Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menyikapi Wacana Standarisasi Ulama

Rendi Setiawan - Selasa, 7 Februari 2017 - 20:21 WIB

Selasa, 7 Februari 2017 - 20:21 WIB

555 Views

(Gambar: Kabar Oke)

ulama-3367yhlk2rxwsck3ck8o3k.png" alt="" width="609" height="366" /> (Gambar: Kabar Oke)

Oleh: Rendy Setiawan*

Beberapa waktu belakangan umat Islam di Indonesia dibuat kaget dengan munculnya wacana Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin terkait akan adanya standarisasi bagi ulama yang hendak menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat, khususnya dalam khutab Jum’at.

Wacana standarisasi ulama ini dari waktu ke waktu terus bergulir, meski bergerak lambat namun terasa sesak di dada umat Islam, ditambah dengan pernyataan Menag yang berubah-ubah dengan wacananya, sehingga gagasan ini sangat perlu diperbincangkan di Kementerian Agama (Kemenag) agar tidak menjadi polemik di tengah masyarakat.

Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya ketengahkan dulu makna standarisasi itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) standarisasi memiliki makna yaitu penyesuaian bentuk (ukuran, kualitas, dan sebagainya) dengan pedoman yang ditetapkan, pembakuan.

Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim

Berkaitan dengan makna tersebut, Menag menjelaskan alasannya tentang wacana ini. Dalam pernyataannya yang banyak tersebar di media-media cetak maupun media online, standarisasi ini adalah bentuk aspirasi sebagian ormas Islam untuk meminimalisir ulama-ulama yang dalam khutbahnya keras dan vocal dalam menyuarakan kritikannya terhadap pemerintah yang dianggap bisa menimbulkan gesekan di tengah masyarakat.

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin mengatakan salah satu tradisi ulama adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Dakwah mengajak kepada agama Allah merupakan tugas para nabi, maka cukuplah sebagai kemuliaan bahwa para ulama menjadi pengawal dalam mengemban tugas para nabi.

Kemudian yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang dimaksud ulama itu, dan mengapa perlu diberikan predikat bahwa ini ulama yang telah memenuhi standar atau memperoleh standarisasi, itu ulama yang tidak memenuhi kriteria. Padahal selama ini, masyarakat jarang mempersoalkan standar seorang ulama.

Secara luas ulama berarti orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Kata ulama berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari kata ‘aalim. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu dan ulama adalah orang-orang yang punya ilmu. Dengan demikian, pengertian ulama secara harfiyah adalah “orang-orang yang memiliki ilmu” (KBBI).

Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina

Sementara secara terminologi, ulama adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam.

Sementara untuk menentukan siapa yang termasuk ulama, rujukannya adalah nash Al-Quran dan Hadits tentang ciri atau sifat ulama, antara lain:

Pertama, mereka yang takut kepada Allah. Hal ini berdasarkan firmanNya: “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama.” (QS. Fathir: 28) karena ia dianugerahu ilmu, tahu rahasia alam, hukum-hukum Allah, paham hak dan batil, kebaikan dan keburukan, dan lain sebagainya.

Ulama yang telah mencapai makrifat, yaitu mengenal Allah, menghayati  hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya.  Apabila makrifat bertambah sempurna dan ilmu terhadap-Nya bertambah matang, maka  rasa takut kepada-Nya pun bertambah besar.

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Kedua, mereka yang berperan sebagai pewaris nabi (waratsatul ambiya’). “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)”. Seorang ulama menjalankan peran sebagaimana para nabi, yakni memberikan petunjuk kepada umat dengan aturan Islam, seperti mengeluarkan fatwa.

Kedudukan ulama di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan umat merupakan hal yang mulia sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama sehingga ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya.

Ketiga, terdepan dalam mengawal dakwah Islam, menegakkan ‘amar ma’ruf nahi munkar, menunjukkan kebenaran dan kebatilan sesuai hukum Allah, dan meluruskan penguasa yang menyalahi aturan Allah.

Menurut Umar Syarifudin, Pengasuh Majelis Taklim Al-Ukhuwah ketika menyampaikan pendapatnya terkait wacana ini mengatakan bahwa predikat ulama dan kemuliaan yang melekat kepadanya diperoleh, selain karena faktor keilmuannya, juga karena sikap mereka dalam mengemban dan menerapkan ilmunya. Mereka menjadi penjaga Islam, amanah terhadap agama Allah. Mereka menyerukan para penguasa untuk menerapkannya dengan tulus, jujur dan jauh dari kepentingan pribadi, harta atau jabatan.

Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina

Mereka berani mengatakan kepada orang yang zalim, “Anda zalim.” Berani mengatakan kepada ahli maksiat, “Kalian maksiat kepada Allah.” Mereka seperti Sufyan Ats-Tsauri, Imam Ahmad, Ibn Taimiyyah, ‘Izzuddin ibn Salam dan yang lain. Mereka dikenang oleh umat, bukan semata karena keilmuannya, tetapi karena sikapnya.

Ini yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam hal ini Kemenag untuk mengolah kembali wacana standarisasi terhadap ulama yang menyampaikan khutbah Jum’at.

Pro dan Kontra

Beberapa tokoh pun tak sedikit yang mendukung wacana ini. Namun tak sedikit pula yang menolak, di antaranya:

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Masjid Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM) Prof Ahmad M Sewang misalnya yang menyatakan mendukung penuh wacana tersebut selama wacana tersebut memang karena niatan yang baik dan tidak ada unsur politiknya.

Prof Ahmad menilai bahwa standarisasi ulama itu mungkin saja bertujuan baik, karena itu bertujuan baik maka pihaknya akan dukung, selama tidak bertujuan politik. Ia berharap, dengan adanya standarisasi ulama dan mubalig, kualifikasinya akan semakin jelas. Begitupun dengan pembawaan khotbah Jumat yang muatan materinya jelas dan relevan.

“Karena ini memang sementara yang menjadi problema bagi para jemaah masjid dan pengurus masjid. Mereka mempertanyakan kenapa mubalig itu yang dikirim kemari, yang materinya tidak relevan, cara membawakannya, pelafalan Alquran dan hadis tidak fasih dan seterusnya,” kata Prof Ahmad.

Senada dengan Prof Ahmad, Ketua MUI Makassar AGH Baharuddin juga menyatakan dukungannya terhadap wacana tersebut. Ia beranggapan bahwa standarisasi bagi ulama dan mubaligh menjadi pertanda baik bagi masyarakat serta penceramah itu sendiri.

Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun

“Selain dapat mencerahkan umat dengan dakwahnya, gagasan ini juga bisa membuat masyarakat lebih dekat dengan penceramahnya. Sudah saatnya ada standarisasi. Khususnya bagi khatib, agar tidak lagi menjadikan ceramah Jumat sebagai ajang belajar saja,” kata AGH Baharuddin.

Menurutnya, memang masih banyak khatib yang belum layak, tapi karena sebagai ajang pembelajaran dan pemberian pengalaman, mubalig tersebut sudah dipersilakan berkhotbah. Padahal, menurutnya,ceramah Jumat itu tidak boleh dilakukan asal-asalan. Apalagi jika membawakan isu-isu politik bahkan provokatif yang sampai-sampai menyudutkan kelompok atau kepercayaan tertentu di dalam masjid.

Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Din Syamsuddin menilai, rencana standardisasi dan sertifikasi khatib atau ulama merupakan tindakan kurang tepat. Menurut dia, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama perlu mendalami masalah yang ada dan mencari jalan keluar terbaik.

“Rezim Orde Baru saja yang sering disebut represif tidak memberlakukan standardisasi dan sertifikasi khatib atau ulama, maka seyogianya rezim reformasi dengan demokratisasi tidak justru bersikap represif,” ujar Din kepada Republika, Ahad (5/2).

Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina

Ia menjelaskan, standardisasi dan sertifikasi khatib atau ulama bukanlah solusi. Dia mengatakan, memang ceramah keagamaan perlu mengedepankan watak Islam. Namun, adanya khatib atau penceramah keras adalah akibat realitas kehidupan umat yang penuh kemungkaran dan ketakadilan. Sehingga, khatib memilih menekankan watak Islam sebagai agama keadilan.

Wacana tersebut juga mendapat sorotan dari Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin. Ia menilai bahwa inisiatif Menag ini bisa menjadi hal yang positif bisa juga sebaliknya. Positif bila standardisasi mubaligh bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi para penceramah agama, baik secara keilmuan, keshahihan pemahaman serta akhlak.

Akan tetapi, inisiatif ini bisa juga jadi fitnah dan bersifat diskriminatif untuk membungkam ulama serta mubaligh kritis terhadap kebijakan penguasa, aliran sesat serta ideologi anti agama dan sebagainya.

Apa yang disampaikan tokoh-tokoh seperti Din Syamsuddin dan Irfan ini perlu dipertimbangkan oleh Menag mengingat sampai hari ini, santer terdengar kabar penolakan yang cukup luas di kalangan masyarakat dengan anggapan yang tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, meskipun tidak sedikit pula yang mendukung wacana tersebut. (R06/P1)

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Fatah Bogor

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
MENAG
Indonesia
Indonesia