Muslim AS Terancam Oleh Islamofobia

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Betapa terkejutnya Vincent Simon ketika dua pekan yang lalu, ia menyalakan satu pesan suara untuk Masjid Al Sahaabah di hadapan jemaah. Pesan itu ternyata berisi ancaman pembunuhan dari seorang pria yang berjanji akan memenggal kepala jemaah Muslim.

Simon adalah seorang veteran militer Amerika Serikat (AS) yang masuk Islam sekitar lima tahun yang lalu.

Masjid Al Sahaabah dan jemaahnya mendapat ancaman secara teratur, ada tiga atau empat pesan suara mengintimidasi yang diterima oleh masjid dalam sepekan.

“Jika Anda berpikir Anda akan menetapkan hukum Syariah (hukum Islam) di lingkungan saya dan negara ini – di Texas – Anda sangat salah. Islam adalah agama kekerasan, dan kami tidak akan berdiri untuk itu,” kata salah satu penggalan pesan suara melalui telepon yang kalimatnya disisipi kata-kata kasar dan rasis.

Si penelepon mengaku akan “bersenjata lengkap” dan didukung oleh sekelompok sesama veteran militer. Ia berkoar tentang “perang salib Kristen” dan bersumpah akan menemui Muslim di setiap medan pertempuran yang Muslim inginkan.

“Kami akan memenggal semua kepala Anda sampai mati. Apakah Anda mengerti? Kalian semua,” kata si penelepon mengakhiri pesan suaranya.

Menurut laporan media setempat, polisi dan Biro Investigasi Federal (FBI) sedang menyelidiki kasus pesan suara itu.

Masjid Al Sahaabah sendiri sudah berusia 15 tahun, terletak di Watauga, sebuah kota kecil dekat Fort Worth, Texas. Kota ini memiliki penduduk hampir 24.000 orang dan merupakan tempat bagi sekitar 300 Muslim dari berbagai latar belakang.

Polisi Gagal Bertindak

Khalid Jabara, seorang pria berdarah Lebanon-Amerika 37 tahun yang ditembak mati pada tanggal 12 Agustus 2016 oleh seorang tetangganya, dilaporkan bahwa keluarganya telah diganggu secara teratur dengan menyebut mereka “Arab kotor” dan “Lebanon kotor”. Bahkan, Jabara dan keluarganya yang beragama Kristen Ortodoks sering disebut sebagai Muslim, karena tetangganya berasumsi mereka adalah Muslim.

Dalam sebuah pernyataan, keluarga Jabara mengatakan, polisi gagal untuk bertindak, meskipun pelecehan itu selalu berulang dalam masa setahun, termasuk sebuah insiden setelah tetangga itu memukul dan menabrak ibu Khalid Jabara hingga terluka.

Sementara itu, pada tanggal 13 Agustus 2016 di New York City, seorang pria menembak dan membunuh Maulana Akonjee, seorang imam 55 tahun, dan rekannya Thara Uddin (64) di saat keduanya berjalan di sepanjang trotoar setelah salat Maghrib di Queens, New York City.

Pada bulan Februari 2015, tiga mahasiswa Muslim, yaitu Deah Shaddy Barakat, Yusor Mohammad Abu-Salha dan Razan Mohammad Abu-Salha, juga ditembak dan dibunuh oleh tetangganya di Chapel Hill, North Carolina.

Namun, di Masjid Al Sahaabah di Texas, Simon dan Kazi mengatakan bahwa mereka telah menerima dukungan dari polisi setempat dan FBI sedang bekerja menyelidiki ancaman pemenggalan kepala itu. Termasuk ada pernyataan solidaritas dan dukungan dari masyarakat setempat.

“Saya sangat menyesal Anda harus melalui ini, dan saya minta maaf atas nama orang-orang Kristen,” kata seorang wanita melalui pesan suara yang lain sebagai wujud solidaritasnya kepada umat Islam di wilayah itu.

Andil Retorika Anti-Muslim Politisi AS

Di saat kelompok HAM dan pengamat memperingatkan tentang tumbuhnya kekerasan terhadap Muslim dan retorika yang intens di kalangan politisi ekstrem, ancaman pemenggalan mendorong keprihatinan yang serius.

“Ini bukan ancaman normal,” kata Simon yang merupakan bagian dari dewan komite dan keamanan Masjid Al Sahaabah.

