Mewaspadai Geliat PKI Baru

Wikipedia
Wikipedia

Oleh: Rohullah Fauziah Alhakim, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Anyir darah korban pembantaian dan kebiadaban (Partai ) rasanya belum juga kering dari ingatan para tokoh dan warga Indonesia,  namun kini isu ‘kebangkitan’ PKI akhir-akhir ini mulai meresahkan bangsa. Sejauhmana gerakan yang bertentangan dengan UUD’45 serta nurani mayoritas umat Islam di negeri ini harus diwaspadai?

Antek-antek PKI kini kembali menggencarkan bumi Pertiwi. Indonesia yang tampak aman dan tentram rupanya kembali menjadi incaran para anak keturunan Komunis. Tragis dan miris jika mengingat sejarah PKI di Indonesia pada zaman dulu, Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, mengingatkan kita pada jenderal-jenderal TNI yang dibunuh dengan kejam oleh PKI.

Ketika meletus pemberontakan PKI pada 1948, Indonesia gempar. Ketika terjadi kembali pemberontakan PKI pada 1965, Indonesia kembali gempar. Pemberontakan 1965 berakhir dengan pembubaran PKI, atas tuntutan berbagai pihak. Tapi belakangan ini, setelah 40 tahun lebih kematiannya, muncul tanda-tanda bangkitnya atau Neo PKI. Terkait Hari Peringatan G 30 S/PKI pada 30 September, ada baiknya setiap warga negara ini mempelajari dan mengantisipasi bangkitnya PKI gaya baru itu.

Sejarah Pembentukan dan Pertumbuhan PKI

Sebelum berlanjut membahas tentang PKI gaya baru lebih jauh, ada baiknya flashback untuk mengetahui sejarah pembentukan dan pertumbuhan PKI  di Indonesia pada 40 tahun silam.

Kala itu, Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai dan Darsono menjabat sebagai wakil ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota komite adalah orang Belanda. PKH adalah partai komunis Asia pertama yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai pada kongres kedua Komunis Internasional 1921.

Pada periode menjelang kongres keenam Sarekat Islam pada tahun 1921, para anggota menyadari strategi Sneevliet dan mengambil langkah untuk menghentikannya. Agus Salim, yang saat itu menjawab sebagai sekretaris organisasi, mengenalkan sebuah gerakan untuk melarang anggota Sarekat Islam (SI) memegang keanggotaan dan gelar ganda dari pihak lain di kancah perjuangan pergerakan Indonesia.

Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota Komunis kecewa dan keluar dari partai, seperti oposisi dari Tan Malaka dan Semaun yang juga keluar dari gerakannya karena kecewa untuk kemudian mengubah taktik dalam perjuangan pergerakan Indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah kolonial Belanda menyerukan tentang pembatasan kegiatan politik, dan SI memutuskan untuk lebih fokus pada urusan agama, meninggalkan Komunis sebagai satu-satunya organisasi nasionalis yang aktif.

Bersama Semaun yang saat itu berada di Moskow untuk menghadiri Far Eastern Labor Conference pada awal 1922, Tan Malaka mencoba untuk mengubah pemogokan terhadap pekerja pegadaian pemerintah menjadi pemogokan nasional untuk mencakup semua serikat buruh Indonesia. Namun ia gagal, dan ditangkap lalu diberi pilihan antara pengasingan internal atau eksternal. Dia memilih yang terakhir dan berangkat ke Rusia. Pada Mei 1922, Semaun kembali setelah tujuh bulan di Rusia dan mulai mengatur semua serikat buruh dalam satu organisasi.

Pada 22 September, Serikat Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Persatuan Vakbonded Hindia) dibentuk. Pada kongres Komintern kelima pada tahun 1924, ia menekankan bahwa prioritas utama dari partai-partai Komunis adalah untuk mendapatkan kontrol dari persatuan buruh, karena tidak mungkin ada revolusi yang sukses tanpa persatuan kelas buruh ini. Pada 1924, nama partai ini sekali lagi diubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Demi Agama dan Negara

PKI yang dulu pernah ada, kini hadir kembali dengan wajah baru, mengapa bisa demikian? Menurut mantan Ketua MPR Amien Rais, kemunculan kembali PKI bisa dimengerti. Karena Mahkamah Konstitusi (MK), peradilan tertinggi di Indonesia telah mengabulkan permohonan pengujian Pasal 60g UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dan menyatakan eks PKI mempunyai hak pilih dan dipilih pada Pemilu 2009.

Memang eks PKI bisa bertaubat, dan orang-orang yang punya hubungan keluarga dengan eks PKI belum tentu juga berpaham atau mendukung PKI. Bagi yang demikian, barangkali tidak masalah. Namun apabila mereka berusaha untuk membangkitkan kembali PKI dan memutarbalikkan fakta sejarah, tentu mereka yang melakukannya patut dicurigai dan diwaspadai.

“Mereka mengarahkan opini, seakan orang-orang PKI tahun 1965 itu tidak bersalah. Mereka hanya korban, bukan pelaku,” kata KH. Abdul Muchit Muzadi, kiai sepuh yang kini Mustasyar PB NU. “Yang jelas, mereka tidak akan menggunakan nama PKI lagi, karena sudah tidak populer, hanya misinya saja yang terus dibawa,” tegas Drs. HA Chalid Mawardi, mantan Ketua PB NU (1989-1994) dan Sekjen PP GP Ansor (1959-1967).

