Oleh: Nur Ikhwan Abadi, Presidium Lembaga Kepalestinaan Aqsa Working Group
Enam Belas tahun sudah Gaza diblokade oleh zionis Israel, hingga kini tidak ada tanda-tanda perlintasan yang ada di daerah tepian laut mediterania ini akan dibuka. Perlintasan darat merupakan satu-satunya perlintasan yang bisa digunakan warga Gaza untuk keluar dan masuk ke daerah berpenduduk padat tersebut.
Selama ini kita hanya mengenal Rafah sebagai pintu perlintasan, sebenarnya pintu pintu perlintasan yang ada di Gaza ada banyak. Dari enam perlintasan yang ada di Jalur Gaza, hanya Rafah yang berbatasan langsung dengan Mesir, sementara sisanya berbatasan dengan tanah Palestina yang dijajah Israel. Pada tulisan kali ini saya akan kenalkan pintu-pintu perlintasan yang ada di daerah seluas 365 meter persegi ini.
1. Perlintasan Erez / Bayt Hanoun
Baca Juga: Oposisi Israel Kritik Pemerintahan Netanyahu, Sebut Perpanjang Perang di Gaza Tanpa Alasan
Perlintasan ini terletak di utara Jalur Gaza, jaraknya dari Rumah Sakit Indonesia sekitar 2,5 km. Ketika masih dibuka secara penuh, pintu perlintasan ini merupakan pintu gerbang bagi para pekerja di Jalur Gaza yang akan bekerja ke Tepi Barat dan Israel. Selain itu perlintasan ini juga digunakan untuk perdagangan dan tamu-tamu VIP. Namun pada tahun 2007 Israel menutup perbatasan ini, karena banyaknya aksi bom syahid yang dilakukan oleh para pejuang Gaza. Hingga saat ini perlintasan masih dibuka secara terbatas dan hanya mengizinkan tamu-tamu khusus, lembaga-lembaga asing serta untuk warga Gaza yang memerlukan perawatan khusus, di Tepi Barat, Israel ataupun Jordania.
2. Perlinatasan Nahel Oz
Letak perlintasan ini di sebelah timur Kota Gaza, penyebrangan ini merupakan markas militer Israel, yang ditetapkan oleh pendudukan Zionis sebagai stasiun bahan bakar untuk disalurkan dari Israel ke Jalur Gaza. Adapun di perlintasan tersebut terdapat tangki bahan bakar dan gas yang terhubung langsung ke jaringan pipa Israel. Kebutuhan bahan bakar di Gaza memang cukup tinggi, pendudukan Zionis mengontrol secara ketat masuknya bahan bakar di Jalur Gaza. Kebutuhan BBM di Gaza perhari terdiri dari 350.000 liter solar, 120.000 liter bensin, 350 ton gas, 350.000 solar khusus industri yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik di Gaza. Namun saat ini perlintasan ini sudah ditutup oleh pemerintahan Zionis dan hanya menyisakan markas militer saja.
3. Perlintasan Karni
Baca Juga: Hamas Ungkap Borok Israel, Gemar Serang Rumah Sakit di Gaza
Pintu perlintasan ini didirikan pada tahun 1994, terletak di timur laut kota Gaza, perlintasan ini digunakan sebagai perlintasan komersil untuk ekspor dan impor barang-barang yang dibutuhkan oleh Gaza. Perlintasan ini disebut juga sebagai perlintasan “back to back” yang artinya setiap produk-produk Palestina yang akan diekspor keluar, akan diangkut oleh truk Palestina dan ketika sampai diperbatasan barang-barang tersebut akan dikeluarkan dari truk Palestina dan dimasukan kedalam truk Israel dan begitu juga sebaliknya, barang-barang yang akan masuk ke Jalur Gaza akan ditrasnfer dari truk Israel ke truk Palestina.
