oleh: Widi Kusnadi, dai Pondok Pesantren Al-Fatah, Bogor
Dalam kosa kata Bahasa Indonesia, kita mengenal kata gembira, senang dan bahagia. Sekilas mungkin kita menganggap sama, akan tetapi sebenarnya ada perbedaan makna dari ketiga kata itu. Dalam terminologi Bahasa Inggris, kita juga mengenal kata joy, happy dan fortune. Juga dalam Bahasa Arab, juga ada kata basyira (بَشِرَ ), mata’a (مَتَعَ ), dan falaha ( فَلَحَ ).
Sebelum membahas tentang bagaimana meraih kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan dalam beribadah dan ketaatan kepada Allah, penulis ingin membahas dulu tentang definisi dan perbedaan di antara ketiga kata itu.
Pernahkah kita melihat ada orang yang tertawa lepas, hingga terlihat gigi gerahamnya. Ya, itulah mereka yang merasa hatinya riang, terhibur karena melihat atau mendengar sesuatu yang lucu, atau karena mendapatkan dengan tiba-tiba terhadap sesuatu yang sudah lama ia inginkan dan idam-idamkan. Mereka itulah orang-orang yang kita sebut dengan gembira.
Baca Juga: Aksi Kebaikan, Dompet Dhuafa Lampung Tebar 1445 Makanan Berbuka dan Takjil
Bergembira biasanya diekspresikan dengan tertawa. Namun, ada kalanya, gembira juga diekspresikan dengan meneteskan air mata. Biasanya hal itu dialami oleh wanita. Karena saking gembiranya, mereka meluapkannya dengan meneteskan air mata.
Menurut para pakar kesehatan, tertawa dapat menurunkan tekanan darah, memperlancar aliran darah dari jantung ke seluruh tubuh dan produksi oksigen ikut meningkat dalam peredaran darah. Turunnya tekanan darah karena tertawa sekaligus membantu melindungi seseorang dari risiko stroke dan penyakit jantung.
Ketika seseorang tertawa, otak juga memperbanyak produksi hormon endorfin yang merupakan penghilang rasa sakit alami. Endorfin juga dapat merangsang mood bahagia, sehingga membantu menangkal stres dan pikiran-pikiran negatif.
Sedangkan senang adalah perasaan suka, lega dan nyaman karena telah mendapatkan sesuatu yang ia inginkan (setelah melalui proses usaha), ketika dapat menyelesaikan pekerjaan, atau karena telah melewati rintangan, hambatan dan gangguan yang ia alami. Senang juga bisa dirasakan oleh seseorang ketika disanjung, dipuji, atau dihargai keberadaannya, hasil usaha dan kerjanya. Senang itu biasanya diekspresikan dengan tersenyum.
Baca Juga: Masjid Sekayu Semarang Cikal Bakal Pembangunan Masjid Agung Demak
Perbedaan antara gembira dan senang adalah, jika gembira merupakan ekspresi sesaat/ singkat, maka senang memiliki durasi waktu yang lebih lama. Lama kesenangan itu bisa dalam waktu hitungan, jam, hari, pekan atau bulan.
Sedangkan bahagia adalah perasaan dan keadaan yang tenteram, terbebas dari segala hal yang menyengsarakan. Bahagia timbul dari dorongan internal, sedangkan kesenangan dan kegembiraan dari faktor eksternal. Durasi waktu bahagia lebih lama dari senang dan gembira. Bahagia itu dirasakan dalam hitungan waktu tahunan, puluhan tahun, bahkan abadi, selama-lamanya. Kebahagiaan adalah orientasi dan tujuan jangka panjang dan masa depan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Sebagai ilustrasi, seseorang yang sedang atau telah selesai melangsungkan pesta pernikahan, bisa jadi ia senang dan gembira, tetapi belum tentu merasakan bahagia. Mengapa? Karena dana untuk pesta pernikahannya adalah dari berhutang atau meminjam rekan. Atau seseorang dengan gaji bulanan mencapai puluhan, ratusan juta, bahkan milyaran rupiah, bisa jadi itu adalah sesuatu yang ia dambakan, tetapi setelah menjalankan profesi sebagai direktur utama, atau pemilik saham mayoritas sebuah perusahaan, bisa jadi malah ia pusing, stress dan sulit tidur dengan hal itu.
Demikian juga, seseorang yang melakukan melakukan perbuatan maksiat dengan menonton aksi pornografi, berzina, narkoba, atau sejenisnya. Itu karena yang ia kejar adalah kegembiraan dan kesenangan sementara. Tetapi dijamin, sekali-kali ia tidak akan pernah mendapat kebahagiaan.
Baca Juga: Berkah Ramadhan, Wahdah Tebar Paket Sembako
Jika orientasi hidup seseorang hanya mengejar kegembiraan dan kesenangan, seseorang dapat kehilangan tujuan jangka panjangnya. Ia memuaskan hasrat hari ini, kesenangan sementara, padahal itu bisa mengancam kesehatan dan masa depannya.
