Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Tanggal 21 April menjadi hari istimewa di Indonesia, karena di tanggal itulah lahir seorang Raden Adjeng Kartini di Jepara, Jawa Tengah pada tahun 1879. Ia meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun. R.A. Kartini adalah seorang tokoh Jawa yang kemudian diberi gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Ia dianggap sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi di Indonesia.
Sebagai umat Islam, tidak ada salahnya jika kita mengenang seorang wanita yang lebih mulia dari seorang Kartini yang tidak tergantikan sepanjang masa hingga hari kiamat terjadi nanti. Sosok wanita pertama yang menjadi ibu bagi orang-orang beriman, yaitu Khadijah binti Khuwailid.
Khadijah untuk Nabi
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Khadijah binti Khuwailid adalah isteri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang pertama. Ia terkenal sebagai wanita karir yang ahli di bidang ekonomi. Namanya terkenal dari zaman jahiliyah hingga zaman Islam yang gemilang. Kekayaannya yang melimpah dipergunakan untuk berjihad di jalan Allah.
Ia merupakan wanita pertama yang beriman di dalam kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta mendapat gelar Ummul Mu’minin (ibu bagi orang-orang mukmin). Ia juga adalah ibu bagi anak-anak Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum, dan Fatimah.
Khadijah lahir dari lingkungan keluarga mulia, jujur, dan keluarga pemimpin pada tahun 68 sebelum hijrah, lebih kurang 15 tahun sebelum Tahun Gajah. Lingkungan keluarga demikian membuatnya jadi orang yang terdidik dengan akhlak yang terpuji, bersifat teguh dan cerdas. Kaumnya memanggilnya dengan sebutan “Thahira”, karena ia sangat loba terhadap akhlak dan kesopanan yang mulia.
Sebelum menjadi isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ia adalah seorang janda yang kaya raya. Banyak pembesar-pembesar Arab saat itu datang kepadanya untuk melamarnya. Namun, semua ditolaknya, karena belum ada yang berkenan dan ia belum bersedia bersuami lagi.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Khadijah ahli dalam memperdagangkan barang-barang dagangannya ke mana-mana. Dan barang dagangannya dibawa oleh orang-orang yang bisa dipercaya.
Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah dewasa, Khadijah mempercayainya untuk memasarkan dan mengurusi barang dagangan dari Makkah hingga ke Syam. Khadijah bersedia memberikan barang dagangannya kepada Muhammad karena dia telah mengetahui perihal akhlak dan kejujuran pemuda yang mulia itu.
Dalam perjalanan dagang ke Syam, Khadijah mengutus pembantu laki-lakinya yang bernama Maesarah untuk menyertai misi dagang Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maesarah sendiri merasa senang mendampingi Muhammad muda dan menyaksikan sendiri bagaimana tingkah laku Muhammad yang mulia itu.
Walaupun mereka melakukan perjalanan di tengah padang pasir tandus di bawah terik matahari, tapi mereka tidaklah kepanasan karena mereka selalu dinaungi oleh awan yang mengikuti.
Baca Juga: Di Balik Hijab, Ada Cinta
Dalam cara Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdagang, beliau tidak pernah berdusta, tidak pernah memuji barang dagangan yang jelek dengan mengatakannya baik dan sebagainya. Setelah dagangannya habis, beliau segera pulang ke Makkah. Setibanya di Makkah, Maesarah menceritakan semua yang dilakukan dan dialami Muhammad kepada Khadijah.
Lama kelamaan, timbullah rasa tertarik Khadijah kepada Muhammad. Ternyata hal itu menjadi masalah yang sulit bagi Khadijah, sebab ia selalu merenung bagaimana caranya untuk memberi tahu Muhammad. Apakah Muhammad mau menerimanya, karena ia lebih tua 15 tahun dari pemuda yang dicintainya itu?
Di masa kebingungannya itu, datanglah sahabat Khadijah yang bernama Nafisah. Khadijah mengungkapkan permasalahannya yang terpendam dalam hatinya. Sebelumnya, selama ia menjanda tidak ada satu pun pembesar Arab yang lamarannya diterima, tapi kepada Muhammad yang terlahir tak berbapak dan tiada beribu (yatim piatu), tidak memiliki kekayaan yang berlimpah, ia tertarik dan ingin menjadi isterinya. Itu semua karena Muhammad adalah pria yang mulia, jujur dan benar.
