Oleh: Chandra Muzaffar, Presiden Gerakan Internasional untuk Dunia (The International Movement for a Just World)
Aksi militer bukanlah solusi terhadap krisis yang terjadi di Yaman, karena pada dasarnya adalah sebuah pergumulan kekuasaan antara berbagai aktor politik. Maka, solusinya pun harus secara politis.
Serangan militer udara terhadap Yaman, dengan target Houthi, yang dipimpin oleh Arab Saudi, dan didukung oleh sebagian besar negara Teluk lainnya dan pemerintah lain di kawasan itu, terutama Mesir, telah memperburuk situasi yang sebenarnya sudah mulai stabil.
Jika kemudian Saudi memutuskan dalam beberapa hari ke depan untuk meluncurkan serangan darat, maka konsekuensinya akan semakin memperuncing kawasan.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Korban di daratan Yaman tentu akan semakin meningkat secara hebat. Dunia akan menyaksikan banyak korban tewas bergelimpangan dan kehancuran fasilitas bagunan dalam beberapa tahun terakhir. Lalu disusul dengan penderitaan demi penderitaan rakyatnya.
Masyarakat Yaman yang sebenarnya cukup ramah dan damai, tentu akan menjadi lebih terbagi. Perang habis-habisan dan terus-menerus dendam berbalasan, akan membuat lebih sulit untuk bekerja menuju rekonsiliasi dan semakin rumit untuk memulihkan perdamaian di masa depan.
Eskalasi agresi dari elit Saudi dan sekutunya akan semakin merobek wilayah terbelah terutama karena dimunculkannya isu Sunni-Syiah.
Jika isu ini terus bergulir, tentu akan memiliki dampak bagi negara terkait, sepert Irak, Iran, Suriah, Lebanon, Bahrain, Kuwait, Oman dan bahkan Arab Saudi sendiri.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Ini semua negara-negara Arab di mana Sunni atau Syiah, baik mayoritas atau minoritas ada di dalamnya. Syiah Iran dan Sunni Turki juga akan ditarik ke dalam pusaran.
Bahaya mendudukkan konflik Yaman dalam isu Sunni-Syiah ini diperparah oleh retorika anti-Iran yang berasal dari Arab dan kalangan elit Mesir. Apalagi adanya upaya yang mengisyaratkan keterlibatan dari asing non-Arab.
Maka tidaklah perlu heran jika kemudian pemerintah Iran bereaksi terhadap retorika tersebut.
Kegembiraan Israel
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Ada proposal yang diajukan Presiden Mesir, Abdel Fattah Al-Sisi, untuk membangun kekuatan militer bersatu Arab guna mempertahankan identitas Arab.
Al-Sisi dalam gagasan Piagam Liga Arab lebih mengedepankan sekutu-sekutunya untuk berkoalisi melawan Syiah Houthi Yaman, dan tidak pernah terpikirkan penyatuan militer untuk melawan Israel.
Tidak heran Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, merasa gembira atas perkembangan di Yaman. Tentu menjadi langkah efektif membendung Arab Iran melalui serangan Arab Saudi dan Arab-Arab lainnya menyerang Arab Yaman Houthi.
Inilah mengapa pemerintah Amerika Serikat (AS) mendukung Saudi, Mesir dan lain-lain dalam koalisi anti-Houthi.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS mengakui bahwa AS dalam perencanaan bersama dengan Arab Saudi untuk mengkoordinasikan dukungan intelijen dan logistik dalam operasi militer di Yaman.
Ini adalah contoh lain dari keuntungan dan kepentingan antara AS dan Israel di satu sisi, dan penguatan kepentingan-kepentingan lain melalui kerjasama dengan sekutunya di Asia Barat seperti Arab Saudi, Mesir dan sejumlah negara Arab lainnya.
Anehnya, pada saat yang sama, AS juga sekaligus mengadakan pembicaraan penting dengan menekan Iran atas program nuklirnya di Lausanne.
Perebutan Kekuasaan
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Intervensi Saudi menyerang Yaman Houthi, tidaklah akan membantu menyelesaikan konflik di Yaman. Sebab akar konfliknya adalah perebutan kekuasaan antara Abdu Rabb Mansour Hadi, Presiden Yaman yang melarikan diri 25 Maret 2015 kemarin, dengan mantan Presiden sebelumnya Ali Abdullah Saleh. Penguasa lama yang digulingkan melalui pemberontakan rakyat pada awal 2012.
Sementara Saleh sendiri masih memiliki loyalis yang cukup, baik dari kalangan cendekiawan maupun militer.
Saleh juga sebelumnya telah menjalin aliansi dengan Houthi, yang berjumlah sekitar 40% dari populasi warga Yaman, serta memiliki keterkaitan dengan Zaidi, salah satu sekte Syi’ah.
Ini merupakan hubungan yang berseberangan dengan sikapnya sebelumnya, yaitu ketika Saleh pada tahun 2004 berusaha menghancurkan pemberontakan Houthi tanpa ampun, dengan tujuan menepis turut campur Israel dan AS dalam urusan Yaman.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Perebutan kekuasaan politik di Yaman bahkan lebih rumit dengan munculnya aktor lain, yaitu Al-Qaeda Yaman.
Sejak tahun 2009, Yaman dijadikan basis pembentukan Al-Qaeda untuk Semenanjung Arab atau yang disebut dengan AQAP (The Al-Qaeda in the Arabian Peninsula).
AQAP merupakan cabang Al-Qaeda utama yang banyak melakukan aksi operasi terorisnya di banyak bagian Asia Barat, Afrika Utara dan bahkan Eropa dan Amerika Serikat.
AS telah menargetkan AQAP melalui serangan pesawat tak berawak yang juga telah menewaskan sejumlah warga sipil yang tidak bersalah di Yaman. Serangan-serangan pesawat tak berawak telah membuat AS banyak dikecam di kalangan rakyat Yaman.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
AQAP di Yaman bukan hanya keras dalam melawan pemerintah Saleh maupun Hadi. Namun juga berseberangan dengan Houthi.
Jika AS kemudian bertekad untuk menghancurkan AQAP, dan kini Houthi, hal ini terutama karena Yaman, salah satu negara termiskin di dunia adalah tetap menjadi daerah strategis luar biasa.
Daerah di ujung barat daya Semenanjung Arab, itu terletak di sepanjang rute laut utama dari Eropa ke Asia, dekat dengan wilayah perairan terpadat dan tersibuk dalam perdagangan, Laut Merah.
Melalui jalur strategis inilah, jutaan barel minyak melewati perairan setiap hari di kedua arah, ke Mediterania melalui Terusan Suez dan dari kilang minyak di Arab Saudi ke pasar energi di kawasan Asia.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Hal ini tidak hanya AS yang menganggap Yaman sebagai strategis. Semua negara-negara di Asia Barat, Asia Selatan, Asia Timur dan Eropa yang bergantung pada perdagangan, dan khawatir tentang keamanan mereka jalur laut yang sangat penting untuk ekonomi mereka. Sehingga mereka khawatir dengan apa yang terjadi di Yaman.
Berbagai kejadian, mulai dari serangan pesawat tak berawak AS ke Yaman, kelompok radikal AQAP, perebutan politik kekuasaan, isu Sunni-Syi’ah, perseteruan antara Arab Saudi-Iran dalam perebutan pengaruh regional, hingga skenario global Israel-AS untuk terus mendorong terjadinya konflik di Timteng, semuanya saling terkait satu dengan lainnya.
Termasuk, pembagi Yaman utara-selatan yang tidak benar-benar dianggap final. Yaman Utara dan Yaman Selatan, memutuskan untuk bergabung pada tahun 1990. Perang saudara yang meletus pada tahun 1994, dan mengakibatkan ribuan orang korban tewas.
Dari semua itu, rakyat Yamanlah yang pada akhirnya menjadi korban dalam menghadapi ketidakamanan negerinya, akibat para penguasa politiknya.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Belum lagi kemiskinan ekonomi yang semakin meningkat, padahal Yaman termasuk negara termiskin di Timur Tengah, semakin dimiskinkan. Diperkirakan sekitar 40% penduduk laki-laki berusia antara 20-24 tahun diperkirakan menganggur. Sementara keuangan rakyat banyak dikorup oleh para pejabat sebelumnya.
Pertemuan Dialog
Untuk menciptakan stabilitas negara dan kawasan yang sedemikian mengerikan, maka satu-satunya jalan adalah mendudukkan semua yang terlibat untuk berdialog satu sama lain, bernegosiasi, dan mengadakan kompromi politik. Karena permasalahannya adalah perebutan kekuasaan politik.
Pendekatan jalan damai tanpa aksi kekerasan untuk resolusi konflik sepertinya belum dijadikan sebagai alternatif dan belum mendapat ruang yang cukup di kalangan internal Yaman.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Badan dunia PBB sendiri terlihat belum mencoba memainkan perannya dalam situasi yang memang serba sangat sulit. PBB belum mendapatkan dukungan penuh oleh semua kekuatan bersaing.
Akhirnya, memang masing-masing pihak layak menggunakan pendekatan moral kemanusiaan untuk menuntut bahwa kedua belah pihak atau berbagai pihak berhenti menggunakan kekerasan senjata.
Ada baiknya dibentuk pemerintah sementara di Sana’a, dengan diisi oleh prefesional teknokrat yang tidak hanya akan mengelola tetapi juga membuat semua persiapan yang diperlukan untuk suatu pemilihan yang adil dan demokratis untuk presiden dan parlemen.
Pemerintah sementara yang efektif dan kegiatan pemilihan umum berjalan di bawah pengawasan PBB. Hal ini memang jelas akan memakan waktu yang juga tidaksebentar. Namun paling tidak akan menjadi bernilai untuk menghentikan perang berkepanjangan dan kekerasan yang kita sekarang menyaksikan. (P4/R05).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)