Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Muslim Amerika dan Islamophobia, Oleh: Shamsi Ali

sajadi - Kamis, 16 Maret 2023 - 00:09 WIB

Kamis, 16 Maret 2023 - 00:09 WIB

2 Views

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, New York

Isu Islamophobia bukan lagi hal baru dan telah berkali-kali disampaikan dalam berbagai kesempatan, baik melalui ceramah-ceramah, seminar dan konferensi, maupun tulisan-tulisan di berbagai media. Isunya memang selalu ada (eksis) dan nyata (real). Bahkan terasa tidak pernah terhenti dan terus menerus hadir di tengah perjalanan dakwah dan keislaman di Amerika serta dunia.

Tulisan ini kembali hadir karena kita sedang memperingati Hari Anti Islamophobia (Day to combat Islamophobia) pada 15 Maret dengan diadopsinya sebuah resolusi Sidang Majelis Umum PBB tentang hal ini. Untuk memperingati lahirnya resolusi yang dimaksud, masyarakat Muslim Amerika akan mengadakan rangkaian acara selama tiga hari, dari tgl 15 hingga 18 Maret mendatang.

Acara yang akan menghadirkan tokoh-tokoh nasional Muslim Amerika, Kongres dan Senator, serta tokoh-tokoh agama Islam dan agama lain yang sejalan (like-minded) di St Louis Missouri. Hari Kamis, 15 Maret akan diadakan berbagai acara secara virtual yang dapat dikuti oleh masyarakat luas secara global. Lalu tgl 17 Maret akan dilangsungkan khutbah secara serempak dengan tema bahaya Islamophobia di berbagai Masjid-masjid di seluruh Amerika. Dan acara puncak dengan seminar seharian tentang Islamophobia pada hari Sabtu, tanggal 18 Maret 2023.

Baca Juga: Iran dan Arab Saudi Tegaskan Komitmen Perkuat Hubungan di Bawah Mediasi Tiongkok

Kebetulan saya juga akan hadir sebagai salah seorang pembicara (speaker) di berbagai acara-acara yang dimaksud.

Fakta-fakta Islamophobia

Ada upaya-upaya penggiringan opini jika Islamophobia itu adalah mitos yang dibesarkan lalu tumbuh menjadi seolah sebuah realita. Bahkan lebih jahat lagi kejahatan kepada Komunitas Muslim ini berusaha dibalik (twisted) seolah Umat Islam-lah sebagai pelaku dari berbagai kekerasan dan kejahatan. Umat Islam oleh media massa umumnya ditampilkan sebagai pelaku (perpetrators) berbagai kebencian dan kejahatan, bahkan ancaman (threat) kepada orang lain.

Hal ini yang menjadikan mereka yang benci dan anti Islam akan selalu berusaha menyudutkan Islam dan umat dengan segala cara yang memungkinkan. Cerita peristiwa akhir tahun 2022 di kota New York yang pernah disampaikan beberapa waktu lalu hanya satu contoh bagaimana mereka ingin membalik kenyataan itu. Dari Islam dan Komunitas Muslim yang sesungguhnya baik bahkan berkontribusi bagi kebaikan, keamanan, dan kemajuan Amerika, dibalik menjadi seolah musuh dan ancaman bagi negara dan bangsa ini.

Baca Juga: Kemlu Yordania: Pengeboman Sekolah UNRWA Pelanggaran terhadap Hukum Internasional

Untuk mengingatkan saja bahwa di malam akhir tahun 2022 lalu ada tiga kasus yang terjadi di negara ini. Satu, pembacokan dua anggota NYPD di Time Square NYC. Dua, penembakan massal di Florida yang menewaskan tiga orang. Tiga, penembakan massal di sebuah kota di Georgia yang juga menewaskan beberapa orang. Tapi kenyataannya hanya pelaku di Time Square yang kebetulan mengaku Muslim agamanya disebut-sebut di media massa; (Muslim radical, Islamic extremist, dll).

Kenyataan itu sebenarnya menyampaikan beberapa fakta tentang Islamophobia.

