Pembacaan Al-Quran di Istana Negara saat peringatan Isra Mi’raj Jumat malam (15/5) menuai kontroversi. Sebab lantunan ayat-ayat suci Al-Quran Surah Al-Isra ayat 1 dan Surah An-Najm 1-15, yang dibacakan qari’ Muhammad Yasser Arafat, dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta menggunakan langgam Jawa.
Video bacaan Al-Quran itu seperti beredar di https://www.youtube.com/watch?v=1kir179iS2E menjadi perbincangan di kalangan pengguna media sosial hingga perdebatan keras. Bahkan sampai ada yang menyatakan, sang qari’ telah menyalahi aturan dengan menggunakan langgam Jawa.
Menanggapi hal tersebut, mantan Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar menerangkan inti permasalahan terletak pada belum terbiasanya masyarakat mendengar langgam jawa yang digunakan untuk membaca Al-Quran.
Baca Juga: Malu Kepada Allah
Menurutnya larangannya tidak ada, tapi hanya masyarakat saja yang belum terbiasa. Namun karena ini disiarkan secara nasional, makanya jadi kontroversi dan khawatir mengganggu telinga masyarakat. Karena masyarakat Indonesia itu kalau soal agama sensitif.
Lebih lanjut Nasaruddin menjelaskan langgam jawa atau langgam yang lain adalah cara pelantunan dari budaya masyarakat setempat. Selama tidak merusak tajwid, intonasi, maupun makna dari Al-Quran itu sendiri, maka penggunaan langgam jawa tersebut tidak dilarang.
Rektor Institut Ilmu Alquran (IIQ) periode 2014, K.H. Ahsin Sakho Muhammad mengatakan, cara membaca Al-Quran menggunakan berbagai langgam, termasuk langgam Indonesia, itu sah dan diperbolehkan.
Hal itu menurutnya, tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sebab merupakan hasil karya seni manusia dari masyarakat tertentu yang dirangkum dalam membaca Al-Quran, ujar pimpinan Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon, Jawa Barat tersebut.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu
Hanya saja, ia sebagai doktor ilmu Al-Qur’an lulusan universitas di Saudi Arabia menjelaskan, bacaan pada langgam budaya harus tetap mengacu seperti yang diajarkan Rasul dan para sahabatnya.
Dalam hal ini, dia menambahkan, tajwid dalam hukum bacaannya, panjang pendeknya dan makhrajnya.
Namun dia menambahkan, Kementerian Agama sebelumnya seharusnya mempertimbangkan terlebih dahulu mengenai penggunaan langgam Jawa ini. Sebab menurutnya, langgam ini memberikan nilai tersendiri dalam Al-Quran.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengakui bahwa tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah idenya, tujuannya adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah air.
Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam
Rais Syuriyah Penguru Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar F. Masudi meminta masyarakat untuk tidak membesar-besarkan pembacaan ayat suci Al-Quran menggunakan langgam Jawa dalam peringatan Isra Mi’raj di Istana Negara itu.
“Langgam itu berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Setiap komunitas boleh membaca Al-Quran dengan langgam yang lazim di kalangan mereka. Bisa langgam Jawa, Sunda, atau langgam lainnya,” ujar Masdar seperti disebutkan dalam laman resmi NU.
Namun, dia mengingatkan, setiap pembaca Al-Quran wajib menjaga makhrajnya, panjang, juga pendeknya. Asal tujuannya jangan merusak makna Al-Quran itu sendiri.
Hukum Melagukan Al-Quran
Baca Juga: Tadabbur QS. Thaha ayat 14, Dirikan Shalat untuk Mengingat Allah
Dr. Ibrahim bin Sa’d ad-Dausiri, Ketua Lembaga Studi Ilmu Al-Quran di Universitas King Saud menjelaskan, bahwa hukum membaca Al-Quran dengan irama (lahn) yang mengikuti tabiat asli manusia, tanpa dibuat-buat, tanpa dilatih, seperti cara baca umumnya masyarakat, pada dasarnya adalah diperbolehkan. Bahkan termasuk dianjurkan ketika seseorang membaca Al-Quran untuk melagukannya.
Hal ini seperti dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
Artinya: “Baguskanlah suara bacaan Al-Qur’an kalian.” (H.R. Abu Daud dan An Nasai).
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
Artinya: “Bukan termasuk golonganku, orang yang tidak melagukan Al-Quran. (H.R. Bukhari).
Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina
Makna bukan termasuk golonganku di sini tentu bukan berarti lantas orang yang membaca Al-Quran secara datar, atau bahkan terbata-bata karena baru belajar, bukan termasuk umat Nabi. Akan tetapi lebih bersifat anjuran untuk menambah kenikmatan dan kekhusyu’an membaca Al-Quran.
Sebab membaca Al-Quran dengan terbata-bata pun masih mendapatkan pahala ibadah. Sebagaimana sabdanya:
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
Artinya: “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an bersama malaikat yang mulia lagi thaat. Adapun orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan berat atasnya, maka baginya dua pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Namun yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa tujuan utama melagukan Al-Quran, seperti dilakukan para imam ketika mengimami shalat berjama’ah adalah atas dorongan ingin mentadabburi Al-Quran lebih khusyu’.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa
Ahli tafsir terkemuka, Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Fadhail Al-Quran, menyatakan bahwa yang diajarkan oleh syariat adalah memperindah bacaan Al-Quran karena dorongan ingin mentadabburi Al-Quran, memahaminya, berusaha khusyu’, tunduk, karena ingin mentha’ati Allah.
Adapun bacaan Al-Quran dengan lagu yang tidak pernah dikenal, mengikuti irama, tempo, cengkok lagu, dan nada musik, maka tidak tepat karena seharusnya Al-Quran itu diagungkan, dan dimuliakan dari cara membaca semacam ini.
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Zadul Ma’ad memfatwakan, semua orang yang mengetahui keadaan ulama salaf, dia akan sangat yakin bahwa mereka berlepas diri dari cara membaca Al-Quran dengan mengikuti irama musik yang dipaksa-paksakan. Menyesuaikan dengan cengkok, genre, dan tempo nada lagu. Mereka para ulama sangat takut kepada Allah untuk membaca Al-Quran dengan gaya semacam ini.
Fatwa Ulama Dunia
Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi
Tak berapa lama, sampailah video bacaan Al-Quran langgam Jawa itu ke se-antero dunia nyata melalui dunia maya.
Syaikh Jamal Faruq ad-Daqqaq, Dekan Fakultas Dakwah Universitas Al-Azhar dan Anggota Ulama Pakar Al-Azhar Mesir, setelah para mahasiswa Indonesia memperlihatkan dan memperdengarkan video bacaan Al-Quran langgam daerah Jawa tersebut, ia berkata, “Bacaan ini unik sekali, menunjukan bahwa yang membaca adalah bukan orang Arab (natijatul ‘ujmah), dan orang non-arab memang pada umumnya memiliki langgam (lahnun) dan cara mengejanya tidak sepenuhnya sama seperti lisan orang Arab.
Namun, yang harus diperhatikan adalah thariqah al-adaa` (cara eksekusi bacaan). Oleh sebab itu, ada bab Qiroaat Sab’ah yang merupakan salah satu latar belakang permasalah ini, pendapatnya.
Menurut Syaikh Toha Hubaisyi, Anggota Pentashih Al-Quran Mesir juga memperbolehkan membaca Al-Quran dengan langgam Jawa tersebut, dengan syarat tetap memerhatikan tempat keluar huruf (makhraj) dan kaidah tajdwid.
Baca Juga: Sujud dan Mendekatlah
“Membaca ayat suci Al-Quran menggunakan langgam adat manapun, termasuk langgam Jawa diperbolehkan selama tidak melenceng dari kaidah pelafalan dan respek terhadap ayat suci itu sendiri,” ucapnya.
Ulama lainnya, Syaikh Fahmy Abdul Qawi, anggota Komisi Fatwa Mesir, berpendapat bahwa yang penting adalah bacaan Al-Qurannya benar sesuai kaidah qiraah tajwid, meskipun dengan irama seperti (langgam) seperti Hadr, Nahwan, Kurdi, ataupun dengan irama non-arab apapun.
