Kaya bukan soal harta yang menumpuk atau gemerlap yang tampak. Kaya yang sejati adalah ketika hati tenang dan lapang, menerima apa yang ada sebagai karunia dari Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sejati adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bagi mereka yang memahami, kecukupan bukan terletak pada materi, tetapi pada rasa syukur yang terus mengalir dalam diri.
Tidak sedikit orang yang hidup dalam kekurangan tetapi tetap memiliki ketenangan batin. Sebab, ia tahu bahwa hartanya adalah iman dan taqwa. Bahkan, ketika Rasulullah ditanya, “Ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapakah orang yang paling kaya?” Beliau menjawab, “Orang yang ridha terhadap apa yang Allah bagikan untuknya.” (HR. Muslim). Dalam kekurangan, ada kekayaan besar yang Allah tanamkan bagi mereka yang ridha.
Hidup memang tidak selalu mudah. Ada cobaan, ada kekurangan, tetapi Allah tidak membiarkan hamba-Nya begitu saja. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, semua urusannya adalah kebaikan. Jika mendapat kebaikan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika tertimpa kesulitan, ia bersabar, maka itu pun baik baginya.” (HR. Muslim). Ini adalah kekayaan yang tidak ternilai; hati yang kuat dalam iman, yang memandang kesulitan sebagai ujian untuk mendekat pada-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan untuk selalu bersyukur dalam setiap keadaan. Kita diajari untuk memandang apa yang kita miliki, bukan meratapi yang tiada. Ketika bersyukur, apa yang sedikit terasa cukup, dan apa yang cukup menjadi berlebih. Allah berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7). Maka, jadikan syukur sebagai harta berharga yang selalu kita simpan dalam hati.
Baca Juga: Zona Nyaman
Seseorang yang miskin harta tetapi kaya hati tidak akan terikat pada dunia. Mereka sadar bahwa dunia ini hanyalah tempat singgah sementara. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan, “Hiduplah di dunia seakan-akan kamu adalah orang asing atau seorang musafir.” (HR. Bukhari). Sebab, orang yang memiliki kaya hati tahu bahwa dunia ini tidak seberapa dibandingkan dengan akhirat yang kekal.
Menjadi miskin atau kaya bukanlah penentu kualitas iman seseorang. Banyak orang yang hidup sederhana, tetapi hatinya penuh dengan ketenangan. Rasulullah pernah memilih hidup sederhana meskipun memiliki kesempatan untuk hidup mewah. Dalam kesederhanaan, kita bisa merasakan kebersihan hati dan jiwa yang tidak terikat dengan beban dunia.
Orang yang kaya hati tidak pernah ragu untuk berbagi meski ia tidak memiliki banyak. Dalam keterbatasannya, ia selalu punya ruang untuk menolong yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Thabrani). Keikhlasan untuk berbagi tanpa pamrih adalah tanda kekayaan sejati yang tidak akan habis.
Semua harta yang kita miliki akan kita tinggalkan, kecuali amal. Maka, mereka yang kaya hati menjadikan amal sebagai kekayaan yang akan dibawa ke akhirat. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang mengerjakan amal baik sebesar zarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya.” (QS. Az-Zalzalah: 7). Amal kebaikan inilah yang menjadi kekayaan hakiki bagi mereka yang tidak memiliki banyak di dunia.
Baca Juga: Etos Kerja
Hidup miskin di dunia bukan berarti kita akan kekal dalam kekurangan. Sesungguhnya, Allah menyimpan kekayaan yang luar biasa bagi orang-orang yang bersabar dan ikhlas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang terakhir kali masuk surga, ia tetap akan mendapatkan apa yang dia inginkan dan sepuluh kali lipatnya dari dunia.” (HR. Muslim). Maka, jadilah miskin harta tetapi kaya iman, sebab kekayaan akhirat telah Allah sediakan bagi mereka yang senantiasa bertakwa.
Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang kaya hati, kaya iman, dan kaya di akhirat.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Man Jadda Wa Jada