Selain untuk perlintasan perdagangan, Karni juga digunakan oleh warga Yahudi di Netzarim untuk melintas, karena perlintasan Karni ini adalah satu-satunya rute menuju ke pemukiman Israel yang terisolasi setelah disepakatinya perjanjian Oslo tahun 1994.
Sebelumnya perlintasan Karni ini ditutup sejak 2000 saat Hamas mengambil alih jalur Gaza, namun beberapa kali kembali dibuka, sebelum akhirnya ditutup secara permanen pada pada tahun 2011. Saat masih menjadi perlintasan komersial, setidaknya 400 truk keluar masuk di perlintasan ini membawa barang-barang kebutuhan warga Gaza.
Berbeda dengan perlintasan Erez yang dikelola oleh IDF atau tentara pertahanan Israel, perlintasan Karni dikelola oleh Otoritas Bandara Israel. Menurut beberapa sumber nama perlintasan Karni diambil dari seorang Israel yang pernah mendirikan gudang pengepakan modern di dekat perlintasan tersebut pada tahun 1967, sementara orang Palestina menyebutnya perlintasan Al-Montar karena terdapat sebuah bukit bernama Al-Montar di perlintasan tersebut.
4. Perlintasan Sofa
Baca Juga: Semua Rumah Sakit di Gaza Terpaksa Hentikan Layanan dalam 48 Jam
Perlintasan ini merupakan perlintasan yang paling kecil di Jalur Gaza. Terletak di tenggara Jalur Gaza berdekatan dengan penyeberangan Karim Abu Shalim. Perlintasan ini dibuat oleh pendudukan Zionis Israel khusus untuk memasukkan barang-barang bangunan. Namun terkadang penjajah zionis Israel menjadikannya sebagai alternatif kedua untuk memasukan bantuan kemanusiaan setelah perlintasan Karni. Perlintasan yang dikuasai penuh oleh penjajah Israel ini, hanya dibuka satu arah saja, dari Israel menuju Jalur Gaza untuk memasukan bahan-bahan bangunan. Namun saat ini perlintasan tersebut sudah ditutup oleh penjajah Israel.
5. Perlintasan Karim Abu Salim
Perlintasan ini terdapat di sebelah timur Rafah, atau di bagian tenggara Jalur Gaza. Perlintasan yang masih beroperasi hingga saat ini merupakan satu-satunya perlintasan yang digunakan untuk memasukan barang-barang kebutuhan warga Gaza. Awalnya perlintasan ini digunakan untuk memasukan barang yang berasal dari Mesir ke Jalur Gaza, namun saat ini sudah dikuasai penuh oleh Israel. Kebijakan buka tutup perbatasan serta setiap barang yang masuk ataupun keluar dari Gaza, harus mendapatkan izin ketat dari penjajah zionis.
Awalnya perbatasan ini merupakan tempat berkumpulnya sebuah komunitas petani dan peternak tradisonal Yahudi atau mereka sebut Kibbutz. Kibbutz didirikan pada tahun 1967 berdekatan dengan daerah perbatasan oleh anggota Hashomer Hatzair.
Baca Juga: Hamas Kecam Penyerbuan Ben-Gvir ke Masjid Ibrahimi
Organisasi ini merupakan sekelompok Buruh atau pekerja Zionis, yang merupakan gerakan pemuda Yahudi sekuler didirikan pada tahun 1913 di Kerajaan Galicia dan Lodomeria, Austria-Hongaria. Hashomer Hatzair juga merupakan nama partai politik kelompok di Yishuv Palestina sebelum 1948.
Kemudian daerah tersebut diberi nama Shalom oleh Yahudi karena para anggotanya percaya bahwa lokasi tersebut akan berperan dalam membangun perdamaian dan mengakhiri konflik Arab-Israel. Sehingga ketika mereka menguasai daerah tersebut perlintasan itu diberi nama Kareem Shalom yang berarti Kebun Anggur Perdamaian. Dengan harapan daerah atau perlintasan tersebut menjadi damai dan aman.