Sebab menurutnya, Al-Quran itu bukan hanya diturunkan orang Arab saja, namun untuk seluruh umat manusia. Termasuk menurutnya, meskipun irama itu digunakan untuk ajang pertunjukan budaya, hal ini tidak serta merta bahwa langgam ini diharamkan. Karena langgam hanyalah cara (irama) untuk membaca Al-Quran.
Namun, Syaikh Fahmi mempersyaratkan jika langgam ini digunakan untuk membaca Al-Quran, maka langgam tersebut tetap harus mengikut kepada Al-Quran yang harus sangat dihormati dan diagungkan. Jadi tidak, bisa dikatakan pembacaan Al-Quran seperti ini merupakan bentuk penghinaan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-17] Berbuat Baik pada Segala Sesuatu
Ia menyarankan kepada kelompok yang membolehkan membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah tertentu, agar menambahkan dhawabit (catatan-catatan) tertentu dalam pembolehannya, agar langgam tetap harus mengikuti qaidah ilmu Tajwid.
“Ini demi menjaga harkat martabat Al-Qur’an. Jika syaratnya hanya sekedar harus mengikuti ilmu Tajwid saja, maka tidak menutup kemungkinan akan ada pembacaan Al-Qur’an dengan langgam keroncong dengan dalih yang penting sesuai dengan ilmu Tajwid”, katanya.
Sebab statemen boleh asal sesuai tajwid, menurutnya hanya akan keluar dari orang yang tidak pernah menyelami dunia seni bacaan Al-Quran (maqamat syarqiah).
Ia menambahkan, Qari’ yang menggeluti dunia seni bacaan Al-Quran pasti mengetahui betapa susahnya menyeimbangkan antara lagu dan tajwid, antara memikirkan tanda berhenti dan memulai (waqaf wal ibtida) yang benar sambil menyesuaikan dengan kemampuan nafas yang dimiliki.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-16] Jangan Marah
Ia mengilustrasikan, jika seseorang menyetir mobil, tangan kanan sambil memegang hanphone, tangan kiri sambil memegang tasbih, di kursi belakang ada anak kecil yang bermain-main, di jalan yang padat dengan kecepatan tinggi. Tentunya sang sopir harus bisa membagi konsentrasi dengan baik , jika kurang konsentrasi sedikit saja, maka akan berujung dengan kecelakaan fatal.
Begitu juga orang yang membaca Al-Qur’an dengan seni qira’ah sesuai aturan (mujawwad), konsentrasinya terbagi kepada ayat yang dia baca, tajwid, langgam atau irama dan pengaturan napas.
Tetapi juga sebaliknya, vonis munafiq, murtad atau bahkan menuduh kafir kepada orang yang membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah juga menurutnya terlalu gegabah.
Sebab, pembahasan takfir sangatlah dalam, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang hanya bisa divonis kafir setelah melalui proses pengadilan dan dinyatakan oleh qadhi bahwa seseorang tersebut sudah keluar dari agama Islam, mengingat besarnya bahaya jika semua orang punya hak untuk mengkafirkan siapapun.
Karena itu, para syaikh qira’ah sangat memaklumi perbedaan pandangan ulama soal itu. Ulama-ulama tidak diragukan lagi kapabilitas mereka. Namun perlu diingat bahwa kapabilitas keilmuan para syaikh itu perlu dikaitkan juga dengan pengetahuan mereka tentang budaya, sosial dan politik suatu negara, seperti di Indonesia yang tumbuh berkembang.
Peran mengetahui gambaran hal lagu (tashwirul mas’alah) di sini sangatlah penting. Sebab, boleh jadi, para Masyaikh tersebut tidak mengetahui bahwa langgam yang dipertontonkan itu juga dipakai untuk sindenan. Bahkan kemungkinan besar mereka juga tidak mengetahui apa itu sinden.