Gembira dan Senang dalam Ibadah
Bagaimana agar dalam beribadah kita merasakan kegembiraan dan kesenangan? Ini sebuah pertanyaan menarik dan perlu dipikirkan oleh pada mubaligh, dai, orang tua, dan segenap pemerhati pendidikan agar mampu membuat masyarakat, khususnya generasi muda agar tertarik dan betah beribadah.
Fakta hari ini, sebagian besar para pemuda justru lebih gembira menghadiri konser musik daripada menghadiri pengajian dan mejelis ilmu. Mereka lebih memilih dan bangga bersalaman dengan artis daripada dengan kiyai dan ustaznya. Atau mereka rela mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli ponsel baru, tetapi tidak menganggarkan untuk mushaf Al-Quran yang sudah usang dan jarang disentuh, teronggok di sudut kamarnya.
Baca Juga: Riska Gelar Anjangsana Sosial di Rumah Belajar Merah Putih Cilincing
Mengutip uraian yang disampaikan oleh KH Bahauddin Nursalim, salah satu cara agar kita gembira dan senang dengan pengajian dan majelis ilmu adalah dengan metode pembawaan dari dai dan mubaligh tersebut. Di sini, para dai harus mempersiapkan materi sebaik mungkin agar penyampaiannya semenarik mungkin, dengan bahasa yang sesuai dengan pendengarnya dan materi yang sesuai dengan tingkat kefahaman jamaahnya.
Kalau dalam dunia marketing, selain barang dagangan yang memang memberi manfaat dan dibutuhkan oleh masyarakat, maka metode dan alat kelengkapan untuk promosi serta tempat yang strategis untuk berjualan adalah hal penting untuk diperhatikan.
Dalam hal ibadah yang lain, kesadaran, pemahaman yang benar akan kebutuhan seorang hamba terhadap ibadah itu sendiri perlu ditanamkan. Memahami bahwa ibadah merupakan bentuk rasa syukur dan terima kasih kita kepada Allah, karena telah menciptakan kita sebagai manusia yang sempurna, memberi rizki tanpa kita minta, menempatkan kita pada lingkungan islami, dikelilingi orang-orang yang senantiasa memberi nasihat, itu semua adalah nikmat tiada ternilai harganya. Maka sepantasnyalan kita semua bergembira dalam menjalankan ibadah.
Jika kita mudah mencintai seseorang yang telah berjasa kepada kita, memberi kita makan, pakaian, rumah, kendaraan, harta dan jabatan, maka selayaknya kita juga sangat cinta kepada Allah yang telah memberi kita kehidupan ini.
Baca Juga: Masjid Jami’ Aulia Pekalongan Usianya Hampir Empat Abad
Jika kita dipanggil presiden, menteri, atau gubernur untuk diberi bantuan, kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya, memakai pakaian yang indah dan hadir tepat waktu, begitulah seyogyanya kita juga bergegas, membersiapkan diri dan hadir tepat waktu ketika dipanggil Allah melalui azan. Karena di dalam shalat itu, kita akan minta apapun yang kita inginkan kepada Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang. “Mintalah kalian kepada Allah dengan Sabar dan Shalat”, (QS. Al-Baqarah [2]: 46).
Demikian juga dalam meninggalkan maksiat, kita harus menanamkan kesadaran bahwa maksiat itu merugikan jiwa, raga dan harta. Tidak hanya rugi bagi diri sendiri, tapi juga untuk orang lain, masyaraka dan bangsa kita.
Dikisahkan, ada seorang pemuda yang hendak masuk Islam, tetapi ia minta izin untuk tetap bisa berzina. Para sahabat sempat melarang pemuda itu untuk bertemu Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam, akan tetapi Rasul justru memanggil pemuda itu. Lantas dikatakan kepadanya,” Relakah dirimu jika yang dizinai itu adalah Ibumu?. Pemuda itu menjawab tidak rela Ya Rasul, Bagaimana jika anak perempuanmu? Pemuda itu juga mengatakan tidak rela, Bagaimana jika saudara perempuanmu, bibimu, dan seterusnya.
Lalu Rasulullah SAW meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya”, hingga pemuda itu lantas berkata, mulai hari ini saya benci dengan zina.
Baca Juga: Ini Lima Hikmah Puasa Ramadhan Sebagai Pendidikan Ruhiyah
Jadi, konsep berpikir yang benar, memahami hakikat bahwa manusia adalah hamba Allah yang memang sudah seharusnya taat mengabdi dan beribadah kepada-Nya merupakan hal penting agar kita semua merasa gembira dan senang menjalani perintah Allah. Karena pada hakikatnya, ibadah yang kita lakukan bukan untuk Allah, tetapi akan kembali kepada diri kita sendiri yaitu Allah akan memberi ganjaran kepada orang-orang beriman dan beramal shaleh dengan surga.
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 25).
(A/P2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tujuh Pesohor Non-Muslim Ini Pandai Baca Al-Quran, bahkan Hafal Sebagian Suratnya