Chalid menjelaskan, “Kalau kita baca dari teori-teori komunis, fase-fase itu dari membentuk opini, kemudian mematangkan suasana revolusi, lalu membuat eksperimen-eksperimen gerakan revolusioner. Terus memaksakan konflik antara masyarakat dengan pemerintah, dengan aparatur negara. Digesekkan terus. Sekarang sudah banyak ini kita lihat. Apa saja yang dilakukan pemerintah selalu disalahkan. Terus dipertajam. Apapun yang menyangkut militer disalahkan, dipertajam terus.”

Akhirnya, lanjut Chalid, akan muncul tokoh-tokoh besar/tua mereka, untuk memimpin revolusi. Demikianlah, masih mengancam. Tentu kita tak ingin terjadi pemberontakan PKI yang ketiga kalinya. Sebab akan mencederai agama, bangsa, dan negara. Karena itu, tampaknya kewaspadaan harus ditingkatkan Lagi dalam bentuk apapun.

Islam dan

Letak perbedaan Islam dan komunis adalah terletak pada konsepsi Ketuhanan dan mekanisme operasinya. Proses sejarah mengemukakan bahwa seolah-olah pengaruh Ibnu Khaldun terhadap Karl Marx dengan teori Marxismenya. Sekilas pernah mendengar faham Machiavelli yakni faham yang menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan. Komunisme itu bertentangan oleh fitrah manusia, dan secara hakiki manusia tidak akan menerima ideologi yang totaliter dan sentralis (bathil) itu.

Tentang terdapatnya perbedaan antara Islam dan Komunisme tentu tak akan ada yang menyangkal. Islam mempermasalahkan kehidupan di dunia dan akhirat, sedang Komunisme hanya mempermasalahkan masalah kehidupan manusia di dunia, bagaimana supaya tegak keadilan. Masalah akhirat, tidak dipermasalahkan komunisme. Masalah akhirat, adalah masalah pribadi, masalah hubungannya dengan yang menciptakannya.

Ini sesuai dengan surat Al Kahfi ayat 29, yang mengatakan, Kebenaran datang dari Tuhanmu. Barangsiapa yang mau (beriman) berimanlah, dan barangsiapa yang mau (kufur) kufurlah. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang zhalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka.

Dalam surat Yunus ayat 99 dan 100 dipertegas, Jika Tuhan menghendaki, niscaya beriman seluruh orang di muka bumi ini. Adakah engkau memaksa manusia supaya mereka beriman? Tiadalah seorang beriman, melainkan dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan pada orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Sedang dalam surat Al Baqarah ayat 256 dikatakan, tidak ada paksaan dalam agama.

Setelah melihat beberapa dalil tersebut di atas, maka jelaslah bahwa komunisme haram hukumnya. Karena komunisme lebih mementingkan kehendak pribadi demi kepentingannya semata tanpa menghiraukan nasib orang lain, dan dapat dikatakan sebagai kaum yang zhalim.

Bahaya Laten Komunis di Zaman Kontemporer

Bahaya laten Komunis di zaman kontemporer dirasakan lebih berbahaya, karena jika dahulu bahayanya dalam bentuk partai, namun saat ini yang perlu diwaspadai adalah pemikiran-pemikirannya. Untuk dapat melihat bahaya laten Komunisme, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Aspek Politik Formal

Pada aspek ini, Komunis untuk masa yang panjang sudah tidak memiliki tempat lagi di Indonesia, karena citranya yang berdarah yang kita kenal dengan G 30S PKI. Di samping itu intensifnya usaha pemerintah dan unsur-unsur politik lainnya untuk membendung kemungkinan munculnya PKI dalam segala bentuk dan manifestasinya.

2. Aspek Sosial

Pada aspek ini, permasalahanya tidak semudah yang dibayangkan, harus diingat strategi sosial Komunis. Terlepas dari landasan filsafatnya yang bersifat atheis (anti Tuhan), strategi sosialnya juga meliputi keadaan sosial, anti eksploitasi. Hal ini, bagaimanapun juga tetap attractive bagi orang-orang kecil dan bagi orang yang merasa tidak mendapatkan keadilan sosial.

Karena itu, Komunis dalam pengertian partai politik formal tidak merupakan bahaya laten lagi, tetapi kecenderungan berfikir dan berperilaku Komunis selama masyarakat belum mampu menterjemahkan keadilan sosial pada suatu konsep matang. Kelemahan inilah yang menyebabkan mudahnya strategi sosial Komunis berubah menjadi ideologi Komunis yang mengendap dalam pola pikir dan perilaku masyarakat.

Sebagai bangsa yang berdaulat, kita harus meningkatkan kewaspadaan dari pemikiran Komunisme yang semakin menjamur di Indonesia. Terutama yang paling penting adalah memohon perlindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala supaya tidak salah dalam melangkah, berbuat dan berfikir. (P006/R02)

disarikan dari berbagai sumber

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0