Nafisah kemudian menyampaikan keinginan Khadijah kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang kemudian diterimanya. Maka pernikahan pun berlangsung.
Baca Juga: Menjadi Pemuda yang Terus Bertumbuh untuk Membebaskan Al-Aqsa
Khadijah mengutamakan kesukaan Nabi
Ketika Khadijah melihat kecintaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap bekas budak beliau, yaitu Zaid bin Haritsah, Khadijah pun memuliakan Zaid.
Ketika Khadijah mengetahui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ingin menanggung salah seorang anak pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib, Khadijah pun menyambutnya dan mendidik Ali dengan penuh kasih sayang.
Dengan cara tersebut, Khadijah memberi kesempatan bagi Zaid dan Ali agar dapat mempelajari akhlak Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajak keduanya untuk beriman, mereka beriman tanpa ragu dan menjadi pembela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Khadijah penghibur hati Nabi
Khadijah tampil sebagai orang pertama yang membela, membantu, memelihara, meringankan penderitaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa tahun-tahun penindasan yang dilakukan oleh kaum Quraisy, terkait risalah yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam siarkan.
Ia tegak di sisi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sepulangnya dari gua Hira’ dalam keadaan ketakutan dan gemetaran, setelah Rasulullah bertemu dengan Malaikat Jibril. Khadijah menyelimuti Nabi hingga reda rasa takutnya.
“Bukankah Tuan akan menjadi pemimpin umat, Tuan orang yang baik budi, suka memuliakan tamu, mengasihi anak yatim piatu dan sebagainya?” kata Khadijah menghibur suaminya tercinta.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Setelah itu, Khadijah mengajak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ke rumah saudara sepupunya yang bernama Warqah bin Nufel yang memahami kitab Taurat dan Injil, untuk menanyakan perihal yang dialami oleh sang suami.
Di samping Khadijah, jiwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi tenteram, karena Khadijah menjadi pendamping yang beriman, membenarkan kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, percaya dan optimis, serta sangat mencintai Nabi. Keimanan dan kepercayaan Khadijah tidak sedikit pun goyah ketika kaum Quraisy mengingkari agama Islam yang dibawa oleh suaminya. Pemuka-pemuka utama Quraisy bahkan melontarkan tuduhan-tuduhan dengan menyebut Rasulullah sebagai tukang sihir atau menyebutnya orang gila.
Bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tercinta, Khadijah rela hidup keras menanggung derita dakwah yang luar biasa, sangat kontras dengan kehidupan masa kecil hingga masa-masa sebelum suaminya diberikan wahyu oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam usianya yang sudah lanjut, Khadijah ikhlas menukar kehidupan yang biasanya lembut, mewah dan tenang, menjadi kehidupan yang keras penuh perjuangan.
Tak tergantikan sepanjang masa
Baca Juga: Muslimat Pilar Perubahan Sosial di Era Kini
Ketika Khadijah wafat, penindasan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para pengikutnya yang beriman, sedang gencar-gencarnya. Namun, Khadijah telah memberi tempat bagi dakwah Islamiyah dan meninggalkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam dampingan para sahabat yang beriman dan ikhlas, orang-orang yang juga rela berkorban untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Walaupun Khadijah telah tiada, kenangannya selalu membekas di hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Pada suatu hari, adik perempuan Khadijah yang bernama Halal datang mengunjungi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di Madinah. Ketika mendengar suara Halal di depan rumah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam gemetar karena terharu dan rindu kepada Khadijah. Sebab, suara Halal sangat mirip dengan suara Khadijah.
Setelah Halal pulang, Aisya radhiyallahu ‘anha berkata cemburu, “Apa sajakah yang Rasulullah ingat, terhadap seorang wanita Quraisy yang sudah tua dan merah mulutnya, sudah pergi bersama dengan berlalunya waktu dan Allah telah memberi gantinya yang lebih baik untuk Rasulullah?”
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Mendengar kata-kata Aisyah itu, wajah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam spontan berubah dan menjawab dengan nada membentak, “Demi Allah, sungguh, Allah tiada memberikan gantinya yang lebih baik kepadaku. Dia beriman kepadaku di saat orang lain mendustakanku, ia menolong perjuanganku dengan uang atau apapun, di saat orang orang lain tidak mau memberikan hartanya kepadaku.” (P001/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat