Jakarta, MINA – Menurut Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan Keputusan Menteri Agama (KMA) 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal di Indonesia, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) berperan sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang bertugas dalam melakukan pemeriksaan terhadap kehalalan suatu produk dari sisi ilmiah.
Hasil pemeriksaan akan dilaporkan pada sidang Komisi Fatwa MUI untuk dijadikan dasar dalam penentuan status kehalalan produk tersebut. Komisi Fatwa MUI inilah yang menentukan status hukum pada produk tersebut.
Ketetapan Halal MUI yang dikeluarkan MUI merupakan Fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI, melalui keputusan sidang Komisi Fatwa, yang menyatakan kehalalan suatu produk, berdasarkan proses audit yang dilakukan oleh LPPOM MUI.
Seperti diketahui MUI telah berkiprah selama 31 tahun dalam sertifikasi halal di Indonesia. MUI melalui LPPOM MUI melakukan pemeriksaan dan pengkajian terhadap produk-produk yang dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini untuk menenteramkan konsumen, khususnya muslim di Indonesia.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Dalam bukunya, Fatwa Produk Halal, Melindungi & Menenteramkan Dr. KH. Ma’ruf Amin Wakil Presiden. Ketetapan fatwa dan tanda atau label halal tidak boleh dibuat sendiri secara individual ataupun oleh pihak produsen karena merupakan ketetapan agama. Hanya pihak yang memiliki pemahaman agama dan otoritas keagamaan yang shahih yang boleh menetapkannya.
Direktur LPPOM MUI, Dr. Lukmanul Hakim mengungkapkan bahwa MUI merupakan satu-satunya lembaga yang menetapkan kehalalan suatu produk melalui gabungan dua pendekatan, yakni sains dan syariah. Dari sisi sains, dilakukan oleh LPPOM MUI, dan sisi syariah ditetapkan melalui Komisi Fatwa MUI.
Berdasarkan UU JPH dan KMA982, LPPOM MUI mempunyai peran sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang melakukan pemeriksaan terhadap kehalalan suatu produk dari sisi ilmiah. Hasil pemeriksaan tersebut, kemudian dilaporkan pada rapat auditor untuk dievaluasi apakah ada kontaminasi bahan non halal atau najis.
Jika tidak, maka hasil tersebut kemudian dilaporkan pada sidang Komisi Fatwa MUI untuk ditentukan status dari produk tersebut apakah halal sesuai syariat Islam atau tidak. Komisi Fatwa MUI inilah yang menentukan status hukum pada produk tersebut.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
Pendekatan Ilmiah (Sains) oleh LPPOM MUI
Pemeriksaan ilmiah (sains) LPPOM MUI dilakukan oleh auditor-auditor halal yang profesional dan terpercaya. Hingga Agustus 2020, LPPOM MUI diperkuat lebih dari 1.000 auditor halal dari berbagai latar belakang pendidikan. Diantaranya teknologi pangan, kimia, biokimia, teknologi industri, biologi, farmasi.
Adapun profesi auditor halal LPPOM MUI berasal dari kalangan profesional maupun civitas akademika yang berpengalaman dan tersebar di berbagai tempat. Baik di LPPOM MUI pusat, maupun di 38 kantor perwakilan yang terdiri dari 34 provinsi di Indonesia dan 4 kantor di China, Korea, dan Taiwan. Bahkan, lebih dari 124 auditor telah mempunyai Sertifikat Komptetensi Kerja Profesi Auditor Halal dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Pendekatan Syariah, Penentukan Fatwa Halal oleh Komisi Fatwa MUI
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
Sementara dari sisi syariah, ketetapan hukum kehalalan dilakukan Komisi Fatwa MUI. Fatwa merupakan istinbath hukum kontemporer dalam ranah agama. Yakni fatwa sebagai hasil ijtihad para ulama yang ahli atas fenomena hukum yang tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Digali berdasarkan kedua sumber utama syariah tersebut, serta Ijma’ Ulama Salafus-Sholih.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal MUI Bidang Fatwa Drs. KH. Sholahuddin Al Aiyub halal termasuk dalam terminologi agama dan hukum. Penetapan suatu produk halal atau haram, hanya bisa dilakukan oleh orang yang berkompeten.
Dalam sertifikasi halal, kewenangan penetapan hukum kehalalan produk atau fatwa harus diberikan kepada lembaga yang kompeten, yakni Komisi Fatwa MUI.
“Fiqih yang digunakan adalah fiqih qadha’i yang bersifat final dan binding serta sudah pada level aturan negara. Sehingga, sudah tidak dibolehkan adanya perbedaan pendapat. Artinya, kewenangan tidak bisa dibagikan kepada siapa pun. Meski acuannya sama, namun kalau penetapan fatwanya berbeda itu juga tidak bisa,” jelas Aiyub.
Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal
Inilah yang menjadi alasan kuat secara fiqih, mengapa penetapan fatwa harus dilakukan oleh MUI. Sebagaimana kita ketahui bahwa MUI merupakan tempat bernaungnya ormas-ormas Islam. Para ulama, zuama dan cendekiawan muslim dari Nahdhlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Matlaul Anwar dan 59 Ormas Islam lainnya hingga Persatuan Umat Islam berkumpul di MUI. (A/R4/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: BPJPH, MUI Tuntaskan Nama Produk Bersertifikat Halal