Mujeeb Kazi, anggota dewan masjid lainnya, warga pindahan dari Pakistan ke AS dua puluh tahun yang lalu, meyakini bahwa retorika anti-Muslim yang kebanyakan dari politisi seperti calon presiden Donald Trump, telah memberikan lisensi kepada orang-orang untuk mengancam atau menyerang Muslim.

“Meskipun nanti dia tidak memenangkan kursi kepresidenan, saya pikir dia sudah melakukan kerusakan terhadap masyarakat yang kohesif, toleran, dan saling menerima. Itu telah rusak,” kata Kazi kepada Al Jazeera.

Pada Senin, 15 Agustus 2016, Trump mengumumkan rencananya untuk memperkenalkan pembatasan imigrasi yang ketat, termasuk tes ideologis bagi umat Islam dan wisatawan.

Sebelumnya dia juga telah menyerukan pelarangan total terhadap Muslim yang ingin memasuki negara itu dan mendukung memasukkan warga ke dalam daftar di database.

Alia Salem, direktur eksekutif Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR) cabang Dallas-Fort Worth mengatakan, komunitas Muslim merasa begitu terancam saat ini.

Muslimah berjilbab ini mengatakan bahwa politisi dan banyak lembaga penegak hukum lambat mendukung Muslim di saat kekerasan mengancam komunitas minoritas tersebut.

Alia Salem mengungkapkan bahwa permusuhan terhadap Muslim “teraba” dalam kehidupan sehari-hari.

“Kami mendapatkan banyak dukungan dari orang-orang yang baik, yang memberi kami harapan. Namun, masyarakat (pejabat dan penegak hukum) harus mendukung kami,” kata Alia.

Vincent Simon (kiri) dan Mujeeb Kazi (kanan) di depan Masjid Al Sahaabah di Watauga, sebuah kota kecil dekat Fort Worth, Texas. (Foto: Petrick Strickland/Al Jazeera)
Vincent Simon (kiri) dan Mujeeb Kazi (kanan) di depan Masjid Al Sahaabah di Watauga, sebuah kota kecil dekat Fort Worth, Texas. (Foto: Patrick Strickland/Al Jazeera)

Data Penelitian Serangan Terhadap Muslim AS

Sebuah laporan yang diterbitkan pada Mei 2016 oleh Bridge Initiative, sebuah proyek penelitian di Universitas Georgetown, menemukan bahwa umat Islam antara enam hingga sembilan kali lebih banyak diserang pada tahun 2015, dibandingkan periode setelah serangan 11 September 2001.

Laporan ini mendokumentasikan, sekitar 180 insiden kekerasan anti-Muslim terjadi sejak dari waktu pencalonan presiden diumumkan pertama kali pada Maret 2015 hingga Mei tahun ini, termasuk 12 pembunuhan dan 34 serangan fisik.

Setelah Trump menyerukan penutupan terhadap masjid pada Desember 2015, jumlah serangan terhadap umat Islam meningkat tiga kali lipat dari sebelumnya, hampir setengah dari serangan-serangan itu ditujukan terhadap masjid.

Di bulan itu saja, pelaku melakukan setidaknya 53 serangan terhadap Muslim, tempat ibadah dan hartanya.

John Esposito, Direktur Bridge Initiative dan profesor hubungan internasional dan studi Islam di Universitas Georgetown, mengatakan, Trump akan disalahkan ketika umat Islam di negara itu menghadapi kekerasan dan retorika anti-Muslim.

Berbeda dengan pernyataan dari mantan Presiden Bill Clinton, suami dari calon presiden dari partai Demokrat Hillary Clinton.

“Jika Anda seorang Muslim dan Anda mencintai Amerika dan kebebasan, dan Anda benci teror, tinggallah di sini dan bantu kami menang dan membangun masa depan bersama. Kami ingin Anda,” kata Bill Clinton dalam pidatonya di Konvensi Nasional Demokrat bulan lalu.

Merujuk ke laporan CAIR baru-baru ini, disimpulkan bahwa beberapa organisasi sayap kanan menghabiskan anggaran lebih dari $ 200 juta untuk mempromosikan “ketakutan dan kebencian” terhadap Muslim antara tahun 2008-2013.

Profesor Esposito mengatakan, Islamofobia merajalela di media Amerika dan menjadi wacana politik. Pada dekade terakhir ini telah disaksikan liputan media yang negatif tentang Muslim serta terjadi “ledakan yang luar biasa” dari situs-situs dan media anti-Islam. (T/P001/R02)

Sumber: tulisan Patrick Strickland di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.