Pertama, Islamophobia itu fakta dan nyata. Dan jika kecenderungan kesalahpahaman dan ketakutan itu mulai berkurang akan terjadi lagi peristiwa yang kemudian kembali menguatkannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa the Brookings Institute pada 29 Desember 2022 mengumumkan hasil survey yang menyimpulkan, 78 persen masyarakat Amerika mulai melihat agama Islam dengan pandangan positif. Hal ini yang nampaknya mendapat reaksi dengan pembacokan polisi di Time Square. Dan itu terjadi justeru pada saat jutaan mata manusia tertuju ke sana karena perayaan akhir tahun.

Kedua, Islamophobia itu bukan baru. Secara teologis dan fakta historis Islamophobia telah menjadi bagian dari perjalanan dakwah Islam. Ayat-Ayat Al-Quran maupun sejarah para rasul dan nabi bukan hal yang baru. Bahkan jika kita kaji perjalanan sejarah Islam di dunia Barat, termasuk Amerika, ketakutan yang mengantar kepada kebencian dan permusuhan memang bersifat historis. Peperangan-peperangan yang terjadi yang melibatkan dunia Islam, dari Afghanistan, Irak-Iran, Teluk 1 dan 2, hingga ke terbentuk Taliban yang mengantar kepada peristiwa 9/11 di tahun 2001, semuanya tidak bisa terlepas dari upaya membangun persepsi tentang Islam yang berbahaya.

Baca Juga: Parlemen Arab Minta Dunia Internasional Terus Beri Dukungan untuk Palestina

Ketiga, Islamophobia itu akan menjadi bagian alami dari perjalanan dakwah dan keislaman Umat. Selain diyakini secara teologis dan menjadi fakta historis, kenyataannya memang Islamophobia tidak terhenti hanya karena faktor-faktor sesaat. Pergantian Presiden Amerika misalnya dari Donald Trump Ke Biden ternyata tidak menghilangkan Islamophobia. Realita ini yang kemudian disampaikan oleh Allah secara tersirat di Surah As-Soff: 8 dengan kata “yuriiduuna liyuthfiu nuurallah” (mereka ingin memadamkan cahaya Allah). Kata “uuriiduuna” ini dikenal sebagai bentuk “fi’il mudhori’l atau “present/continuous tense” yang menggambarkan keadaan sekarang dan berkelanjutan ke masa depan.

Bentuk-bentuk Islamophobia di Amerika

Ketika berbicara tentang bentuk-bentuk Islamophobia di Barat dan Amerika khususnya, tentu banyak hal yang dapat disampaikan. Hal itu karena memang upaya meredam perkembangan Islam sangat intens dan ragam. Kali ini saya hanya akan menyebutkan lima bentuk Islamophobia sebagai renungan bersama.

Satu, adanya upaya yang sistematis dan secara terus menerus (konstan) untuk membangun imej atau persepsi bahwa Islam itu adalah agama pendatang baru dan ditampilkan sebagai tamu. Diakui Amerika memang adalah negara pendatang (imigran). Masalahnya kemudian hanya agama Kristen dan Yahudi yang dianggap sebagai agama pribumi (agama asli Amerika). Sehingga Amerika seringkali diakui sebagai Judeo-Christian nation. Padahal fakta sejarah menyebutkan bahwa Islam telah hadir di bumi Amerika bahkan jauh sebelum Columbus menginjakkan kaki di bagian bumi ini.

Baca Juga: Ribuan Warga Yordania Tolak Pembubaran UNRWA

Tujuan terutama dari imej atau persepsi yang terbangun ini adalah untuk menampilkan seolah Islam (Muslim) itu tidak punya hak, lemah, dan karenanya perlu disuguhi dan diberi. Orang-orang Islam ditempatkan pada posisi “lower hand” yang hanya menjadi beban bagi negara dan masyarakat. Akibatnya, imej dan persepsi seperti ini juga menjadi penyebab bagi tumbuhnya rasa minder (inferioritas) kepada sebagian Komunitas Muslim di Amerika.

