Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior MIraj Islamic News Agency/MINA
Islam adalah agama terbesar yang diamalkan di Asia Tenggara, sekitar 240 juta orang atau 40 persen penduduknya menganut agama ini. Mayoritas muslim berada di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Kebanyakan umat Islam di Asia Tenggara tergolong dalam mazhab Sunah Waljamaah.
Namun, di negara-negara Asia Tenggara lainnya di mana penganut Islam adalah minoritas, agama ini berkembang lumayan bagus. Di Singapura misalnya, boleh dikatakan tidak ada hambatan, baik dari segi politik maupun birokratis. Muslim di Singapura sekira 15 persen dari jumlah penduduk, yaitu 650.000 orang.
Di negeri Singa ini ada sekitar 80 masjid dan pada 1 Juli 1968 dibentuk MUIS (Majelis Ulama Islam Singapura) yang mempunyai tanggung jawab atas aktivitas keagamaan, kesehatan, pendidikan, perekonomian, kemasyarakatan dan kebudayaan Islam.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Kondisi pendidikan masyarakat Islam di Singapura saat ini termasuk ketat dan cukup keras kepada para aktivis Islam. Mereka tak segan-segan mendeportasi mahasiswa Islam yang dinilai mempunyai komitmen terhadap perkembangan dakwah. Aktivitas keislaman di Singapura juga otomatis tidak banyak.
Dengan perkembangan seperti itu, sepertinya Islam di negeri ini awalnya tak bisa berkembang dengan pesat. Namun bukan berarti orang-orang Islam di sana berdiam diri, sehingga azan bisa berkumandang di Singapura. Perkembangan Islam di sana belakangan ini terus menunjukkan peningkatan cukup berarti.
Jumlah umat Islam yang lumayan banyak, menempatkan muslim Singapura, atau lebih dikenal sebagai muslim Melayu, pada urutan kedua setelah etnis Cina 77 persen, dan India 8 persen. Di tengah sistem kehidupan sekuler yang diterapkan pemerintah setempat, muslim Singapura terus berpacu meningkatkan kualitas diri, agar mampu berkompetisi dengan lajunya kemajuan zaman.
Dana bagi pengembangan masjid dan madrasah memiliki kas tersendiri, jadi tidak lagi diambil dari dana ZIS. Untuk madrasah ada kotak bernama “Dana Madrasah”, sedangkan dana masjid diperoleh dari sumbangan kaum muslim, khususnya kotak Jumat. Meski juga terkadang masih dapat bantuan dari dana ZIS wakaf.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Manajemen profesionalitas dalam pemberdayaan potensi dan peningkatan kualitas umat bukan hanya terlihat pada aspek ZIS wakaf, tapi juga dalam pengelolaan pendidikan (madrasah), masjid, dan lembaga-lembaga swadaya Islam non-pemerintah (NGO). Madrasah dikelola secara modern dan profesional, dengan kelengkapan perangkat keras dan lunak.
Pada enam madrasah Islam yang berada di bawah naungan MUIS, sistem pendidikan diterapkan dengan memadukan ilmu agama dan ilmu umum. Keenam madrasah itu adalah Al-Irsyad Al-Islamiah, Al-Maarif Al-Islamiah, Alsagoff Al-Islamiah, Aljunied Al-Islamiah, Al-Arabiah Al-Islamiah, dan Wak Tanjong Al-Islamiah.
Agar tidak ketinggalan kemajuan teknologi, maka di setiap madrasah dibangun laboratorium komputer dan internet, serta sistem pendukung pendidikan audio conference. Murid dibiasakan dengan teknologi, setiap hari, mereka diberi waktu dua jam untuk aplikasi dan pemberdayaan internet. Sayangnya, pendidikan Islam baru ada dalam institusi TK hingga madrasah Aliyah.
Di negara ini pengurus masjid digaji khusus, dan memiliki ruangan pengurus eksekutif laiknya perkantoran modern. Keberadaan lembaga swadaya masyarakat Islam (LSM) juga tak kalah pentingnya dalam upaya menjadikan muslim dan komunitas Islam negeri itu potret yang maju dan progresif.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Menyadari hal ini, pemerintah dan tokoh-tokoh Islam di Singapura mengadakan berbagai upaya peningkatan berbagai aspek, sehingga pada saat ini masyarakat muslim Singapura sudah banyak yang berpendidikan formal dan bahkan ada pula yang mendapatkan gelar Ph.D.
Islam di Thailand
Agama Islam masuk ke Thailand dengan melalui Kerajaan Pasai (Aceh). Saat ditaklukan Thailand, raja Zainal Abidin dan orang-orang Islam banyak yang ditawan. Setelah membayar tebusan mereka dikeluarkan dari tahanan dan para tawanan tersebut ada yang pulang dan ada juga yang menetap di negeri Gajah Putih itu sambil menyebarkan agama Islam.
