Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Merintis dan Merintih

Bahron Ansori - Sabtu, 26 September 2015 - 03:45 WIB

Sabtu, 26 September 2015 - 03:45 WIB

800 Views

bahan-motivasi-dan-dawah-ujian-dari-allah-dibagi-menjadi-dua-5-638Oleh Bahron Ansori, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Dalam merintis perjuangan mendakwahkan al Islam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya, banyak mengalami ujian. Tak sedikit dari ujian itu membuat para sahabat yang merintih. Tapi merintih bukan berarti putus asa atau menyerah begitu saja untuk menyampaikan amanah kepada seluruh umat manusia.

Merintih bukan berarti harus pupus harapan karena beratnya amanah yang diemban di medan perjuangan. Sebab dalam rintihan itulah nikmatnya perjuangan akan terasa dan dirasakan sebagai jalan yang harus dilalui. Di balik rintihan itu pula, Allah dengan segala kemahabesaran-Nya akan menurunkan pertolongan dari jalan yang tidak disangka-sangka. Merintis dan merintih adalah syarat dalam sebuah perjuangan.

Di dunia ini, tidak ada seorang pun yang hidup dengan kesuksesan tiba-tiba. Lihat bagaimana sejarah kesuksesan para sahabat, khulafaur rashidin, ulama-ulama terdahulu. Mari kita coba urai satu per satu. Khalifah Abu Bakar Ash Siddiq sebelum menjadi seorang Khalifah, ia adalah seorang pedagang yang kaya. Namun, setelah cahaya Islam menghampirinya melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka semua gemerlap dunia yang dimilikinya ia tinggalkan.

Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah

Kekayaannya lebih banyak ia habiskan untuk membantu para sahabatnya yang mulia seperti membebaskan Bilal bin Rabah dari tuannya Umayah. Dengan harga yang sangat mahal kala itu, Abu Bakar tanpa pikir panjang langsung membeli Bilal bin Rabah. Semua itu ia lakukan tak lain semata-mata untuk membela Islam dan kaum muslimin. Abu Bakar merintih saat ia ikut merintis mendakwahkan Islam yang dibawa baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Lalu lihatlah bagaimana Umar bin Khattab. Sebelum memeluk Islam, Umar adalah lelaki dengan tempramen yang kasar. Tak heran ia dijuluki sebagai orang yang jago bergulat. Bahkan saat Fatimah adiknya dan suaminya telah memeluk Islam, Umar dengan tangannya yang kekar menampar Fatimah. Tapi lihatlah, setelah adik iparnya membacakan ayat Al Qur’an dihadapannya, saat itu pula ia tertunduk, lemah dan meminta agar diantar menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk memeluk Islam.

Setelah menjadi seorang Muslim, Umar tak lagi bergelimang dengan harta. Hidupnya penuh dengan kezuhudan. Bahkan dalam suatu kisah disebutkan, Umar selalu mengenakan pakaian yang ada tambalannya. Apakah saat itu Umar tak mampu membeli sehelai pakaian? Tentu saja tidak. Tapi itu dia lakukan sebagai satu kesadaran tinggi bahwa ia dan Nabinya serta para sahabat sadar betul sedang merintis dakwah Islam. Tak jarang dalam mendakwahkan al Islam, Umar bin Khatab pun merintih. Merintih di penghujung malam agar mendapatkan kekuatan dan kemenangan dalam memperjuangkan Islam. Umar merintih bukan berarti berputus asa.

Dalam Rintihan Ada Doa

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah

Mari kita tinggalkan sementara kisah perjuangan kedua sahabat yang kemuliaannya tak tertandingi oleh seorang manusia pun di akhir jaman ini. Sekarang coba kita lihat bagaimana para imam ahli hadis, saintis dan pengusaha kelas dunia yang saat merintis usahanya, mereka pun merintih. Merintih karena berharap apa yang mereka usahakan akan melahirkan kesuksesan.

Sebagai Muslim, tentu Anda kenal dengan Imam Muslim, Imam Bukhari, Imam An Nawawi, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Malik, dan sederet imam ahli hadis lainnya dari masa ke masa. Bisa dikatakan semua imam ahli hadis saat pertama kali mereka merintis dan membangun kapasitas dirinya menjadi para ahli hadis pasti mengalami ujian yang tak ringan. Ujian tak ringan itulah yang disebut sebagai rintihan-rintihan mereka.

Tapi lihatlah, rintihan para imam itu akhirnya membuahkan hasil yang spektakuler. Karya-karya yang mereka hasilkan itu memberi manfaat sepanjang masa bagi kehidupan manusia hingga akhir jaman. Kitab Riyadus Shalihin, Fathul Baari, Shahih Bukhari Muslim, Syarah Arbain Annawawiyah dan masih banyak kitab lain adalah bukti buah karya jenius para imam tersebut. Jadi, dalam setiap rintisannya para imam itu selalu mengalami rintihan. Rintihan panjang, sehingga Allah menjadikan karya-karya besar mereka bermanfaat bagi umat manusia sepanjang masa.

