Oleh Rifa Arifin, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Namun, banyak dari busana muslimah saat ini tidak menutupi aurat secara keseluruhan. Masih ada saja celah-celah yang menampakkan aurat mereka. Di antara mereka masih ada yang menampakkan leher, lengan, tangan, kaki. Padahal jilbab syar’i adalah yang menutup aurat secara sempurna, kecuali muka dan telapak tangan saja.
Di antara tujuan jilbab adalah melindungi diri dari godaan lelaki dan menghindar dari fitnah, namun jilbab gaul justru malah menarik perhatian kaum lelaki. Bagaimana mungkin jilbab justru menarik perhatian kaum lelaki?
Baca Juga: Masya-Allah, di Pengungsian, Anak-Anak Gaza Tetap Menghafal Al-Quran
Belum lama ini perbincangan populer, terutama di jejaring sosial dunia maya, ramai dengan fenomena jilboobs. Istilah jilboobs tentu saja adalah plesetan yang tampaknya dimaksudkan dengan konotasi negatif tentang pemakian jilbab yang dianggap tak sesuai syariat karena dipadu dengan baju yang ketat sehingga bagian dada wanita [boobs] menyembul.
Ada dirasa semacam kontradiksi. Menurut pandangan umum, jilbab adalah simbol pakaian religius (Islam) dan mestinya mencerminkan kesopanan atau modesty. Nilai ini menjadi hilang ketika jilbab dipadu dengan fashion mutakhir yang menonjolkan kemolekan wanita sesuatu yang secara natural juga dinginkan banyak wanita.
Dari pro-kontra tentang jilboobs, sekurang-kurangnya ada tiga pandangan yang saya dapatkan.
Pertama: Dari mereka yang ingin menegakkan “syariat”, yang memandang bahwa jilbab yang syar’i itu ya mesti menutup dada, tidak transparan dan ketat, sebab itulah yang diatur dan termaktub jelas dalam kitab-kitab fikih (hukum Islam).
Baca Juga: Fenomena Hijrah Muslimah, Antara Tren atau Pilihan Hidup?
Bagi mereka, jilboobs jelas merupakan manifestasi dari cara berhias ala Jahiliah (istilah al-Quran: tabarruj al-jahiliyyah). Pandangan ini sering melahirkan sikap sinis terhadap para jilboobers.
Kedua: Dari mereka yang agak “halus”, yang juga ingin mengawal “syariat” tetapi lebih memandang sikap para Muslimah dalam berjilbab sebagai suatu proses. Kelompok ini berpandangan bahwa sebaiknya para jilboober jangan dicela, siapa tahu nanti bisa “bertaubat:, beranjak ke tahap berpakaian yang lebih syar’i.
Kelompok ini memandang bahwa jilboobs,meski dipadu pakaian ketat, masih lebih baik daripada tak menutup aurat sama sekali. Dalam pandangan kelompok kedua, syariat diperlakukan tidak dengan tawaran “lakukan atau tidak sama sekali” (take it or leave it).
Meskipun demikian, kelompok kedua ini masih memandang sinis terhadap Muslimah yang tak menurup aurat sebagaimana diatur dalam fikih konservatif dan faktanya ialah ada begitu banyak Muslimah negeri ini yang tak berjilbab.
Baca Juga: Satu Tahun Genosida di Gaza, Rakyat Palestina tidak Bersama Saudaranya
Ketiga: Mereka yang memandang ihwal berjilbab atau tak berjilbab sebagai soal pilihan semata yang mesti dihormati, sebab itu adalah hak. Kalau dalam soal yang lebih fundamental (ushul) seperti memilih suatu agama saja, menurut kelompok ini, seseorang berhak untuk percaya atau tak percaya (istilah al-Quran: faman sya’a falyu’min waman sya’a falyakfur), maka dalam soal ‘cabangan’ (furu’) seperti jilbab, tentu ada hak yang sama.
