Jakarta, 17 Muharram 1435/10 November 2014 (MINA) – Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim mengatakan, pelaksanaan Jaminan Produk Halal dalam UU N0. 33 Tahun 2014 harus komprehensif tidak hanya melaksanakan sertifikasi halal saja tetapi memerlukan aspek pengawasan, penindakan dan perdagangan.
“JPH itu adalah sifatnya integratif dan makro, maka harus melibatkan berbagai elemen di pemerintah sehingga Badan JPH tidak cukup di bawah satu kementerian, idealnya ada di bawah Presiden,” kata Lukman dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VIII DPR RI dengan LPPOM MUI di Gedung DPR Senayan Jakarta, Senin.
Peran MUI selama ini dalam pelaksanaan JPH hanya di proses sertifikasi halal, penetapan standar halal, pemeriksaan produk halal, penetapan fatwa, penerbitan sertifikasi halal, dan kerjasama dengan Lembaga Halal Internasional.
Lukman menyatakan dalam RDPU itu, pihaknya mengaku kurang puas dengan isi dari Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) No 33. “MUI merasa isi undang-undang tersebut mengintervensi MUI, karena dalam Komisi Fatwa MUI harus ada keterlibatan instansi pemerintah dan ilmuwan.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Selain itu, dalam undang-undang menyebutkan agar Lembaga Pemerikasa Halal (LPH) dibuka baik dari pemerintah mau pun perguruan tinggi negeri dan swasta. “Undang-undang ini lebih pada terjadi perubahan alur sertifikasi halal dan penggembosan terhadap MUI,” tegas Lukman.
Dia mengatakan, sertifikasi halal berbeda dengan sertifikasi mutu, sejatinya adalah penetapan hukum dari para ulama.
Dia menuturkan, satu sisi UU JPH ini memiliki sisi positif yang diapresiasi MUI yaitu adanya kepastian hukum bahwa produk yang beredar di Indonesia harus halal serta ada sangsi-sangsi bagi pelanggaran pada pelaksanaan Jaminan Produk Halal.
Setelah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR-RI pada 25 September 2014, Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) telah disahkan oleh Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 17 Oktober 2014. Selanjutnya, pada hari yang sama, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II Amir Syamsudin telah mengundangkan UU tersebut sebagai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
Dalam UU yang terdiri atas 68 pasal itu ditegaskan, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH).
Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH itu, menurut UU ini, dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ((BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.
Transisi
Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum UU ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berlaku. Dan sebelum BPJPH dibentukm pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku sebelum UU ini diundangkan.
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
UU ini juga menegaskan, bahwa MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.
“BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan,” bunyi Pasal 64 UU No. 33/2014 itu.
Adapun peraturan pelaksanaan UU ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan. “UU ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 68 UU yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin pada 17 Oktober 2014 itu.(L/R05/P2)
Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)