Begitu juga para ulama kontemporer saat ini seperti Buya HAMKA dari Indonesia, Yusuf Qaradhawi dari Qatar, bahkan ulama pendahulu mereka seperti Ibnu Hajar al Asqolani, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al Jauzi, Ibnu Jauzi, Bin Baz. Semua itu adalah ulama-ulama yang saat merintis perjuangannya selalu mengalami rintihan demi rintihan sepanjang masa. Tapi sekali lagi, rintihan yang mereka alami bukanlah rintihan untuk surut kebelakang atau mundur dari jalan yang ditempuhnya. Mereka merintih karena sebagai manusia betapa lelahnya memperjuangkan al Haq (kebenaran).

Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi

Lihat pula para saintis sekaliber Albert Enstein. Bertahun tahun ia melakukan penelitian untuk menghasilkan bom atom yang akhirnya bukan memberi manfaat bagi umat manusia justeru memberi mudharat yang sangat luar biasa. Tapi paling tidak ada hikmah positif yang bisa dipetik dari seorang Enstein. Hikmah itu adalah bagaimana ia dengan segala ketekunan, kesabaran, dan semangatnya yang luar biasa untuk sukses.

Dalam ketekunan, kesabaran dan mempertahankan semangatnya itu ada rintihan-rintihan yang kadang tidak setiap orang mengetahuinya. Lihatlah bagaiman tak sedikit orang disekitarnya yang membenci dan mengempeskan semangatnya. Tapi, lecehan dan hinaan itu ia nikmati sehingga saat ia merintis, rintihannya menjadi bahan baku pembakar semangatnya dalam mewujudkan mimpinya.

Merintih Bukan Putus Asa

Orang yang merintis maka dia disebut juga sebagai perintis, pioner dan pejuang. Paradigma seorang perintis, tentu tidak sama dengan paradigma seorang pelanjut perjuangan. Orang yang membuka hutan belantara untuk membuat sebuah perkampungan, tentu tidak sama dengan orang yang datang untuk menempati kampung itu ketika sudah jadi.

Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan

Merintih, bukan berarti putus asa. Walaupun tidak sedikit orang yang bertumbangan dalam merintis. Tumbang karena tak tahan menerima rintihan diri yang semakin hari semakin menjadi jadi. Tapi, bagi para perintis yang bermental baja, berjiwa pejuang, punya visi misi kedepan, maka merintis dan merintih baginya adalah sunnatullah (ketentuan Allah) yang harus dilalui.

Baginya, menjadi perintis adalah pluang besar yang diberikan Allah kepada orang-orang pilihan, sebab tidak semua orang nyatanya mampu menjadi perintis. Bisa jadi, orang yang merintis itu sudah tiada saat apa yang dirintisnya menjadi besar dan berkembang. Meski ia tidak sempat menikmati jerih payah perjuangannya, tapi Allah tentu tidak tinggal diam. Allah yang maha pengasih dan penyayang akan membalas setiap tetes keringat dan darah yang ia keluarkan dengan pahala terbaik: surga.

Sejatinya, setiap perintis, pioner, pendahulu menyadari bahwa perjuangannya tidak akan pernah sia-sia. Sebab akan lahir generasi pelanjut yang kelak akan melanjutkan estafet perjuangannya hingga benar-benar berjaya. Karena itu pula, seorang perintis hendaknya selalu merintih dalam kesunyiannya, mengadu segala keluh kesah yang ia rasakan hanya kepada Allah Ta’ala. Sebab hanya Allah yang bisa menjadi pelipur lara dan penghibur hati yang sedang merintih bagi seorang perintis.

Wahai para perintis, bersyukurlah karena engkau telah diberi kesempatan oleh Allah  untuk menanamkan andil besar dan ikut bersusah payah membuka hutan belantara untuk menjadi sebuah kampung kemenangan bagi generasi mendatang. Kelak, jika engkau telah tiada, maka generasi setelahmu akan mengenang jerih payah perjuanganmu. Kelak, mereka akan melanjutkan perjuanganmu dan akan mengisi kampung-kampung kemenangan itu dengan berbagai kebaikan.

Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina

Wahai para perintis, berbahagialah engkau. Walau jalan yang kau tempuh itu terjal, penuh onak dan duri, licin dan curam, tapi yakinlah Allah yang maha perkasa tidak akan pernah menyia-nyiakan perjuanganmu. Tataplah kedepan, sebab akhiratmu akan menjadi tempat terindah. Selamat berjuang para perintis. Yakinkan diri bahwa Allah kelak pasti akan membalas segala rintihanmu dengan janji yang tak pernah Ia pungkiri: surga.(R02/P2)

(untuk diri dan semua teman yang memilih berjuang melalui pena)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?

 

 

 

 

Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti

 

 

 

 

Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman

 

 

 

 

Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina

 

Rekomendasi untuk Anda

Kolom