- Imaam Yakhsyallah Mansur adalah Pembina Jaringan Ma’had Al-Fatah Se-Indonesia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا /الاحزب (٣٣): ٥٩
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS Al-Ahzab [33]: 59).
Ketua Bidang Fatwa MUI, Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo menjelaskan, ayat di atas merupakan bentuk perintah bersifat wajib ‘ainī ta’abbudī, yaitu suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang beragama Islam, tanpa perlu bertanya, mengapa hal itu diwajibkan. Bagi siapa yang melaksakan kewajiban itu, ia akan mendapat pahala, karena ia telah melaksanan ibadah yang diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sementara bagi siapa yang tidak melaksanakannya, ia akan berdosa.
Baca Juga: Syeikh El-Awaisi: Cinta di Balik Nama Baitul Maqdis
Menutup aurat menjadi wajib karena saddu al-dzarī’ah (menutup pintu ke dosa yang lebih besar). Oleh karena itu, para ulama telah sepakat mengatakan bahwa menutup aurat adalah wajib bagi setiap perempuan dan laki-laki bagi yang mukalaf. Khusus bagi kaum perempuan, kewajiban ini akan terlaksana dengan memakai jilbab (busana muslimah).
Dalam kamus Al-Munawir, aurat secara bahasa berasal dari kata عار yang kemudian mengalami devariasi kata menjadi aurat, artinya adalah segala perkara yang menjadikan rasa malu. Sedangkan secara maknawi, aurat adalah anggota tubuh yang dapat menjadikan seseorang merasa malu jika dipertontonkan di hadapan umum.
Menurut Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar, yang dikehendaki dalam firman tersebut adalah pakaian yang menujukkan rasa iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus pakaian yang menunjukkan kesopanan (akhlaqul karimah). Pakaian yang dimaksud adalah pakaian yang tidak memamerkan anggota badan untuk menjadi tontonan. Dalam hal ini, meskipun menutup aurat, tetapi jika masih ketat (tampak lekuk tubuhnya), tipis dan tembus pandang, maka pakaiannya belum memenuhi syarat dalam menutup aurat.
Isnawati dalam bukunya “Aurat Muslimah” menuliskan, di antara tujuan utama wanita menutup auratnya adalah agar mereka mudah dikenali dan terhindar dari hal-hal yang tidak baik atau dapat mencelakai dirinya sendiri. Menutup aurat, tidak hanya sebagai bentuk ibadah kepada Allah, tetapi juga merupakan akhlak, adab, atau etika dalam kehidupan sosial. Menutup aurat sejatinya menjaga orang bersangkutan dari hal-hal buruk atau negatif, baik itu yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari luar dirinya. Ada prinsip yang mengatakan, mencegah lebih baik daripada mengobati. Menutup aurat adalah salah satu upaya preventif yang efektif.
Baca Juga: Tinjau Program Bantuan di Herat, MER-C Kirim Tim ke Afghanistan
Menutup Aurat dalam Peradaban Agama non-Islam
Menutup aurat yang biasanya dengan menggunakan jilbab (penutup badan) dan khimar (penutup kepala) atau biasa disebut dengan jilbab saja, memiliki sejarah yang panjang. Jilbab sesungguhnya sudah ada sebelum Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam menyampaikan risalah kenabiannya, bahkan dikenakan oleh perempuan dari berbagai tradisi agama sebagai ciri wanita terhormat.
Dalam buku “Hijab Gaya Hidup Wanita Muslimah” yang ditulis oleh Murtadha Muthahhari, ia menjelaskan pemakaian hijab sudah dipraktikkan sejak zaman India, Persia, dan Yunani kuno. Pada masyarakat India kuno, motif pemakaian hijab karena ada kecenderungan ke arah kerahiban. Hal itu merupakan perjuangan melawan kesenangan dan menaklukkan ego pribadi.
“Penduduk Persia tempo dulu, kelompok-kelompok Yahudi, dan juga bangsa India merupakan bangsa pemakai jilbab. Jilbab juga digunakan sebagai pakaian yang terhormat oleh kaum wanita Zaroaster, Hindu, Yahudi, dan Kristen,” tulisnya.
Baca Juga: Masa Tenang Pilkada 2024 Dimulai Hari Ahad Ini
Sementara dalam buku “History of Western Civilization” yang ditulis oleh sejarawan Amerika Serikat, William James Durant (Will Durrant), disebutkan bahwa pada zaman Persia kuno, pemakaian hijab lebih didasari alasan sosial. Pada zaman dahulu, jaminan keamanan untuk wanita dan anak-anak sangat kurang. Mereka banyak sekali mendapatkan perlakuan yang melecehkan martabat perempuan. Jadi, menurutnya, hijab yang ada di Persia (wilayah Iran dan sekitarnya saat ini) pada dasarnya berhubungan dengan budaya pra-Islam, bukan karena ajaran Islam.
