Mengenal Beberapa Model Guru dalam Dunia Pengajaran

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Islam menghargai terlihat dari kedudukannya yang setingkat di bawah nabi dan rasul. Sebab, guru berkaitan dengan ilmu dan Islam sangat menghargai ilmu seperti dijelaskan dalam surat Al Mujadilah ayat 11,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Sementara, dalil lain yang menunjukkan bahwa Islam menghargai ilmu pernah disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW. Beliau bersabda,

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَهَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ باِلعِلْمِ

“Siapa menginginkan kebaikan di dunia ini, hendaklah ia mencapainya dengan ilmu. Siapa menginginkan kebaikan di akhirat, maka ia harus mencapainya dengan ilmu. Dan siapa menginginkan keduanya, hendaklah mencari ilmu.” (HR. Thabrani).

Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti dilembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau atau musholla dan di rumah.

Setidaknya ada beberapa guru dalam sebuah proses di suatu lembaga. Model-model guru itu antara lain sebagai berikut.

Pertama, guru yang fokus utamanya hanya materi. Ada sebagian orang yang menjadi guru karena tujuan utamanya mencari materi. Guru model ini menjadikan pengajaran sebagai ladang baginya untuk mendulang materi semata.

Pada kenyataannya ia telah melecehkan mulia seorang guru sebab menjadikan sarana untuk mengeruk keuntungan materi. Dia tidak lagi memandang profesi ini kecuali hanya dari sudut materi. Padahal profesi mengajar jauh lebih tinggi dan mulia dari sekedar profesi resmi atau sumber penghidupan. Profesi guru adalah pekerjaan mencetak generasi dan membangun umat.

Memang benar hak setiap orang untuk mencari kehidupan yang layak dan mendapatkan sumber terhormat bagi rizkinya. Namun, ini potret lain dari sebelumnya, dimana pemiliknya telah melecehkan pengajaran. Ia tidak lagi memilih profesi ini (guru) kecuali karena materi yang mengalir.

Ambisi utamanya dan perhitungan pentingnya adalah untung rugi materi, dorongan dan rintangan. Lalu, apakah orang semacam ini bisa diberi amanat untuk membimbing generasi dan menuntun anak-anak didiknya ke jalan yang lebih mulia?

Kedua, guru yang menyalahkan zamannya, mengeluhkan nasibnya. Guru semacam ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan guru model pertama. Hanya saja guru model ini merasa memiliki nasib yang paling buruk.

Sebagian rekan-rekannya telah meraih jabatan yang paling tinggi, tapi tidak dengan dirinya. Ciri guru model ini ia selalu merasa tidak memiliki hak untuk libur, meminta izin kapanpun ia mau, seringnya berinteraksi dengan kertas-kertas bisu bukan dengan jiwa-jiwa anak didik yang beraneka ragam.

Ia punya pandangan lain dari yang lain. Ia selalu punya pandangan pesimis saat temannya yang lain optimis. Ia selalu melihat segala sesuatunya dengan mata kerugian disaat teman-temannya selalu melihat dengan mata keuntungan. Pada akhirnya, guru semacam ini tidak mengenal kemuliaan mengajar, dan tidak mempunyai kompetensi untuk mendidik dan mengarahkan anak didiknya.

Pertanyaannya, “Hasil pendidikan seperti apa yang bisa diharapkan dari guru-guru model seperti ini?”

Ketiga, guru yang kehilangan ghirah (semangat). Model ini bisa jadi mempunyai sisi-sisi persamaan dengan model pertama dan  kedua, namun siempunyanya mempunyai karakter acuh tak acuh dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang pengajar atau pendidik.

Melihat putra-putri kaum Muslimin yang berenang dalam kubangan kerusakan, terjerat jaring-jaring kemaksiatan, tetapi tidak ada sedikitpun dari dirinya tergerak atau semangatnya yang terpicu dan terpacu. Dalam hati ia berbisik, “Ini bukan urusan saya.” Sebab urusannya hanya mengajar antara subyek dan obyek semata, atau sekedar menerangkan komposisi teori-teorinya dan membuka rumus-rumus saja.

Padahal sejatinya, ia bisa saja mengajar ilmu-ilmu agama dan pendidikan Islam, namun kenyataannya para peserta didik memang tidak penting di matanya. Pertanyaannya, pertimbangan apakah yang menguasai guru-guru model begini, sehingga lebih cuek melihat anak-anak kaum Muslimin terus menerus berkubang dalam kebodohan dan kemaksiatan?

Keempat, guru yang merasa terpaksa. Guru model ini merasa terpaksa harus menjadi pengajar, sebab segala pekerjaan sudah ia coba semua tapi ia tidak mendapatkannya. Maka menjadi guru adalah satu-satunya pilihan yang ada di depan matanya. Seperti kata pepatah, “Tidak ada rotan akarpun jadi.”

Model guru-guru yang memilihi profesi guru karena terpaksa seperti ini sudah tentu dalam proses mengajar ia sulit memahami misi sebuah pengajaran dan kemuliaan pendidikan. Baginya, menjadi seorang guru adalah pilihan terpahit di antara pilihan lain yang tak kunjung bisa diraihnya.

Terbayang bukan, seperti apa dan bagaimana kelak anak-anak didik yang menerima pengajaran dari seorang guru yang merasa terpaksa dalam mengajar?

Kelima, guru yang ikhlas tanpa melupakan dunia. Pada kenyataannya keempat model guru di atas pada hakikatnya tetap satu, yaitu melalaikan dan mencampakkan tanggung jawab. Lalu model guru manakah yang kita inginkan dan harapkan?

Tentu saja kita tidak ingin guru yang membuang dunia di belakang punggungnya, mentalak dunia tiga kali dan tidak peduli kepadanya sama sekali. Atau guru yang tidak pernah berpisah dengan mihrabnya atau guru yang tidak ada sesuatu pun besar atau kecil yang lepas darinya. Ini adalah model-model yang tinggi, tetapi tidak untuk semua orang.

Yang kita inginkan adalah guru yang ikhlas, selalu optimis dalam meraih –sama dengan yang lain- sumber rizkinya. Ia punya pandangan bahwa ia pun berhak sama dengan yang lain menikmati keistimewaan-keistimewaan administrasi dan profesi. Namun, semua keinginan itu tidak berbalik menjadi tujuan pertama dan utama, satu-satunya tolok ukur dan pendorong penting keputusannya untuk meniti jalan pengajaran.

Dia memilih jalan menjadi seorang guru untuk berbakti kepada umat, mencetak generasi, dan mendidik tunas-tunas muda sebagai proses kaderisasi di masa depan. Dia merasa tersentuh melihat kenyataan anak-anak muda, menganggap mereka anak-anaknya.

Dia berpandangan bahwa usaha memperbaiki mereka adalah skala prioritas profesinya, dan mendidik mereka merupakan tanggung jawab besarnya. Dia menunaikan tugas-tugas pekerjaanya dengan baik untuk bisa menikmati gajinya dengan halal dan berkah. Walaupun demikian, tentu saja dia tetap akan memperoleh keistimewaan-keistimewaan materi sama dengan yang lain. Bahkan ia pun bisa hidup dengan tenang dan penuh keberkahan, wallahua’lam. (A/RS3/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.