Di Timur Tengah maqamat syarqiah bukan hanya dipakai untuk membaca Al-Qur’an tapi juga dipakai untuk musik bergenre Arabic. Namun, keistimewaan maqamat syarqiah ini walaupun dasarnya mempunyai tujuh maqam tapi variasi-variasinya sampai ratusan. Walaupun juga dipakai untuk membaca Al-Qur”an, tashawwur (penggambaran) orang yang mendengar tidak akan mentashawwurkan Syaikh Mishari Rasyid, As-Sudais, As-Suraim, dengan artis Ummi Kultsum atau Abdul Halim Hafez, Karena memang tidak sama persis, yang sama hanya irama dasarnya saja.
Dalam hal ini, ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa, tashawwur yang ada dipikirannya adalah sinden Jawa. Dan apakah langgam Jawa juga mempunyai banyak variasi seperti maqamat syarqiah. Alias tak ada beda antara irama atau langgam yang digunakan Qari di Istana Negara dengan Sinden Jawa.
Hampir dipastikan jika ada qari’ di Mesir misalnya membawakan Al-Quran dengan langgam rast versi penyanyi Ummi Kultsum dengan lagu Gannini? Dalam acara resmi Negara lagi, sudah pasti Mesir tidak akan kalah ributnya dari Indonesia.
Menjurus Ashabiyah
Cara membaca Al-Quran (qira’ah) seperti yang dilakukan qari’ di Istana Negara, terdengar mengikuti gaya macapat–mijil. Tembang macapat-mijil merupakan salah satu jenis irama lagu bagi masyarakat jawa.
Tidak jauh berbeda dengan irama dangdut, pop, jazz, dst. Hanya saja, mengingat irama ini lebih terikat dengan kedaerahan, penyebarannya tidak lebih luas dibanding irama yang lain.
Ustadz Ammi Nur Baits, Dewan Pembina Konsultasi Syari’ah, mengatakan terlalu jauh jika beralasan bahwa itu karena bawaan lagu daerah. Sebab, sampaipun seorang Muslim yang mahir berlanggam macapat, tetapi ketika dia membaca Al-Quran, dia akan membacanya dengan lagu yang mengikuti kaidah qira’ah tajwid, dan bukan qira’ah macapat.
Ini tentu sangat berbeda dengan orang yang membaca Al-Quran dengan langgam asli karena pengaruh lidah daerah. Tanpa ada kesan dipaksa-paksakan. Seperti orang Sunda yang membaca huruf fa dengan pa atau orang jawa mbanyumasan yang kesulitan baca ‘ain sehingga terbaca ngain, dan seterusnya, yang ini murni terjadi di luar kesengajaan.
Dan sangat jelas, si qari’ itu membaca dengan irama lagu, dibuat-buat, bukan karena bawaan asli cara dia membaca Al-Quran. Kita bisa mendengar agak miris, kesan dipanjang-panjangkan, malah dikhawatirkan merusak kaidah tajwid, hanya semata dalam rangka mengikuti irama macapat.
Padahal itu dibaca di acara resmi kenegaraan, dalam nuansa Nasional, bahkan dilihat dunia internasional, bukan acara kedaerahan. Acara secara nasional juga dihadri beberapa pejabat dan sejumlah duta besar negara Arab, serta didengar oleh banyak orang-orang yang paham qira’ah Al-Quran, oleh para hufadz Al-Quran dan oleh guru-guru besar Al-Quran baik dalam maupun nanti luar negeri. Cepat atau lambat pasti dunia akan mengetahuinya melalui jejaring sosial.
Sensasi yang Tidak Perlu
Hal yang perlu lebih mendapatkan perhatian adalah memang satu sisi atas alasan budidaya khazanah langgam macapat yang hampir terlupakan perlu dilakukan. Namun, masyarakat jawa sendiri sudah banyak atau bahkan tidak ada, minimal menurut Penulis sendiri, tidak pernah mendengar qira’ah Al-Quran di masjid, pada acara-acara hari-hari besar Islam, di tempat pernikahan, wusuda, dan lainnya, membaca Al-Quran dengan langgam kedaerah itu.
Karena itu, wajar ketika ada orang yang membaca Al-Quran dengan langgam yang aneh seperti sinden tersebut, spontan memicu banyak reaksi dari kaum Muslimin. Jika itu satu hal yang lumrah bagi mereka, tentu tidak akan mereka permasalahkan.
