Rakhine, 20 Dzulqa’dah 1435/14 September 2014 (MINA) – Direktur Program Pembangunan PBB untuk Asia Pasifik Haoliang Xu, mengatakan bahwa para pengungsi Muslim Rohingya yang hidup di semua kamp pengungsian negara bagian barat Rakhine membutuhkan bantuan kemanusiaan serta layanan kesehatan yang mendesak.
Hal itu diungkapkannya dalam kunjungannya bersama petugas dari PBB pada akhir pekan ini, yang menjumpai para pengungsi Muslim Rohingya di kamp tempat tinggal mereka. “Mereka menyuarakan keprihatinan atas buruknya kondisi kehidupannya serta kurangnya perhatian atas perawatan kesehatan”, ujar Haoliang Xu.
Menurut Xu, untuk saat ini kebutuhan paling mendesak adalah pelayanan kebutuhan primer seperti makanan dan pakaian. “Mereka juga sangat membutuhkan pelayanan medis dengan segera”, tambah Xu. Menurutnya, rencana jangka panjang berikutnya adalah mengeluarkan para pengungsi dari tempat yang tidak layak tersebut.
Sebagaimana dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA) dari Rohingya News Agency (RNA), diperkirakan, 140.000 orang yang mayoritas Muslim Rohingya masih berada di pengungsian di Rakhine yang terkepung.
Baca Juga: Kota New Delhi Diselimuti Asap Beracun, Sekolah Diliburkan
Dampak dari penyerbuan berdarah antara warga Buddha dan komunitas Muslim yang meletus pada 2012, telah menyebabkan syahidnya sekitar 192 orang muslim Rohingya, serta gelombang pengungsi sekitar 140.000 orang. Saat ini puluhan ribu muslim Rohingya tersebut tinggal di kamp pengungsian yang diawasi sangat ketat oleh petugas keamanan setempat.
“Meski ada beberapa kemajuan, namun kami masih melihat ketegangan yang berlangsung masih terus berlanjut”, demikian dikatakan Xu. Bahkan pekan ini, pemerintah Myanmar kembali memberlakukan jam malam di wilayah konflik berdarah sejak Juni 2012.
Akhirnya, Pemerintah Myanmar pusat bersedia menandatangani perjanjian dengan organisasi relawan medis internasional (MSF), yang pernah dipaksa meninggalkan negara bagian Rakhine setelah kelompok Buddha mengancam kantor perwakilan mereka dengan tuduhan bahwa mereka telah mendukung umat Muslim.
Dengan penandatanganan perjanjian itu, kini memungkinkan MSF untuk dapat bekerja di lima negara bagian, termasuk di dalamnya adalah Rakhine.
Baca Juga: Ratusan Ribu Orang Mengungsi saat Topan Super Man-yi Menuju Filipina
Muslim Rohingya kehilangan hak kewarganegaraannya sejak 1982 atas tindakan dari rejim militer Myanmar. Akibatnya, banyak dari mereka tidak memiliki kartu identitas yang membantu mereka untuk hidup bebas dan memiliki pekerjaan.
Pemerintah Myanmar sebelumnya telah menekan berbagai lembaga internasional dan pemerintah negara tetangga yang berupaya merekomendasikan tindakan penghentian setiap tindakan brutal dan diskriminatif untuk minoritas Muslim Rohingya.
Direktur Pengawas Hak Asasi Manusia (Human Rights Watch /HRW) untuk Asia, Phil Robertson mengatakan, masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan guna memperbaiki kondisi HAM bagi Muslim Rohingya yang hak-hak kebebasan hidup mereka terpasung.
“Kami tidak melihat adanya peningkatan yang signifikan dalam penegakan hak asasi manusia oleh pemerintah”, ujar Xu. Menurutnya, PBB tidak melihat alasan penting ataupun masalah fatal yang menjadikan kewarganegaraan Muslim Myanmar tertolak. “Soal penolakan kewarganegaraan inilah yang merupakan inti masalah yang menimpa muslim Rohingya”, katanya.
Baca Juga: Filipina Kembali Dihantam Badai
Meski Pemerintah Myanmar telah melakukan proses verifikasi nasional untuk pendaftaran kewarganegaraan, tapi seorang aktivis dan Direktur Proyek Arakan Chris Lewa mengatakan, hampir setiap hari selalu terjadi penangkapan serta pelecehan kepada muslim Rohingya yang menolak berpartisipasi dalam proses identifikasi.
“Tidak ada kemajuan apapun,” katanya. “Bahkan, kemungkinan kedepannya akan menjadi lebih buruk. Sebab penguasa setempat telah menggunakan taktik terbaru dengan mencoba memaksa komunitas muslim untuk berpartisipasi”, ujarnya.
Kini, faktanya justeru keamanan mencegah mereka yang mencoba melintasi pos pemeriksaan, jika tidak memiliki formulir konfirmasi partisipasi mereka. “Tindakan ini menjadikan setiap mereka yang tidak berpartisipasi, di larang melewati pasar dan pergi melaut. ujar Xu menambahkan.
Para pengamat memprediksi bahwa masalah perpecahan etnis akan menjadi lebih menonjol hingga 2015, yakni pada saat pemilihan umum nasional, yang dikhawatirkan memicu kekerasan yang berlanjut.(T/P004/R12)
Baca Juga: Iran, Rusia, Turkiye Kutuk Kekejaman Israel di Palestina dan Lebanon
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)