Ragam kesimpulan
Terlepas dari ketiga pandangan itu, agar perspektifnya proporsional, kita perlu tahu bagaimana sejarah awal pewajiban jilbab dalam Islam. Ada dua epistemologi (ushul al-fiqh) yang dipakai untuk menafsirkan ayat tentang jilbab (yang termaktub dalam QS 24:31 & 55:39).
Pertama: Yang diikuti mayoritas ulama, yang mengunggulkan penafsiran tekstual, yang menganggap kewajiban jilbab (dengan prosedur yang diatur dalam fikih) adalah tak terkait konteks dan berlaku lintas waktu dan zaman. Artinya, di manapun dan kapanpun jilbab adalah kewajiban dan cara berpakaiannya sudah ditentukan. Sistem sosial Arab abad 7 M tak relevan dalam perbincangan tentang kewajiban jilbab.
Baca Juga: Parfum Mawar Untuk Masjid Al-Aqsa
Kedua: yang tampaknya diikuti minoritas cendekiawan, yang mengutamakan kontekstualisasi penafsiran dengan mempertimbangkan sababun-nuzul (konteks turun) dari ayat itu dan mengunggulkan ratio legis (‘illatul-hukmi) pewajiban jilbab. Dengan menulusuri sebab dan konteks turunnya kedua ayat jilbab itu, bisa diambil kesimpulan bahwa pewajiban jilbab pertama kali ialah untuk membedakan wanita merdeka (bukan budak) yang wajib berjilbab dari wanita budak (yang auratnya sama dengan laki-laki).
Istilah al-Quran: an yu’rafna fala yu’dzain (agar mereka [Muslimah merdeka] bisa dikenali [dari yang budak] sehingga tak dilecehkan). Diriwayatkan pula, Sayyidina Umar ibn al-Khattab pernah suatu ketika menyuruh budak wanitanya untuk melepas jilbabnya, bukan karena alasan aurat, melainkan karena itu adalah pakaian wanita merdeka (libas lil-hara’ir). Riwayat ini bisa anda dapati di beberapa kitab tafsir atau fikih yang membahas batasan aurat budak.
Dengan melihat konteks sosial saat jilbab pertama kali diwajibkan, budaya dan sistem sosial yang berlaku saat itu (masih ada perbudakan) memiliki keterkaitan erat. Substansi dari perintah jilbab, menurut penafsiran kedua adalah memenuhi kepantasan umum (public decency) penafsiran yang dianggap lebih adaptif terhadap perkembangan zaman meski, tentu, ditolak oleh fikih konservatif yang mengunggulkan aspek Teks (dengan “T” kapital) ketimbang konteks.
Epistemologi tafsir yang bekerja dalam fikih konservatif ini ialah “al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bikhushus as-sabab” (Yang dianggap ialah generalitas teks, bukan partikularitas konteks).
Baca Juga: Keseharian Nabi Muhammad SAW yang Relevan untuk Hidup Modern
Namun demikian, persoalan jilbab beserta berbagai penafsiran itu pada akhirnya akan diseleksi sejarah. Kita tahu, sekali lagi, hari ini banyak sekali Muslimah yang tak berjilbab; juga banyak yang berjilbab tapi tak dianggap syar’i—yang berarti ada banyak Muslimah yang boleh jadi secara sukarela berdosa (dianggap berdosa?).
Fenomena jilbab lebar, atau sekarang lebih populer dengan istilah “hijab”, di negeri ini mulai semarak menjelang Reformasi antara lain, sebagai manifestasi perlawanan dan politik identitas Islam terhadap serangan budaya Barat.
Betapapun, karena persoalan jilbab erat berkaitan dengan budaya, rasionalitas publiklah yang akan menentukan “evolusi” dan “survival” jilbab. Kita pun tahu, agama diturunkan demi kepentingan atau kemaslahatan manusia. (P013/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Lebih dari Sekadar Penutup: Hijab Simbol Keindahan, Martabat dan Spiritualitas Muslimah