Menciptakan ‘sensasi’ secara ‘liberal’, yang dapat memancing emosi dan perbedaan pendapat kaum Muslimin, tentu itu dampak yang wajib diperhatikan sebelumnya. Sebab, niat baik saja tidak cukup, apalagi kalau sekedar alasan pelestarian budaya dengan menggunakan Al-Quran sebagai sarananya, dikhawatirkan sangat dekat dalam kategori istihza’ (mempermainkan) terhadap Al-Quran.
Ustadz Ahmad Annuri, pakar pengajaran Al-Quran dari Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII), malah menuduh pemerintah melakukan liberalisasi agama Islam.
karena itu, menurut Ustadz Ahmad, cara membaca Al-Quran seperti di Istana Negara itu tidak boleh terjadi lagi dan harus dihentikan. Sebab, hal itu termasuk kategori memaksakan untuk meniru lagu dengan kesulitan (takalluf) yang tidak lazim dalam qira’ah Al-Quran, dan yang paling fatal adalah ketika ada kesalahan niat dan tujuan. Yaitu merasa perlu menonjolkan citra rasa lagu ke-Nusantara-an atau keindonesiaan dalam membaca Al-Quran.
Menurutnya, boleh saja dikatakan sah-sah saja selama meperhatikan tajwid, panjang pendek, dan makhrajnya. Akan tetapi langkah itu membangun sikap hubbul wathoniyyah (cinta nasionalisme) yang salah, seolah bahwa lagu Nusantara untuk membaca Quran adalah sesuatu yang layak dan sah-sah saja. Cara membaca Al-Quran seperti itu, jelas akan merusak kelaziman yang sudah digunakan sejak jaman Nabi, Sahabat ulama tabi’it, tabi’it tabi’in dan seterusnya dalam qira’ah Al-Quran. Hal itu hanya akan lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya bagi umat Islam.
Keberatan Ulama
Menurut Ustadz Toha Husain Al Hafidz, murid Imam Masjidil Haram Syaikh Su’ud Ash-Shuraim, ada paling sedikit empat kesalahan dalam membaca Al-Qur’an dengan langgam jawa lagu Dandanggulo yang dibawakan Muhammad Yaser Arafat pada acara Isra Mi’raj di Istana Negara tersebut.
Pertama, kesalahan tajwid, yaitu terdengar dari bacaan maad (panjang) yang dipaksakan untuk mengikuti kebutuhan irama lagu.
Kedua, kesalahan logat. Al-Quran sesuai tuntunan Nabi, harus diucapkan dengan logat fushah aslinya, yaitu bahasa Arab, yaitu dengan qira’ah sab’ah atau qira’ah asyrah yang memang sudah diakui selama ini.
Ketiga, kesalahan takalluf, atau pemaksaan untuk meniru lagu yang tak lazim dalam qira’ah Al-Qur’an.
Keempat, dan ini kesalahan yang paling fatal adalah kesalahan niat atau tujuan, yaitu merasa perlu menonjolkan keindonesiaan, kebangsaan, kejawaan, atau kedaerahan, dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Ini dapat dimasukkan ke dalam kategori membangun sikap ashabiyyah (kesukuan) dalam ber-Islam.
Di dalam sebuah hadits disebutkan,
اِقْرَؤُا الْقُرْآنَ بِلُحُوْنِ الْعَرَبِ وَأَصْوَاتِهَا وَ إِيَّاكُمْ وَلُحُوْنِ أَهْلِ الْكِتَابِ وَأَهْلَ الْفِسْقِ فَإِنَّهُ سَيَجِيْءُ أَقْوَامُ يَرْجِعُوْنَ بِالْقُرْآنِ تًرْجِيْعُ الْغِنَاءُ وَالرَّهْبَانِيَةُ لَا يُجَاوُزُ حَنَاجِرَكُمْ مَفْتُوْنَةٍ قُلُوْبُهُمء وَقُلُوْبُ مَنْ يُعْجِبُهُمْ شَأْنُهُمْ
Artinya: “Bacalah Al-Qur’an itu dengan lagu bacaan Arab dan suaranya, dan jangan sampai kalian menggunakan gaya ahli kitab, dan orang fasiq. Sebab, akan datang kaum yang melagukan Al-Qur’an dengan lagu-lagu seperti kidung para pendeta yang tidak melewati kerongkongan kalian, hati mereka terfitnah, juga hati yang kagum dengan penampilan mereka. (H.R. Thabrani dan Baihaqi).