Dua, kenyataan bahwa dunia dibagi kepada apa yang disebut “Dunia Barat” dan “Dunia Timur” (West and East). Kenyataan ini sesungguhnya bukan berdasarkan kepada pembagian geografi (letak bumi di bagian barat dan timur). Tapi sebenarnya lebih kepada pembagian demografi atau jenis manusia kepada bangsa Barat dan bangsa Timur. Maka kita kenal kemudian “western society or nations” dan seberangnya ada “eastern society or nations”. Australia dan New Zealand walau kenyataannya terletak di bagian paling timur bumi ternyata dikategorikan sebagai bagian dari western nation atau bangsa Barat.

Pembagian dunia seperti ini sejatinya sejak lama terbangun di atas motivasi rasial. Bahwa orang-orang yang di kategorikan bangsa Barat (western) itu adalah mereka yang dalam segala hal superior; pintar, kuat, maju, berperadaban, dan seterusnya. Sebaliknya dunia Timur itu adalah bangsa yang inferior, terbelakang, bodoh, lemah, dan tidak beradab (uncivilized).

Berdasarkan kepada pembagian dunia atau manusia yang demikian itulah, sejak lama kita kenal bahwa studi Islam di dunia Barat lebih dikenal dengan nama “orientalisme” atau studi paham ketimuran. Dengan penamaan ini secara sistematis dibangun imej atau persepsi bahwa Islam itu adalah agama ketimuran dengan karakter inferioritas tadi. Islam adalah ajaran yang mengajarkan kebodohan, kemiskinan, kelemahan, keterbelakangan, dan kebiadaban (uncivilized). Maka Barat harus hadir untuk mengedukasi orang-orang selain mereka, bahkan seringkali dengan pemaksaan. Konsep-konsep kehidupan seperti kebebasan, toleransi, demokrasi, dan HAM secara umum semuanya cenderung didefinisikan dengan definisi Barat (western mindset).

Baca Juga: Wasekjen MUI Ingatkan Generasi Muda Islam Tak Ikuti Paham Agnostik

Tiga, berbagai peperangan melibatkan dunia Islam, yang pada galibnya dirancang (orchestrated) oleh dunia Barat sendiri (Amerika dan sekutunya) dijadikan justifikasi untuk melabel Islam sebagai agama kekerasan (peperangan dan terorisme). Peperangan-peperangan yang pernah dan masih terjadi, dari Afghanistan, Irak-Iran, hingga di berbagai belahan Timur Tengah lainnya menjadi alasan untuk membangun persepsi yang menakutkan tentang wajah Islam yang bengis (agama peperangan).

Padahal sekiranya pun peperangan-peperangan itu melibatkan orang Islam, adalah sangat tidak fair (adil) untuk menjadikannya sebagai justifikasi tuduhan terhadap Islam dan Umat secara keseluruhan sebagai ajaran kekerasan, peperangan dan terorisme. America dan Eropa (termasuk Australia) hendaknya jangan lupa jika tangan-tangan mereka berlumuran darah telah membasmi jutaan manusia. Dari perang Salib, perang dunia I dan II, penjajahan beratus tahun di negara-negara non Barat, hingga peperangan-peperangan masa kini, sewajarnya menyadarkan bahwa Islam dalam realita justeru telah lama menjadi korban dari mereka yang mengaku lebih beradab (civilized).

Beberapa fakta sejarah juga dijadikan justifikasi bahwa Islam memang hadir untuk mengambil alih dan menguasai dunia Barat. Kenyataan ini sering diekspresikan oleh mereka dengan kata-kata: “they have come to take over”. Sejarah kekuasaan Islam di Barat, khususnya di Eropa, menjadi momok yang menakutkan. Sampai-sampai kata “Turkish coffee” di sebagian negara Barat diidentikkan dengan kekuasaan Ottoman Empire di masa lalu.

Empat, terjadinya berbagai kekacauan sosial (social chaos) di berbagai belahan dunia Islam, khususnya di berbagai kawasan yang telah diporak porandakan oleh kekuatan luar (khususnya Barat sendiri) juga dijadikan pembenaran untuk membangun imej atau persepsi Islam sebagai ajaran yang chaotic (kekacauan). Hal ini yang terlihat dengan jelas di Afghanistan, Irak, Libia, Suriah, dan lain-lain.