Seorang pemuka agama Yahudi, Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada Yeshiva University (New York) dalam bukunya, “The Jewish Woman in Rabbinic Literature”, menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat bepergian keluar rumah yaitu mengenakan penutup kepala, menutup hampir seluruh muka dan hanya tampak mata saja. “Bukanlah layaknya anak-anak perempuan Israel yang berjalan keluar tanpa penutup kepala” dan “Terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut istrinya terlihat,” dan “Wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan membawa kemelaratan,” tulisnya.
Wanita-wanita di Eropa menggunakan kerudung sampai abad ke-19. Kerudung yang mereka pakai bukan saja sebagai tuntunan agama yang harus ditaati, namun juga sebagai lambang kemewahan, kewibawaan, tingginya kedudukan wanita yang suci, serta menunjukkan status sosial yang terhormat.
Demikian pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani (Protestan dan Katolik) juga ditemukan istilah semakna. Jilbab dalam bahasa mereka disebut zammah, realah, zaif dan mitpahat. Hal ini membuktikan bahwa menutup aurat adalah sesuatu yang diwajibkan pada masa Nabi Isa Alaihi Salam.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Diprediksi Berawan Tebal Akhir Pekan Ini
Hingga saat ini, para biarawati Katolik menutup kepalanya secara keseluruhan, termasuk Bunda Theresa, panutan biarawati Modern. Di Indonesia, pakaian biarawati adalah jilbab, pakaian panjang longgar dari leher hingga menutup kaki serta berkerudung yang menutup leher dan dada.
Antara Jilbab dengan Akhlaq
Jilbab bukan sekadar selembar kain penutup kepala. Ia memiliki makna ideologis, sekaligus akhlaq kepada Tuhannya. Jilbab bisa dimaknai sebagai bentuk perlindungan terhadap kaum perempuan, dan masa jahiliyah (sebelum Islam) merupakan identitas yang membedakan antara wanita yang terhormat, dengan yang bukan (Abdul Fatah Al-Qadhi dalam kitab “Asbabun Nuzul”, ketika menjelaskan surah Al-Ahzab ayat 59 di atas)
Memakai jilbab itu sendiri merupakan upaya seorang wanita untuk menjadi pribadi yang baik. Berjilbab bukan berarti berubah jadi malaikat, tetapi ia berusaha untuk memenuhi kewajiban sebagai wanita Muslimah, meskipun belum sepenuhnya sempurna.
Baca Juga: Hikmah Kisah Maryam, Usaha Maksimal untuk Al-Aqsa
Sebagian orang sering mencela kepada mereka yang memakai hijab tapi akhlaknya kurang baik. Tapi itu tidak mengubah hukum wajibnya berjilbab bagi muslimah. Jilbab tidak memberikan label suci pada pemakainya, tetapi itu sebagai wujud usahanya yang terus memperbaiki diri. Dengan menutup auratnya, harapannya juga perilakunya lambat laun berubah mengikuti keindahan busana muslimah yang ia kenakan.
Berhijab merupakan sebuah proses memperbaiki dan menghiasi diri dengan keindahan-keindahan yang diajarkan dalam syariat. Muslimah yang berjilbab akan berusaha lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertutur kata di hadapan umum serta harus bisa menjaga akhlaknya dengan baik. Apabila mereka bisa memberikan contoh yang baik, masyarakat juga akan menghargai dirinya.
Dari banyak cara dalam melakukan dakwah dan menyampaikan kebaikan, salah satunya lewat busana, maka jilbab merupakan salah satu cara syiar yang paling ringan, namun memberikan dampak barupa perilaku dan budaya yang cukup besar bagi publik.
Dengan demikian, menutup aurat adalah bagian dari syariat Islam dan tujuan diperintahkannya adalah menyempurnakan budi pekerti (akhlaqul karimah) yang merupakan tujuan utama diutusnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa Salam sebagaimana dalam sabdanya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia,” (HR Al-Bukhari).
Baca Juga: Perintah Membaca Sebelum Bebaskan Al-Aqsa
Hal ini tentu selaras dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No.20 TAHUN 2003).
Maka sudah sewajarnya apabila seorang pendidik Muslim mengingatkan anak didiknya yang beragama Islam untuk menjalankan syariat agamanya yakni menutup aurat, terlepas dari ada atau tidaknya peraturan dari pemerintah (SKB Tiga Menteri No. 02/KB/2021, No. 025-199 Tahun 2021, dan No. 219 Tahun 2021) dan pemerintah tidak perlu membuat ancaman karena mengancam bukan praktik pendidikan yang baik.
Kiranya dengan menutup aurat, Allah akan menutup aib dan kekurangannya di mata masyarakat dan Dia akan mengampuni dosa-dosanya nanti di akhirat. (A/R8/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Menag Bertolak ke Saudi Bahas Operasional Haji 1446 H