Walaupun ahli hadits sendiri menilai status hadits tersebut masih dipertentangkan, ada yang menghasankannya dan ada yang mendhaifkannya.
Namun, hakikat yang dimaksud dengan anjuran membaca Al-Quran dengan luhunul arab adalah membaca dengan qa’idah tajwid. Misalnya makharijul huruf dan sifatul huruf, yang dua harakat, yang empat harakat, dan yang enam harakat, serta hukum tajwid lainnya dibaca pas dan tepat, tidak lebih tidak kurang.
Qari’ internasional, Syaikh Abdullah bin Ali Bashfar ikut berkomentar dengan menyebut bahwa qira’ah langgam daerah pada peringatan Isra Mi’raj tersebut mengandung kesalahan tajwid. Di mana panjang mad-nya dipaksakan mengikuti irama lagu. Juga kesalahan lahjah (logat), berseberangan dengan perintah Nabi,“Iqra’ul qur’aana biluhuunil ‘Arobi wa ashwaatiha” (Bacalah Al-Qur’an itu dengan lagu bacaan Arab dan suaranya).
“Yang berbahaya adalah jika ada kesalahan niat, yaitu merasa perlu menonjolkan ashabiyyah kedaerahan dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Dan yang paling fatal jika ada maksud memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang mereka samakan dengan lagu-lagu wayang,” ujarnya.
Penutup
Terlepas dari perbedaan pendapat dan fatwa mengenai hal itu, para ulama mengemukakan dengan mengambil qaidah “sadduz zariah” (antisipasi), ditakutkan jika diperbolehkan maka akan banyak langgam yang bermunculan, tidak menutup kemungkinan di antara banyaknya langgam yang akan muncul terdapat langgam yang tidak layak dengan Al-Quran, bahkan cenderung merendahkan Al-Quran, bayangkan saja jika nanti ada yang membaca Al-Qur’an dengan langgam hip-hop, irama dangdut, jazz, keroncong, dan lainnya.
Dalam hal ini, semoga pemerintah Indonesia bisa lebih matang dan arif lagi dalam memilah-milih hal baru apa saja yang tidak membuat gaduh dan silang pendapat di kalangan masyarakat.
Tentu dari semua itu yang penting adalah jangan sampai perbedaan pendapat, fatwa dan komentar. Tetap dengan mengedepankan nilai-nilai ukhuwwah islamiyyah, tidak mudah dipecah-belah dan diadu domba, tetap terpimpin berdasar Al-Quran dan As-Sunnah. Sebab masih jauh lebih banyak dan lebih besar lagi problematika ummat yang menjadi pekerjaan rumah umat Islam bersama. Seperti bagaimana membantu Muslim Rohingya yang terdampar di beberapa negara, konflik negeri Muslim Yaman yang melibatkan berbagai negeri Muslim lainnya, situasi umat di Irak, Suriah, Libya, dan negeri-negeri berpenduduk Muslim lainnya, serta nasib saudara-saudara Muslim di negeri minoritas seperti di Thailand, Filipina, China, Barat. Serta yang paling pokok dan utama adalah upaya pembebasan tempat suci Masjid Al-Aqsha dan terlepasnya warga di Palestina dari belenggu penjajahan Zionis Israel.
Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk-Nya dalam menjaga dan mendakwahkan Al-Qur’an sesuai tuntunan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. (T/P4/R11).
Ali Farkhan Tsani,S.Pd.I., Penulis Redaktur Tausiyah Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Mahasiswa Sekolah Tinggi Shuffah Al-Quran (STSQ) Abdullah bin Mas’ud Online, Peserta Diklat Ulumul Quran wl Fiqh Muqarranah Kerjasama Ma’had Al-Fatah Indonesia dan Universitas Islam Gaza, Majelis Dakwah Pondok Pesantren Al-Fatah Bogor, Jawa Barat.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)