Banyak peristiwa terjadi diperlintasan ini, salah satu diantaranya adalah penculikan tentara Israel Ghilath Shalit pada tahun 2006 oleh para pejuang di Jalur Gaza. Peristiwa ini cukup menghebohkan, karena selain menculik Shalit, 3 orang tentara Israel juga tewas ditembak oleh pejuang yang masuk ke perlintasan melalui terowongan yang mereka buat.
Kejadian inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya peperangan antara Israel dan Jalur Gaza pada akhir 2008 hingga awal 2009 yang lalu. Dalam perang selama 22 hari Israel ini membombardir jalur Gaza, ribuan orang syahid dan ribuan lainya luka-luka. Israel menggunakan bom pospor yang menimbulkan banyak korban luka bakar dari fihak Palestina.
Baca Juga: Hezbollah dan Houthi Kompak Serang Wilayah Pendudukan Israel
Kini perlintasan Karim Abu Shalim menjadi satu-satunya perlintasan untuk memasukkan bahan keperluan rakyat Gaza, baik itu bahan makanan, bahan bangunan atau pun bahan bakar. Tak jarang Israel menutup perbatasan tersebut, dengan alasan yang tidak jelas, sehingga barang-barang yang seharusnya segera masuk untuk kebutuhan warga Gaza banyak yang tertunda.
6. Perlintasan Rafah
Perlintasan Rafah, adalah satu-satunya perlintasan darat yang berbatasan dengan Mesir. Negeri Islam Mesir mengontrol penuh perlintasan tersebut. Perlintasan ini digunakan untuk keluar masuknya warga Gaza ke dunia luar. Saat terjadi Revolusi Mesir dan pemilu yang dimenangkan oleh Presiden Muhammad Mursi, perlintasan Rafah dibuka secara total. Bahkan pada hari-hari libur pun perlintasan ini tetap buka. Namun sejak terjadi kudeta militer dan Mesir dipimpin oleh Abdul Fattah As-Sisi, perlintasan tersebut kembali sangat sulit untuk dibuka. Tak jarang perlintasan ini tertutup selama berbulan bulan, namun kembali dibuka setelah ada desakan dari banyak pihak.
Perlintasan ini memiliki sejarah tersendiri, sesuai perjanjian Utsmaniyah-Inggris pada 1 Oktober 1906, sebuah perbatasan antara Utsmaniyah yang memerintah Palestina dan Britania yang memerintah Mesir, dari Taba ke Rafah disepakati. Dari tahun 1948, Gaza diduduki oleh Mesir. Akibatnya, perbatasan Gaza-Mesir sudah tidak ada lagi. Namun dalam Perang Enam Hari tahun 1967, Israel merebut Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir.
Baca Juga: Banyak Tentara Israel Kena Mental Akibat Agresi Berkepanjangan di Gaza
Pada tahun 1979, Israel dan Mesir menandatangani sebuah perjanjian damai untuk mengembalikan Sinai, yang berbatasan dengan Jalur Gaza, kepada penguasaan Mesir. Sebagai bagian dari perjanjian ini, sebidang tanah selebar 100 meter yang dikenal sebagai Rute Philadelphi dibangun sebagai zona penyangga antara Gaza dan Mesir.
Ketika anda memasuki jalur Gaza, anda akan melewati zona tersebut, anda diharuskan membayar sejumlah uang sebesar lebih dari 200 ribu rupiah yang menjadikanya tarif bus termahal di dunia, karena dengan jarak hanya 100 meter anda diharuskan membayar 200 ribu rupiah lebih.
Dalam Perjanjian Damai tersebut, perbatasan Gaza-Mesir yang terbentuk kembali itu ditarik melintasi kota Rafah. Ketika Israel menarik diri dari Sinai pada tahun 1982, Rafah dibagi menjadi bagian dari Mesir dan Palestina, memisahkan keluarga, yang terpisah oleh penghalang kawat berduri.
