaimana jalur distribusinya? bagaimana pengolahan? dst. Sehingga pada akhirnya kita punya tata produksi yang kuat. Kemudian membentuk lembaga cadangan pangan dan dari situlah muncul satu sistem pangan yang baru.

Tema kedaulatan pangan menjadi isu penting karena nyatanya hari ini kita seringkali tidak punya kuasa atas apa yang kita konsumsi akibat pola homogenisasi bahan pokok makanan akibat kebijakan yang sentralistik dari pemerinah pusat. Disitulah kemudian kita berusaha untuk (1) mendorong perbaikan pada level kebijakan, (2) memperkuat kapasitas produsen pangan dalam hal ini petani untuk bisa memproduksi pangan lebih baik bagi dirinya, keluarga maupun komunitas dan rakyat di konteks merealisasikan bonus demografi dalam membangkitkan peradaban.

Diversifikasi pangan lokal sebagai akar kemandirian pangan perlu dibangun berdasarkan nilai dan keidealan yang ada dalam masyarakat. Sistem pangan yang memberikan keleluasaan dan kewenangan mengelola secara penuh kepada komunitas lokal guna membuat kebijakan pangan mereka secara berdaulat.

Saatnya bagi kita menghidupkan kembali sistem-sistem sosial yang ada di masyarakat kita dengan menggunakan kekuatan-kekuatan lokal bukan diatur dari pemerintah pusat. Sehingga masyarakat lebih tahan atau lentur terhadap tantangan dan ancaman baik pasar maupun bencana.(AK/R1/P1)

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

 

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Referensi

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Momon Rusmono, Kebijakan Pertanian Pemantapan Sistem Pangan Nasional, Kementerian Pertanian, 2020

Imam Mujahidin Fahmid, Membangun Ketangguhan Sosial dan Pangan Nasional, Universitas Hasanuddin, 2020

Agung Hendriadi, Pemantapan Sistem Pangan Nasional, Badan Ketahanan Nasional, 2020

Iwan Setiawan, Diversifikasi Pangan Lokal: Kemandirian & Ekologi Kebebasan, Universitas Padjajaran, 2020

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Yadi Heryadi, Pasang Surut dan Kontribusi Program Diversifikasi Pangan Dalam Pemantapan Ketahanan Pangan, Universitas Siliwangi, 2020

Said Abdullah, Membangun Ketahanan Pangan Berbasis Masyarakat, Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan, 2020.

Hayu Prabowo, Locavore – Makan Dari Yang Terdekat, http://www.ecomasjid.id/post/locavore-makan-dari-yang-terdekat, 2018

 

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

 

 

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Rekomendasi untuk Anda