Baca Juga: Iran: Referendum Nasional Satu-satunya Solusi Demokratis bagi Palestina

Kegagalan negara-negara mayoritas Muslim membentuk pemerintahan yang stabil, diikuti oleh berbagai kekacauan sosial, bahkan ketidak mampuan mewujudkan stabilitas sosial menjadi alasan bagi mereka untuk semakin menyalahkan Islam dan Umat. Mereka tidak saja bertepuk tangan di balik pahit getirnya realita yang dialami oleh Umat di berbagai kawasan itu. Justeru sebaliknya mereka menampilkan diri sebagai pahlawan membela nilai-nilai demokrasi, kebebasan, emansipasi wanita, dan lain-lain.

Lima, kedatangan para pengungsi di berbagai negara Barat, termasuk Amerika, yang tentunya karena peperangan-peperangan yang dirancang (orchestrated) oleh mereka sendiri juga ditampilkan sebagai hal yang menakutkan. Kedatangan mereka tidak saja dianggap menjadi beban bagi negara-negara itu. Lebih dari itu kehadiran mereka di nilai sebagai ancaman dalam banyak hal. Termasuk ancaman budaya dan tentunya ancaman agama, bahkan ancaman eksistensi mereka.

Walau diakui bahwa salah satu hal pasti tentang para pengungsi dari negara-negara Muslim itu, bahkan termasuk dari negara-negara yang selama ini dianggap telah kehilangan identitas agama seperti Bosnia, ternyata tetap mempertahankan keimanannya di negara-negara baru itu. Masyarakat Bosnia di kota New York misalnya saat ini memiliki beberapa masjid dengan Komunitas yang cukup solid.

Realita ini menjadi sumber ketakutan tersendiri. Apalagi Islam ditampilkan di berbagai media massa sebagai ajaran atau ideologi yang antitesis dengan budaya dan gaya hidup Barat. Kehadiran para pengungsi dari dunia Islam, dengan budaya yang non liberal menjadikan mereka semakin berimajinasi dengan imajinasi-imajinasi yang menakutkan. Islam dicurigai hadir untuk mengungkung kebebasan, merendahkan wanita, berpikiran sempit, bahkan membenci dan membinasakan mereka yang berbeda, dan seterusnya.

Baca Juga: MBS Seru Israel Gencatan Senjata Segera, Tidak Serang Iran

Menyikapi Islamophobia

Tentu banyak lagi wajah Islamophobia di kalangan masyarakat Amerika dan Barat. Lima bentuk di atas hanya segelintir contoh yang dapat kita jadikan sebagai pijakan untuk merenung dan berpikir. Selain lebih jeli dalam melihat fenomena yang ada, juga kita dituntut untuk memahami apa dan bagaimana menghadapi realita yang pahit itu. Apalagi fenomena Islamophobia ini didukung oleh tendensi ragam kepentingan. Termasuk kepentingan politik dan dominasi gobal, bahkan kepentingan ekonomi dan kapitalisme dunia.

Yang pasti dengan merujuk kepada realita Islamophobia tadi, Umat ini tidak akan bisa menghindar (escaping) apalagi melarikan diri (running away) dari realita ini. Sebaliknya justeru jati diri Umat ini mewajibkannya untuk mengantisipasi dan menghadapinya.

Surah As-Soff yang dikutip terdahulu diikuti oleh informasi sekaligus tantangan agar Umat ini tegap dan tegas dalam menyikapi Islamophobia itu. “Tidakkah Aku (Allah) menunjukkan pada kalian sebuah perdagangan yang akan menyelamatkan kalian dari api yang pedih? Yaitu beriman kepada Allah dan hari Akhirat serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri-diri kalian. Itu lebih baik bagi kalian jika saja kalian mengetahui”.

Baca Juga: Polusi Udara Parah, Pakistan Tutup Sekolah dan Toko di Punjab

Bagi masyarakat Muslim di Barat, khususnya di Amerika, jihad terbesar adalah berjuang dengan segala daya dan kapasitas yang ada untuk merombak persepsi yang salah dan jahat mengenai agama ini. Di negara yang dikenal sebagai “the land of opportunity” ini justeru memberikan harapan bahwa kesalahpahaman, bahkan kemarahan dan permusuhan kepada Islam bukanlah tabiat asli dari bangsa Amerika. Sebab sejatinya dalam sejarahnya justeru Amerika adalah negara dan bangsa yang memiliki hati (a nation with heart) untuk memberi kasih sayang (compassion) kepada mereka yang datang ke negara ini. Bahkan bangsa Eropa yang datang pertama kali ke negara ini juga diterima dengan hati yang penuh kasih sayang oleh bangsa asli Amerika (Native American).

