Jakarta, 26 Jumadil Awwal 1438/ 24 Februari 2017 (MINA) – Menteri Kesehatan RI Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek mengatakan, kedokteran Indonesia tengah menghadapi tantangan, terutama masalah maldistribusi tenaga kesehatan terutama dokter spesialistik.
Hal ini disampaikannya pada Semiloka Nasional Bertajuk “Integrasi Penyelenggaraan Pendidikan Dokter Spesialis dan Subspesialis Berdasarkan UU Pendidikan Kedokteran 2013 untuk Menjamin Independensi Profesi dan Tercapainya Standar Akademik Berorientasi pada Pelayanan Kesehatan Prima”. yang diadakan di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya, Malang, Kamis (23/2) kemarin.
Kegiatan ini juga dihadari oleh Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kemenristek Dikti, Prof. dr. Ali Gufron Mukti, MSc, PhD, dan Rektor Universitas Brawijaya Malang, Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, M.S.
Baca Juga: Menag Tekankan Pentingnya Diplomasi Agama dan Green Theology untuk Pelestarian Lingkungan
“Dokter yang lulus tidak banyak yang mau pergi ke daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK),” kata Menkes.
Lebih rinci ia memaparkan, rasio dokter spesialis adalah 12,6 per 100.000 penduduk (per 31 Desember 2015) sudah mencapai target rencana pengembangan tenaga kesehatan Tahun 2011-2025 yakni sebesar 12,2 per 100.000 penduduk. Namun demikian terdapat disparitas yang cukup besar antar provinsi di Indonesia.
Rasio dokter spesialis terendah ada di Provinsi Papua dengan rasio 3,0 per 100.000 penduduk, sedangkan rasio dokter spesialis tertinggi ada di provinsi DKI Jakarta dengan rasio 52,2 per 100.000 penduduk.
“Kalau saya hanya melihat angka yang 12,6 tadi, saya bisa katakan dokter spesialis cukup. Tapi kan kita lihat bagaimana maldistribusinya,” tambahnya.
Ia juga mengatakan, ketidakseimbangan distribusi dokter spesialis juga terjadi antar kabupaten di dalam wilayah provinsi, hal ini terjadi di banyak daerah, bahkan di wilayah DKI Jakarta.
Di Jakarta itu katanya dokter kebidanan ada banyak, tetapi tidak banyak yang mau ditempatkan di Kepulauan Seribu. Itu baru Kepulauan Seribu, padahal tidak begitu jauh.
Baca Juga: Menhan: 25 Nakes TNI akan Diberangkatkan ke Gaza, Jalankan Misi Kemanusiaan
Kementerian Kesehatan terus mengupayakan berbagai program untuk memeratakan distribusi tenaga kesehatan, agar layanan kesehatan dapat lebih dijangkau masyarakat, antara lain melalui:
1) Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) merupakan upaya untuk meningkatkan kemahiran dan pemandirian dalam melaksanakan praktik kedokteran berupa proses pelatihan keprofesian pra-registrasi yang dikenal di berbagai negara sebagai internship atau housemanship. Internsip dapat dikatakan sebagai proses pemantapan mutu profesi dokter dalam menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan.
Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan perkembangan global dalam etika praktik kedokteran mensyaratkan bahwa pasien tidak boleh dijadikan objek praktik mahasiswa kedokteran. Hal ini dilakukan untuk menghormati hak-hak azasi pasien. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya perubahan mendasar dalam pengendalian praktik kedokteran sehingga berdampak pada proses pendidikan dokter.
“Pada Tahun 2016, sebanyak 9.542 orang telah mengikuti PIDI, terdapat peningkatan bila dibandingkan Tahun 2015 yang diikuti sebanyak 8.296 orang,” ujarnya.
Baca Juga: BMKG: Waspada Gelombang Tinggi di Sejumlah Perairan Indonesia
2) Nusantara Sehat (NS) merupakan program penempatan tenaga kesehatan berbasis tim ke daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Sejak mulai diberangkatkan pada April 2015, sebanyak 1.422 tenaga kesehatan (251 tim) telah diberangkatkan ke daerah perifer di 28 provinsi dan 91 kabupaten/kota.
“Kemenkes memanggil para tenaga kesehatan secara online untuk mendaftar dalam NS. Saya bangga ribuan tenaga kesehatan menyatakan kesediaan mengabdi di pelosok nusantara. Namun, saya sangat menyayangkan, mengapa dokter hanya sedikit yang mau ikut daftar?,” tegasnya.
3) Wajib Kerja bagi Dokter Spesialis (WKDS) merupakan upaya yang dilakukan untuk mengatasi maldistribusi dokter spesialis. Saat ini, pemerintah telah menetapkan kebijakan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) melalui Perpres No. 4 Tahun 2017 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Januari 2017 lalu. Pada 2017, ditargetkan sebanyak 1.250 dokter spesialis akan melaksanakan WKDS.
Jelasnya, saya sangat mengapresiasi dukungan perhimpunan profesi dokter spesialis obgyn, spesialis anak, spesialis bedah, spesialis penyakit dalam, dan spesialis anastesi dalam program Wajib Kerja Dokter Spesialis.
Baca Juga: Longsor di Salem, Pemkab Brebes Kerahkan Alat Berat dan Salurkan Bantuan
4) Bantuan Biaya Pendidikan PPDS/PPDGS Kementerian Kesehatan. Sejak Tahun 2008 sampai dengan 2016 penerima bantuan biaya pendidikan Kemenkes untuk PPDS dan PPDGS sebanyak 17 angkatan. Jenis spesialisasi terbanyak penerima bantuan adalah pendidikan spesialis penyakit dalam, spesialis anak, dan spesialis kebidanan.
“Kami mengharapkan kepada penerima bantuan, agar kembali bertugas ke daerah yang telah mengirim. Memang masih ada juga yang sudah dibantu tetapi tidak kembali ke daerah yang mengirim,” katanya.
Tutupnya, Menkes menyatakan, selain dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan, hal ini juga perlu ditopang dengan upaya penguatan pelayanan kesehatan melalui: penguatan regionalisasi sistem rujukan; program peningkatan akses berupa pemenuhan sarana-prasarana, peningkatan kompetensi SDM kesehatan dan pemenuhan alat kesehatan, serta program peningkatan mutu yang terdiri dari akreditasi RS dan akreditasi Puskesmas. (T/R12/P1)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Tausiyah Kebangsaan, Prof Miftah Faridh: Al-Qur’an Hadits Kunci Hadapi Segala Fitnah Akhir Zaman