Magelang, MINA – Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma) terus berupaya meningkatkan kesejahteraan petani dan mendukung kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau untuk mengurangi konsumsi rokok oleh masyarakat dan menekan prevalensi merokok pada anak-anak dan remaja.
“Naiknya tarif cukai tembakau dinilai dapat menekan angka perokok anak. Tentunya kebijakan Pemerintah membuat harga rokok semakin mahal, salah satunya agar anak-anak tidak bisa membelinya. Walaupun ini bukan satu-satunya faktor, kata Peneliti MTCC Unimma Heniyatun dalam konferensi pers yang digelar secara luring dan daring dengan tema “Dukungan dan Harapan Petani Tembakau Terhadap Kenaikan Cukai Rokok dan Pemanfaatan untuk Kesejahteraan Petani,” Rabu (8/12).
Kegiatan tersebut dilaksanakan luring di Kedai Kopi Benem, Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Diskusi di lereng gunung Merbabu tersebut menghadirkan narasumber para petani dari beberapa daerah. Yaitu Istanto sendiri (Magelang), Yamidi dan Tohar (Temanggung), Asnawi (Jawa Timur), dan Latif (Nusa Tenggara Barat).
Selama tahun 2013 sampai dengan 2018, harga rokok semakin mahal. Di tahun 2019, harga rokok menjadi relatif lebih murah (terhadap pendapatan) karena tidak ada kenaikan tarif cukai dan menyebabkan produksi rokok meningkat hingga 7,3%.
Heniyatun juga menilai, masih tingginya prevalensi perokok anak dan remaja di Indonesia di mana prevalensi merokok pada anak dan remaja meningkat dari 7,2% tahun 2013 menjadi 9,1% tahun 2018, data dari Riskesdas. Angka tersebut jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang menargetkan perokok anak turun hingga 5,4% di tahun 2019.
Terkait RPJMN, pada Arah Pembangunan Nasional RPJMN 2020-2024 disebutkan bahwa Pembangunan SDM akan dilakukan dengan menjamin kesehatan ibu hamil, kesehatan bayi, balita, dan anak sekolah, penurunan stunting-kematian ibu-kematian bayi.
Selain itu, perilaku merokok juga merupakan salah satu penyumbang pembengkakan defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain karena dana JKN jadi tersedot lebih banyak untuk penanganan penyakit akibat rokok, sebuah penelitian menyatakan bahwa keluarga perokok memiliki kepatuhan membayar iuran JKN yang lebih rendah. Sebanyak 21% dari kasus penyakit kronis di Indonesia diakibatkan oleh rokok dan menimbulkan beban ekonomi sebesar USD 1,2 miliar/tahun.
Sementara itu, Ketua Forum Petani Multikultur Indonesia (FPMI) Istanto juga merespon positif kebijakan pemerintah terkait kebijakan menaikan cukai hasil tembakau. Petani mengapresiasi kebijakan cukai Pemerintah yang mulai 2018 terjadi setback, setelah tidak menaikkan cukai rokok selama 2015-2017, pada 2017, kenaikan cukai rokok hanya 10,14 persen. Pada 2020, tarif cukai dinaikkan.
Baca Juga: Sertifikasi Halal untuk Lindungi UMK dari Persaingan dengan Produk Luar
FPMI juga sangat mengapresiasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7 Tahun 2020 tentang penggunaan, pemantauan dan evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) – dimana pemerintah menetapkan 50% alokasi DBH CHT untuk kesejahteraan masyarakat, 25% untuk penegakan hukum dan 25 % untuk kesehatan masyarakat.
Istanto mengharapkan, CHT ini harus lebih berorientasi pada pengendalian atau pembatasan konsumsi rokok dan upaya peningkatan kesejahteraan petani.
Sebelumnya, pemerintah akan mengumumkan besaran kenaikan tarif cukai rokok tahun 2022 pada pekan depan. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Selasa (30/11/2021). Sampai saat ini, aturan terkait sedang diharmonisasi oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Besaran kenaikan tarif cukai rokok 2022 akan bervariasi. Ia menyebut ada jenis rokok yang dibanderol single digit dan lainnya double digit.(L/R1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Menko Budi Gunawan: Pemain Judol di Indonesia 8,8 Juta Orang, Mayoritas Ekonomi Bawah