Mimpi Pemuda Palestina Tak Mati oleh Peluru Israel

Oleh Sarah Algherbawi, penulis dan penerjemah lepas dari Gaza

berharap mempelajari hukum ketika Universitas Gaza dibuka bulan September ini. Namun, agresi Israel menyebabkan dia mengubah rencananya.

Pada 1 Juni, saudari Rayan, , seorang perawat medis, gugur ketika dia sedang merawat orang-orang terluka selama aksi protes Great Return March di dekat perbatasan Gaza. Kematiannya telah mendorong Rayan untuk mengejar gelar keperawatan di Universitas Al-Azhar.

“Ini yang paling bisa saya lakukan untuk kakak saya,” kata Rayan, gadis 18 tahun itu.

Sebelum dia mendaftar untuk kuliah, Rayan harus menyelesaikan ujian sekolah menengahnya, tawjihi.

Rayan sebenarnya merevisi untuk tesnya pada 1 Juni. Dalam percakapan terakhirnya keduanya, Razan dengan santai menyarankan agar Rayan dapat membantunya bekerja di Great Return March. Berpikir bahwa Razan serius, Rayan setuju. Namun, Razan kemudian menjelaskan bahwa dia hanya bercanda. Ia menyemangati Rayan untuk tetap fokus pada persiapan ujiannya untuk sekolah hukum, sehingga dia bisa mendapatkan nilai yang bagus dan membuat keluarga bangga.

Segera setelah itu, Rayan mengalami sensasi yang tidak menyenangkan.

“Saya sedang belajar di kamar Razan,” kata Rayan. “Tiba-tiba, saya merasakan sedikit sesak di hati saya, saya merasa ada sesuatu yang salah telah terjadi. Saya meminta ibu saya menelepon Razan untuk memeriksanya. Tapi ketika kami berbicara, salah satu kerabat kami menelepon untuk memberi tahu kami bahwa Razan terluka.”

Sekitar 10 menit kemudian, keluarga menerima panggilan telepon lain dengan berita bahwa Razan sudah meninggal.

Rayan sangat terpukul. Ketika teman dan tetangga mulai menelepon ke rumah keluarga, mengucapkan belasungkawa, dia duduk di antara mereka pada awalnya, menangis dengan tenang. Kemudian ibunya, Sabreen, meraih tangannya dan membawanya ke kamar tidur Razan. Sabreen meminta Rayan untuk tetap sekuat yang dia bisa dan berkonsentrasi pada ujiannya.

Rayan harus mengikuti salah satu tes itu besok pagi.

Sesampainya di sekolah di daerah Khan Younis di Gaza selatan, dia dibawa ke ruangan yang berbeda dari kebanyakan murid. Para guru merasa itu yang terbaik bagi dia dan murid-murid lain jika dia melakukan tes seorang diri.

Tes berlangsung pada saat yang sama dengan pemakaman Razan, jadi Rayan tidak dapat menghadiri pemakaman kakaknya. “Saya tidak pernah menduga bahwa saya harus melakukan tes dalam situasi seperti itu,” kata Rayan.

Hasil ujiannya diberikan melalui pesan teks pada bulan berikutnya. Rayan mencetak nilai rata-rata sedikit kurang dari 60 persen. Nilainya tidak setinggi yang dia targetkan, tetapi masuk akal mengingat apa yang telah dialami keluarganya.

Dengan mengejar gelar keperawatan, ia berusaha memenuhi ambisi yang pernah dicita-citakan Razan. Meskipun Razan ingin belajar keperawatan di tingkat universitas, keluarganya tidak memiliki cukup uang untuk membiayainya. Akibatnya, Razan dilatih keperawatan oleh Komite Internasional Palang Merah.

Biaya Rayan sendiri dibayar dengan bantuan sumbangan yang diterima keluarga sejak Razan terbunuh.

“Saya akan mengikuti impian Razan mempelajari keperawatan dan memberikan perawatan kepada mereka yang membutuhkannya,” kata Rayan.

Rayan Al-Najjar, adik Razan Al-Najjar, perawat medis yang gugur oleh tembakan tentara Israel. (Foto: Abed Zagout)

Dirampas dari mimpi

Omar Abu Hashim memulai studinya di bidang teknologi informasi di Universitas College of Applied Sciences di Khan Younis bulan ini.

Itu bukan pilihan pertamanya. Dia lebih suka mengejar gelar arsitektur tetapi tidak mendapatkan nilai yang tepat di tawjihi untuk opsi itu.

“Saya selalu bermimpi menjadi seorang arsitek,” kata Omar yang berusia 18 tahun. “Tapi seorang sniper Israel merampas impianku.”

Penembak jitu Israel menembak kaki kiri Omar pada tanggal 14 Mei, hari ketika Israel melakukan pembantaian terhadap sekitar 60 demonstran yang tidak bersenjata di dekat pagar perbatasan Israel.

Omar bergabung dengan Great Return March di Rafah, sebuah kota di Gaza selatan.

Ibunya, Mirvat memintanya untuk tidak berpartisipasi dalam protes. Namun Omar bersikeras pergi, sambil berjanji bahwa ia akan menjauh dari perbatasan antara Gaza dan Israel

Kemudian dia berhasil mengamankan nilai rata-rata 55 persen.

“Bersikeras untuk menyelesaikan pendidikan saya adalah pesan kepada Israel bahwa kami tidak akan pernah menyerah,” katanya.

Ketika masa kuliah dimulai, banyak keluarga Palestina yang berduka bagi mereka yang terbunuh tanpa memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya.

Salwa Abd Al-Al baru-baru ini mengetahui bahwa putranya yang bernama Khaled, seorang anak berusia 17 tahun, telah meraih nilai rata-rata 51 persen di tawjihi. Dia merayakan kesuksesannya dengan menawarkan permen kepada tetangga di Rafah.

Namun, perayaan itu hanya simbolis. Khaled telah merencanakan untuk belajar hukum di Turki. Namun dia terbunuh pada 2 Juli, kurang sepekan sebelum hasil ujiannya dirilis.

Khaled termasuk di antara empat orang yang telah mengambil tindakan melawan pasukan pendudukan Israel pada hari itu.

Kelompok pemuda itu telah melanggar pagar perbatasan yang memisahkan Gaza dan Israel. Mereka kemudian membakar pos yang digunakan oleh penembak jitu Israel selama Great Return March.

Khaled ditembak mati oleh pasukan Israel. Dua dari tiga lainnya ditangkap, satu di antaranya terluka.

Pusat Hak Asasi Manusia Palestina melaporkan, seorang anak muda lainnya, seorang anak, juga terluka oleh peluru tajam tetapi berhasil melarikan diri dari tempat kejadian.

Jenazah Khaled belum dikembalikan ke keluarganya oleh otoritas penjajah Israel.

“Israel telah mencegah saya memeluk anak saya untuk terakhir kalinya,” kata ibunya, Salwa. “Dan itu membuatku berhenti melihat dia pergi ke universitas seperti teman-temannya.” (AT/RI-1/RS3)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.