Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menikah Itu Saling Mengutkan, Bukan Saling Mengalahkan

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 1 detik yang lalu

1 detik yang lalu

0 Views

MENIKAH bukan ajang adu argumentasi siapa paling benar, paling pintar, atau paling tinggi suaranya. Menikah adalah perjalanan panjang yang memerlukan kerja sama, saling menguatkan, dan saling memahami. Banyak rumah tangga runtuh bukan karena kurang cinta, tetapi karena masing-masing sibuk ingin menang, bukan ingin membangun.

Padahal, Allah tidak pernah memerintahkan suami istri untuk saling mengalahkan, tetapi untuk saling melengkapi. Rumah tangga yang kuat tidak lahir dari dua orang sempurna, melainkan dari dua jiwa yang mau bekerja sama memperbaiki kekurangan masing-masing.

Al-Qur’an memberikan fondasi besar tentang konsep kerja sama dalam pernikahan. Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum: 21, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawaddah dan rahmah.”

Ayat ini tidak bicara tentang siapa pemilik argumen yang paling benar, tetapi tentang sakinah (ketenangan), mawaddah (kasih), dan rahmah (rahmat). Tiga hal ini mustahil tumbuh jika yang dipertahankan hanya ego masing-masing.

Baca Juga: Selingkuh Itu Bukan Khilaf, Tapi Sengaja Dipilih

Rasulullah SAW pun mengingatkan bahwa orang beriman yang paling baik adalah yang paling baik akhlaknya kepada istrinya. Beliau bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini bukan sekadar nasihat, tapi standar kualitas seorang suami dan istri. Kebaikan bukan diukur dari seberapa sering menang debat, tetapi seberapa sering mengalahkan ego demi kebaikan bersama.

Para ulama pun memahami pernikahan sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kuat). Imam Al-Ghazali menekankan bahwa rumah tangga adalah lembaga pendidikan jiwa—suami istri saling membantu agar saling bertumbuh. Maka pernikahan bukan tempat saling menjatuhkan, tetapi ladang untuk saling menaikkan derajat. Di sinilah kerja sama menjadi kunci. Tanpa kerja sama, rumah tangga berubah menjadi ring tinju. Dengan kerja sama, rumah tangga menjadi taman tempat dua hati berteduh.

Di zaman sekarang, tidak sedikit pasangan yang menikah tetapi tidak benar-benar berpasangan. Mereka satu atap namun dua dunia. Mereka berdekatan secara fisik, namun berjauhan secara jiwa. Sebabnya satu: masing-masing ingin jadi “pemenang.” Padahal, dalam pernikahan, saat satu pihak menang, keduanya kalah. Yang menang adalah ketika keduanya menemukan cara untuk saling memahami dan saling menguatkan.

Kerja sama berarti belajar melihat dari sudut pandang pasangan. Suami tidak hanya melihat dari logika lelaki, dan istri tidak hanya melihat dari perasaan perempuan. Keduanya perlu menyadari: cara memandang dunia berbeda, namun tujuan sama — mencari ridha Allah dan membangun keluarga yang berkah. Ketika dua perbedaan disatukan dalam kebaikan, itulah harmoni. Ketika dua perbedaan dipaksa saling mengalahkan, itulah bencana.

Baca Juga: Jebakan Pujian, Ketika Hati Terlena oleh Sanjungan

Pernikahan juga bukan kompetisi siapa paling lelah. Banyak pasangan jatuh dalam perang persepsi: siapa yang lebih banyak berkorban, siapa yang lebih sering mengalah, siapa yang lebih capek mencari nafkah, siapa yang lebih berat mendidik anak. Padahal Rasulullah ﷺ mengajarkan sikap tolong-menolong. Beliau membantu pekerjaan rumah, menjahit pakaiannya, dan lembut terhadap keluarganya. Itu bukan kelemahan, itu kekuatan. Kerja sama membuat kehidupan terasa ringan, karena beban dibagi dua bukan dipikul sendiri.

Ada pula yang salah paham bahwa memimpin rumah tangga berarti mendominasi. Imam Syafi’i pernah berkata, “Pemimpin yang baik bukan yang berkeras dengan kekuasaan, tetapi yang memimpin dengan kasih sayang.” Seorang suami memimpin untuk membimbing, bukan menekan. Seorang istri taat bukan karena takut, tapi karena hormat. Dalam rumah tangga yang bekerja sama, keduanya saling mendukung untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka.

Konflik dalam pernikahan pasti ada. Bahkan pasangan sekelas Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra pun pernah berselisih. Tetapi mereka tidak menjadikan konflik sebagai ajang pertandingan. Mereka tetap saling menghormati, saling memuliakan, dan saling menjaga hati. Di sini kita belajar bahwa pernikahan bukan tentang tidak pernah salah, tetapi tentang cepat memperbaiki dan saling meminta maaf. Ego besar sulit sekali meminta maaf, tetapi cinta sejati justru mudah merendah.

Kerja sama juga berarti saling mengingatkan dalam kebaikan. Suami istri ibarat dua sahabat perjalanan. Ketika satu lemah, yang lain menguatkan. Ketika satu salah, yang lain menasihati dengan lembut. Allah berfirman dalam QS. At-Tahrim: 6 tentang pentingnya menjaga keluarga dari api neraka, yang artinya pernikahan adalah proyek ibadah jangka panjang—bukan proyek adu siapa lebih benar.

Baca Juga: Hati-hati Jebakan Pengiriman Pasukan Perdamaian ke Gaza

Pada akhirnya, menikah adalah ibadah penuh cinta. Ia butuh kesabaran dua arah, pengorbanan dua sisi, dan komitmen dua jiwa. Jika menikah dijalani sebagai kerja sama, rumah akan menjadi tempat pulang paling nyaman. Tetapi jika dijalani sebagai perlombaan siapa paling benar, rumah akan menjadi tempat paling melelahkan.

Jadi hari ini, berhentilah ingin selalu menang sendiri. Jadilah pasangan yang mau bekerja sama—yang mau mendengar sebelum meminta didengar, yang mau memaafkan sebelum meminta dimaafkan, yang mau berubah sebelum menuntut perubahan. Karena pernikahan bukan tentang dua orang sempurna, tetapi tentang dua orang yang mau berjuang bersama.

Dan di situlah kebahagiaan sejati tumbuh.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Fitnah Takkan Menguasai Muslim yang Berjama’ah

Rekomendasi untuk Anda

MINA Edu
MINA Edu
Tausiyah
MINA Edu