ISTILAH “ijazah” dalam tradisi keilmuan Islam merujuk pada sebuah bentuk pengakuan atau izin formal yang diberikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk mengajarkan atau meriwayatkan ilmu tertentu.
Tradisi ini muncul jauh sebelum sistem pendidikan formal Barat mengenal konsep gelar akademik seperti sarjana atau doktor.
Kata “ijazah” berasal dari bahasa Arab “ijāzah” (إِجَازَة), yang berarti izin atau otorisasi. Dalam konteks keilmuan Islam, ijazah merupakan bukti yang menerangkan seorang murid telah menyelesaikan studi atas suatu teks atau disiplin ilmu tertentu di bawah bimbingan langsung seorang guru, dan kini diizinkan untuk mengajarkannya kepada orang lain.
Ibn Manzur, dalam kitabnya Lisan al-Arab menyebutkan bahwa kata Ijazah bersumber dari bahasa Arab yakni dari kata dasar ajaza yang bermakna ‘duduk di kursi’. Sementara, Imam an–Nawawi di dalam kitabnya at–Taqrib wa at–Taysir li Ma’rifati Sunan al–Bashir al–Nazir menyatakan bahwa kata dasar Ajaza bermakna ‘air’; yang digunakan untuk mengairi sawah atau untuk menghilangkan dahaga.
Baca Juga: Al-Quds dalam Catatan Sejarah Islam
Sementara itu, al–Fayruzabadi di dalam al–Qamus al–Muhit menyatakan bahwa arti kata dasar ajaza tersebut adalah mengesahkan atau memberikan hak pada seseorang. Sedangkan secara istilah, ijazah, menurut Ibn Manzur adalah hak yang diberikan untuk meligitimasi ilmu yang telah dipelajarinya.
Imam an-Nawawi menyatakan bahwa pada dasarnya seorang mahasiswa meminta ijazah dari profesornya untuk menghilangkan dahaganya akan ilmu pengetahuan. Sedangkan al-Fayruzabadi menambahkan tentang hak yang diberikan tersebut adalah hak untuk mengajar.
Tradisi ini mulai dikenal sejak abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, bertepatan dengan masa keemasan peradaban Islam. Sistem ini berkembang pesat terutama dalam bidang hadis, fiqh, tafsir, dan bahasa Arab, di mana otentisitas dan transmisi ilmu secara lisan sangat dijaga.
Pendidikan dalam dunia Islam klasik bersifat personal, berbasis pada hubungan antara guru dan murid. Seorang pelajar harus duduk di majelis ilmu, mendengar penjelasan, mencatat, dan mendiskusikan materi langsung dengan gurunya. Setelah guru merasa bahwa murid tersebut benar-benar menguasai materi, barulah diberikan ijazah.
Baca Juga: Ka’bah di Hati, Ketika Rindu Tak Terobati, Doa Tak Pernah Henti
Jenis ijazah bisa bermacam-macam, antara lain Ijazah bi riwāyah: izin untuk meriwayatkan suatu teks atau hadis. Ijazah bi dirāyah: izin mengajar berdasarkan pemahaman dan keilmuan. Ijazah ‘āmmah dan khāssah: izin umum untuk semua orang, atau khusus hanya untuk individu tertentu.
Ijazah biasanya berbentuk dokumen tertulis yang mencantumkan nama guru, murid, teks atau ilmu yang dikuasai, serta rantai transmisi keilmuan (sanad). Dokumen ini menjadi semacam sertifikat keilmuan yang sah, dan bisa dibawa oleh sang pelajar ke tempat lain untuk mengajar atau melanjutkan studi.
Sistem ijazah memungkinkan para pelajar untuk bepergian ke berbagai kota dan negeri demi menimba ilmu dari para ulama terkemuka. Ijazah yang mereka bawa menjadi semacam paspor intelektual, membuktikan keabsahan keilmuan mereka di hadapan komunitas ulama lainnya.
Sebagai contoh, ulama besar seperti Imam al-Bukhari dan Imam an-Nawawi menghabiskan bertahun-tahun melakukan rihlah (perjalanan ilmiah), mengumpulkan ijazah dari berbagai guru untuk membentuk koleksi hadis yang sahih.
Baca Juga: Menapaki Jejak Nabi, Haji Sebagai Perjalanan Jiwa Menuju Allah
Banyak sejarawan mencatat bahwa sistem ijazah dalam Islam memberikan inspirasi bagi sistem gelar akademik di Eropa. Universitas-universitas awal di Eropa seperti Bologna dan Paris pada abad ke-12-13 mulai mengadopsi konsep sertifikasi guru kepada murid berdasarkan standar keilmuan, yang pada dasarnya mirip dengan sistem ijazah Islam.
Tradisi ijazah menunjukkan betapa seriusnya peradaban Islam klasik dalam menjaga otentisitas dan kualitas transmisi ilmu. Tradisi ini pula yang akan menutup praktik curang dalam sistem pendidikan Islam, yaitu keluarnya Ijazah Palsu.
Ijazah tidak hanya berfungsi sebagai pengakuan akademik, tetapi juga sebagai jembatan spiritual dan intelektual antara generasi. Hingga kini, praktik pemberian ijazah masih dilestarikan di berbagai pesantren, madrasah, dan halaqah ilmu di dunia Islam.
Penganugrahan ijazah itu dilakukan setelah melalui ujian-ujian tertentu dan oleh guru dinyatakan lulus. Seorang mahasiswa yang telah memiliki ijazah berarti yang bersangkutan telah diberi mandat (hak) untuk menyampaikan apa yang telah dipelajari dari Perguruan Tinggi tertentu.
Baca Juga: Pemimpin Hebat Dibentuk dari Proses Pembelajaran Panjang
Banyak sejarawan mencatat bahwa sistem ijazah dalam Islam menjadi model bagi munculnya sistem gelar akademik di Eropa, seperti di Universitas Bologna dan Paris pada abad ke-12 dan ke-13. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh sistem pendidikan Islam terhadap perkembangan peradaban dunia.
Hingga hari ini, ijazah tetap memiliki tempat istimewa dalam institusi pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah, dan halaqah.
Ijazah bukan hanya menjadi simbol kelulusan, tapi juga harga diri dan warisan spiritual dan intelektual yang menyambung mata rantai ilmu dari generasi ke generasi. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Meluruskan Kembali Makna “Berjama’ah”
Baca Juga: Mensyukuri Rezki dari Allah dengan Berqurban