Ketika raja Thailand menekan Sultan Muzaffar Syah (1424-1444) dari Malak agar tetap tuduk kepada Thailand dengan membayar upeti sebanyak 40 tahil emas per tahun ditolaknya, kemudian Raja Pra Chan Wadi menyerang Malaka, tetapi penyerangan tersebut gagal. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1444-1477) tentara Thailand di Pahang dapat dibersihkan.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Wakil Raja Thailand yang bernama Dewa Sure dapat ditahan, tetapi dia diperlakukan dengan baik. Bahkan, puterinya diambil istri oleh Mansyur Syah untuk menghilangkan permusuhan antara Thailand dengan Malaka. Akhir-akhir ini, muslim Pattani cukup lama mendapat tekanan dan penindasan dari rezim Bangkok yang memeluk agama Budha
Thailand biasa disebut juga Muangthai, atau Siam, terletak di utara Malaysia. Thailand berarti negeri yang merdeka, karena memang merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tak pernah dijajah oleh kekuasaan barat atau negara lain. Di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Budha, terdapat lebih dari 10 persen umat muslim dari seluruh populasi 67 juta orang.
Penduduk muslim Thailand sebagian besar berdomisili di bagian selatan negeri itu seperti di propinsi Pha Nga, Songkhla an Narathiwat yang dalam sejarahnya adalah bagian dari Daulah Islamiyyah Pattani. Dengan jumlah umat minoritas ini, walau menjadi agama kedua terbesar setelah Budha, umat Islam Thailand sering mendapat serangan dari umat Budha garis keras, intimidasi, bahkan pembunuhan massal.
Islam sendiri, setelah mengalami konflik yang berkepanjangan, akhirnya menemui titik kemajuan. Pemerintah memahami betul bahwa upaya untuk menciptakan perdamaian dengan kekuatan militer tidak membuahkan hasil, bahkan memperparah keadaan dan melahirkan perlawanan.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Akhirnya pemerintah/kerajaan, memberi kesempatan kepada warga muslim untuk beribadah dan menganut kepercayaan masing-masing. Bahkan, Raja Thailand juga menghadiri perayaan acara dan hari-hari penting dalam Islam. Pemerintah juga memperbolehkan warga muslim Thailand untuk menyelenggarakan pendidikan Islam.
Kesempatan ini tidak dilewatkan oleh umat Islam. Proses pendidikan Islam di Thailand sudah mengalami perkembangan dan kemajuan. Hal itu bisa kita lihat dari kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh beberapa lembaga Islam. Pemerintah Thailand membantu penerjemahan Al Quran ke dalam bahasa Thai, juga membolehkan warga muslim mendirikan masjid dan sekolah muslim.
Ada sekitar 2000 masjid dan 200 sekolah muslim di Thailand. Program pengembangan pendidikan Islam di sana sudah mencapai level dunia, mereka mengirimkan kader-kadernya ke berbagai universitas dunia, seperti Al Azhar Mesir dan Madinah. Juga beberapa universitas tanah air, seperti UII, UIN dan Universitas Muhammadiyah serta ke Gontor.
Pusat dakwah Islam terbesar di Bangkok terletak di Islamic Center Ramkamhaeng. Hampir semua aktifitas keislaman mulai dari pengajian, layanan pernikahan, serta makanan halal dapat ditemukan. Salah satu orang yang berjasa di bidang sertifikasi makanan halal adalah Winai Dahlan (cucu dari KH Ahmad Dahlan), yang sudah puluhan tahun tinggal dan menjadi warga Thailand, dan menjabat direktur dari Halal Science Center di Universitas Chulalongkorn.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Muslim di Filipina adalah minoritas dan nasib mereka sekarang sangat memprihatinkan karena mendapat gangguan, tekanan bahkan pembasmian dari pihak-pihak yang memusuhinya. Hingga kini muslim Moro terus berjuang untuk memperoleh otonomi karena mereka selalu ditindas dan diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh pemerintah Manila.
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina pada 4 Juli 1946 dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki makna bagi bangsa Moro, karena penjajah pertama (AS) ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun, belakangan ini perjuangan Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya perlawanan yang lebih terorganisir dan maju seperti MIM (Mindanao Independece Movement), MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF.
Sayangnya di saat yang sama, merupakan masa terpecahnya kekuatan bangsa Moro yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan. Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986). Dibandingkan dengan masa pemerintahan dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos, maka periode pemerintahan Marcos merupakan yang paling represif bagi bangsa Moro.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Pembentukan MIM pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) tahun 1971 tidak terlepas dari sikap politik Marcos. Perkembangan berikutnya, MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah dalam dua kelompok.
Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nur Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler dan kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Hashim Salamat, seorang ulama pejuang yang murni berideologikan Islam serta bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan.
Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF terpecah kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Syayaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan bangsa Moro dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapai Moro.
Tahun 1996 perundingan damai antara Filipina dengan MNLF menghasilkan Kawasan Otonomi Muslim Mindanao (ARR) yang dipimpin Nur Misuari sebagai gubernur. MNLF sempat berjaya menyatukan bangsa Moro melalui pimpinan Nur Misuari. Namun, penyatuan ini hanya sebentar akibat perselisihan dengan para pemimpin berhaluan kanan.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari dengan Fidel Ramos pada 30 Agustus 1996 di Jakarta lebih menunjukkan ketidak-sepakatan Moro dalam menyelesaikan konflik yang sudah berlangsung lama itu.
Di satu pihak mereka menghendaki penyelesaian konflik dengan cara diplomatik (diwakili oleh MNLF) dan di pihak lain menghendaki perjuangan bersenjata/jihad (diwakili MILF). Semua pihak memandang caranyalah yang paling tepat dan efektif. Namun Ramos waktu itu memilih salah satu di antara mereka walaupun dengan penuh risiko. (RS1/P1)
Dari berbagai sumber
Miraj Islamic News Agency/MINA
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu