Oleh: Agus Zaenal Asikin, penulis lepas online
Jamaah Muslimin (Hizbullah) secara terus-menerus mendakwahkan al-Jamaah/Khilafah sejak 1953 M (1372 H), kemudian menegakkan Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwwah (Khilafah di atas manhaj kenabian) dalam kehidupan berjamaah, yaitu hidup bermasyarakat dalam melaksanakan Islam dengan bersatu di bawah satu kepemimpinan seorang imam untuk selamanya.
Setelah menyimpulkan belum ada kekhilafahan di seantero jagad ini, seruan menegakkan khilafah dikumandangkan ke dunia Islam pada musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi pertama di Jakarta, 1956 M.
Namun seruan Jamaah Muslimin (Hizbullah) tidak disambut oleh Muslimin di Indonesia dan dunia Islam, di tambah “suhu politik” di Indonesia menurun sehingga penekanan-penekanan terhadap Muslimin mulai mengendur.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Kaum Muslimin dulunya acuh tak acuh dan menganggap Jamaah Muslimin (Hizbullah)/Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwwah itu sebagai himpunan yang tidak masuk akal, diejek-ejek sebagai “kembali ke jaman onta” dan sebagainya.
Namun kini, mulailah muncul jamaah-jamaah baru, “kami jamaah ini, kami jamaah Muslimin ini, kami khilafah ini”.
Jamaah-jamaah atau jamaah Muslimin dan khilafah-khilafah yang timbul belakangan pada tahun 1980-an, jauh setelah “ditetapi” dan diamalkannya Jamaah Muslimin (Hizbullah) sebelumnya, ada yang diantaranya bermotifkan politik sehingga mencemari hakekat dari jamaah atau khilafah itu.
Diantara mereka yang mendirikan jamaah dan khilafah tandingan yang baru, ada yang berasal dari Jamaah Muslimin (Hizbullah) sendiri. Karena suatu sebab, oknum tersebut keluar (kharaj) dari Jamaah Muslimin (Hizbullah) dan membuat kepemimpinan baru dengan nama baru.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Demikian pun sebutan-sebutan khilafah yang muncul dari kalangan kaum Muslimin, setelah jauh sebelumnya Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwwah telah diwujudkan dalam kehidupan ber-jamaah imamah (melaksanakan Islam dibawah satu kepemimpinan seorang imam) oleh Jamaah Muslimin (Hizbullah). Padahal, di kalangan kaum Muslimin tidak boleh ada dua Jamaah Muslimin dalam satu masa, harus satu.
Mungkin sekali, bila Jamaah Muslimin yang pertama sejak 1953 M tidak menyatakan penegasannya sebagai “Hizbullah”, maka dapat dibayangkan betapa kaburnya pengertian Jamaah Muslimin itu, karena lahirnya jamaah-jamaah Muslimin baru belakangan itu merupakan hasil dari “plagiat”.
Akibat menjamurnya jamaah-jamaah dan khilafah-khilafah baru, maka keruhlah pengertian sebenarnya apa yang dimaksud dengan jamaah dan khilafah yang sebenarnya. Terlebih, jamaah dan khilafah itu dikait-kaitkan pada politik, padahal Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk hidup berjamaah bukan dimaksudkan untuk tujuan-tujuan ideologi dan politik, tetapi hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perintah berjamaah itu sama seperti perintah shalat, zakat, puasa dan sebagainya. Hanya, jika shalat itu merupakan ibadah yang langsung sebagai tata cara menyembah Allah, dan zakat sebagai pembersih harta Muslimin, maka jamaah adalah menyangkut kemasyarakatan Islam, “masyarakat wahyu”, wadah pemersatu Muslimin, tetapi semuanya itu adalah ibadah.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Jamaah bukan untuk mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya yang kemudian dengan kekuatan massa itu memaksakan kehendak. Bukan untuk mendirikan negara Islam. Islam itu agama yang bersifat universal, mendunia, rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam). Sedangkan negara, suatu tatanan dari masyarakat politik, bukan “masyarakat wahyu”, dan negara memiliki batas-batas territorial.
Islam rahmatan lil alamin, Islam tidak terbatas-batas pada negara-negara. Sebutan “Negara Islam” itu sangat mengecilkan dan melecehkan pengertian Islam yang sangat luas.
Islam adalah ciptaan Allah, Al-jamaah juga ciptaan Allah. Sedangkan negara adalah ciptaan manusia, berasal dari pemikiran para filosuf Yunani kuno seperti Heraclitus, Democritus, dan Eficur. Ketiganya adalah failasuf Maddy atau Meterialistis (faham kebendaan). Mereka tidak percaya adanya Tuhan, tapi mempercayai adanya Law of Nature (undang-undang alam yang tetap).
Disamping tiga failasuf tadi, termasyur pula nama tiga jago falsafat idealisme, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles (Mohd, Noerman, Islam dan Comunisme, Majalah AL-ISLAM, No 5 halaman 35/Th,ke 2 hal,37/825 – 38/826). Dari merekalah asal mulanya ada polis, politea, politik dan negara. Mereka menjadi kiblat bagi Dunia Barat penyembah berhala dan kemudian menganut Kristen Katolik dan Protestan melalui Imperium Romawi yang beralih dari menyembah dewa menjadi pemeluk Kristen.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Meskipun demikian, terlepas dari usaha-usaha plagiat dan maksud-maksud terntentu, dengan lahirnya jamaah-jamaah atau khilafah-khilafah baru itu, telah memperlihatkan kemajuan cara berpikir Muslimin, yang tadinya menolak jamaah dan khilafah yang didakwahkan oleh Jamaah Muslimin (Hizbullah) sejak 1953 M, menjadi mengaku “kami jamaah ini, kami khilafah ini”. Bagi yang sadar dan takut kepada Allah, dengan sendirinya yang datang belakangan mestinya mengikuti yang lebih dulu.
Hanya karena izin, karunia dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Jamaah Muslimin (Hizbullah) terus berjalan sejak1953 hingga kini dan seterusnya. Jaminannya adalah jaminan Allah.
Apa yang dikehendaki Allah terjadi, pasti terjadi. Dan apa yang tidak dikehendaki Allah, pasti tidak akan terjadi. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan izin Allah.
Jamaah Muslimin (Hizbullah) terus berjuang untuk Allah, karena Allah, dengan Allah, bersama kaum Muslimin menuju ridha Allah. Jamaah Muslimin (Hizbullah) tidak menumpuk dalil-dalil Al-Quran dan Al-Hadist, tetapi berusaha sungguh-sungguh mengamalkannya dan terus beramal saleh, membina kaum Muslimin yang ridha dibina oleh Allah, beramal saleh bagi kemanusiaan, mewujudkan akhlak mulia menurut Al-Quran dan Al-Hadist, memberikan pertolongan dan bantuan kepada siapa pun dalam kebaikan dan takwa tanpa mengharapkan upah, hanya karena Allah.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Jamaah Muslimin (Hizbullah) tidak mencampuri urusan-urusan bersifat politis, apalagi bercita-cita membuat Negara Islam, karena Jamaah Muslimin (Hizbullah) itu non politik, Jamaah Muslimin (Hizbullah) lahir dari kandungan Islam, yang non politik.
Islam ciptaan Allah yang dibawa oleh Rasul-Nya, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia agar mereka selamat, rukun dan damai, sebagaimana Islam itu sendiri adalah dinullah, agama keselamatan dan kedamaian penuh dengan rahmat Allah.
Jamaah Muslimin (Hizbullah) tidak mengkehendaki adanya pertikaian, persengketaan, dan permusuhan di kalangan kaum Muslimin. Jamaah Muslimin (Hizbullah) memandang semua kaum Muslimin adalah bersaudara, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa orang-orang beriman itu adalah bersaudara.
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Qs. Al-Hujurat [49] ayat 10).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Dan umat Muhammad Rasulullah itu adalah bersikap kasih sayang, saling mengasihi antara sesama mereka. Bukanlah umat Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kalau ummat itu tidak saling berkasih sayang di antara mereka.
“Muhammad itu adalah Rasul Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tanpak pada muka mereka dari bekas sujud.” (Qs. Al-Fath [48] ayat 29). (T/P001/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)