Pada Oktober 2014 Mesir mengumumkan bahwa mereka berencana untuk memperluas zona penyangga antara Gaza dan Mesir, menyusul serangan teroris dari Gaza yang menewaskan 31 tentara Mesir.
Baca Juga: Dipimpin Ekstremis Ben-Gvir, Ribuan Pemukim Yahudi Serbu Masjid Ibrahimi
Langkah itu diambil dengan tujuan untuk menghentikan penjualan senjata ilegal oleh para militan melalui terowongan di perbatasan Rafah.
Selain itu penyangga tersebut dibuat oleh Mesir untuk menekan kelompok perlawanan Palestina, Hamas.
Pihak berwenang Mesir memerintahkan semua penduduk yang tinggal di sepanjang perbatasan timur negara itu, agar segera mengevakuasi rumah mereka sendiri sebelum dihancurkan. Hal itu dilakukan karena banyak terowongan-terowongan yang menghubungkan antara Gaza dan Mesir, pintu masuknya adalah rumah-rumah warga di sepanjang perbatasan.
Pihak berwenang Mesir bahkan mengisi terowongan-terowongan yang ada dengan air, sehingga segala aktivitas terowongan di Rafah yang sebelumnya menjadi urat nadi kehidupan warga Gaza, akhirnya tertutup.
Baca Juga: Puluhan Ekstremis Yahudi Serang Komandan IDF di Tepi Barat
Mesir juga mengancam jika warganya tidak mau angkat kaki dari perbatasan tersebut, maka akan dihancurkan dan dipindahkan secara paksa dari rumah mereka. Pada 8 Januari 2015, ekspansi Mesir mengakibatkan kehancuran sekitar 1.220 rumah, dan lebih dari 1.600 terowongan dihancurkan.
Bahkan beberapa terowongan yang ditemukan memiliki panjang lebih dari 1 kilometer dan berisi sistem penerangan, ventilasi, dan telepon. Total biaya fase zona penyangga ini diperkirakan menelan biaya $70 juta.
Pada Februari 2015, sebagai tanggapan terhadap zona penyangga, kelompok ISIS memenggal 10 orang yang mereka yakini sebagai mata-mata Mossad dan Tentara Mesir.
Pada Juni 2015, Mesir menyelesaikan penggalian parit di Rafah Crossing Point, dengan lebar 20 meter kali 10 meter. Terletak dua kilometer dari perbatasan dengan Gaza di luar Kota Rafah dan bagian dari zona penyangga yang diperbesar. Perluasan parit bersama dengan menara pengawas direncanakan. Pada 11 September 2015, tentara Mesir mulai memompa air dari Laut Mediterania ke dalam terowongan.
Baca Juga: Tentara Israel Cemas Jumlah Kematian Prajurit Brigade Golani Terus Meningkat
Menurut Presiden Mesir Abdel Fatah Al-Sisi, penggenangan terowongan telah dilakukan berkoordinasi dengan Otoritas Palestina. Sejumlah faksi Palestina mengutuk banjir perbatasan dengan air laut, karena menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan dan air tanah.
Bahkan menurut Human Rights Watch, pihak berwenang Mesir menghancurkan antara Juli 2013 dan Agustus 2015 setidaknya 3.255 bangunan tempat tinggal, komersial, administrasi, dan komunitas di sepanjang perbatasan, menggusur ribuan orang secara paksa.
Kini perlintasan Rafah sudah mulai diatur secara ketat. Di masa pandemi ini, sangat sedikit orang yang bisa melintas dikarenakan lebih banyak ditutup oleh otoritas Mesir. Bahkan sejak terjadinya peperangan pada Mei 2021 banyak bantuan, dan para aktivitis kemanusiaan yang akan masuk melalui Rafah harus menggigit jari karena tidak mendapatkan izin dari Mesir.(A/nia/B03/P1)
Mi’raj News Agency (MINA).
Baca Juga: Anakku Harap Roket Datang Membawanya ke Bulan, tapi Roket Justru Mencabiknya