Bagi masyarakat Muslim Amerika dan Barat secara umum, minimal ada tiga hal penting dan perlu terus menerus dilakukan.

Pertama, terus melangkah dengan kepala tegap (izzah) membuktikan (bukan sekedar mengatakan) bahwa Islam adalah agama yang “rahmah” (kasih sayang) untuk semua manusia. Sebagai agama rahmah tentu perlu realita di dalam kehidupan. Karenanya masyarakat Muslim di Amerika selain harus menjaga keimanan dan keislaman mereka, juga tertantang untuk merealisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, masyarakat Muslim Amerika perlu menyadari urgensi menjadi bagian integral dari masyarakat luas (mainstream). Mereka harus mengambil bagian dalam kehidupan publik di segala bidang; ekonomi, pendidikan, budaya dan sosial, bahkan politik dan pertahanan negara. Hal ini sesungguhnya ditekankan dalam Al-Quran dengan kata “dari kalangan mereka”. Bahwa rasul-rasul itu diutus dari kalangan mereka (minhum).

Baca Juga: Jenderal Saudi Kunjungi Teheran Bahas Kerjasama Pertahanan

Ketiga, masyarakat Muslim perlu terus menerus melakukan “self education” (mendidik diri) dan merombak mentalitas. Dari sikap mentalitas pendatang dan tamu menjadi mentalitas tuan rumah. Bahwa siapapun di negara ini dianggap bagian, tuan dan pemilik, serta punya hak dan kewajiban yang sama. Mentalitas tuan rumah ini akan menguatkan motivasi untuk membangun “sense of belonging”. Dan dengan rasa kepemilikan ini akan tumbuh motivasi untuk menjaga, marawat sekaligus membangun dan memajukan negaranya.

Keempat, untuk menghadapi Islamophobia masyarakat Muslim harus tetap membangun harapan dan optimisme. Bahwa sepanjang apapun terowongan itu pada ujungnya ada cahaya yang bersinar. Sebagaimana di akhir Surah As-Soff tadi Allah janjikan: “Maka Dia (Allah) memberikan kekuatan (ta’yiid) kepada orang-orang beriman maka mereka pun mendapatkan Kemenangan”. “Dan niscaya janji Allah itu tidak teringkari”.

Penutup

Saya ingin mengakhiri dengan pernyataan syukur dan bangga tentunya atas diadopsinya resolusi SMU-PBB yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Anti Islamophobia (Day to Combat Islamophobia). Resolusi itu pastinya sesuatu langkah maju dan perlu disyukuri. Akan tetapi saya perlu mengingatkan bahwa hal ini tidak perlu disikapi secara euphoria. Seolah dengan Resolusi itu Islamophobia telah selesai.

Baca Juga: Erdogan Desak Trump Tepati Janji Hentikan Perang Israel

Perlu diketahui bahwa resolusi SMU-PBB sebagaimana ribuan resolusi lainnya tidak bersifat mengikat negara-negara anggota. Hal itu mengingatkan kita akan ratusan resolusi yang mendukung Palestina. Kenyataannya Palestina tidak kemana-mana karena memang resolusi itu bersifat “non binding” (tidak mengikat). Resolusi SMU-PBB hanya akan menambah tumpukan berkas dan penggembira sesaat jika tidak ditindak lanjuti oleh negara-negara anggota.

Karenanya, harapan kita adalah agar semua anggota PBB, dimulai dari negara-negara OKI sebagai sponsor, harus menindak lanjuti resolusi itu dalam bentuk perumusan perundang-undangan yang mengatur Islamophobia di negara masing-masing. Jika tidak maka sekali lagi resolusi itu hanya bak mainan yang lucu untuk dunia Islam memang lucu-lucu! (AK/RE1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Dunia Islam
Dunia Islam
Internasional
Indonesia
Kolom