New York, MINA – Menteri luar negeri Austria Karin Kneissl mengangkat berbagai masalah dunia dalam pidato Majelis Umum PBB – dalam empat bahasa di dunia.
Karin Kneissl memulai sambutannya Sabtu (29/9) dalam bahasa Arab, mengatakan bahwa kemanusiaan memiliki suara di aula Majelis Umum PBB dan perlu menggunakannya “untuk mengekspresikan suara orang-orang di luar aula ini” yang tinggal di tengah-tengah perang dan konflik.
Kneissl kemudian beralih ke bahasa Perancis, Spanyol, dan Inggris, berterima kasih kepada penerjemah karena “kesabaran mereka.”
Sepanjang pidato, dia mengutip frasa Latin dan kata Ibrani. Demikian Daily Sabah melaporkan yang dikutip MINA, Selasa (2/10).
Baca Juga: Bank dan Toko-Toko di Damaskus sudah Kembali Buka
Kneissl mengatakan minyak adalah alasan atau pemicu utama untuk sebagian besar perang yang membakar Timur Tengah.
Dalam berbagai bahasa, ia menyentuh isu-isu termasuk pemanasan global, kesetaraan jender, masa depan kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, dan bagaimana beralih dari “situasi militer ke transisi diplomatik” di Suriah.
Kneissl secara luas dikritik atas undangan pernikahan dan menari dengan Presiden Rusia Vladmir Putin pada bulan Agustus.
Baik Kneissl dan Putin bersikeras pernikahan itu adalah acara pribadi. Kneissl telah mengatakan kepada media Austria bahwa keduanya telah membangun “dasar kepercayaan”.
Baca Juga: Ratu Elizabeth II Yakin Setiap Warga Israel adalah Teroris
Karin Kneissl dikenal dengan sikapnya yang menyangsikan solusi dua negara untuk penyelesaian konflik antara Palestina dan Israel. Menurutnya, solusi itu sangat rumit karena tanah-tanah atau daratan antara Mediterania dan Sungai Yordan terus “dilahap habis” oleh permukiman Israel.
Berbicara kepada Kirchenzeitung yang berbasis di Linz pada 8 Desember 2014, Kneissl – yang menulis tesis doktornya dalam hukum internasional tentang konsep perbatasan di Timur Tengah – juga mengemukakan bahwa Israel tidak dapat menjadi negara demokrasi selama Palestina tidak memiliki negara mereka sendiri.
“Israel mengendalikan mayoritas Arab tanpa memberikan mereka hak sipil. Karena itu Israel pada akhirnya tidak dapat disebut negara demokratis lagi,” ujarnya. (T/R11/RS3)
Mi’raj News Agency (MINA)