Yangon, MINA – Pengadilan Myanmar telah menuduh dua wartawan Reuters, yang meliput krisis Muslim Rohingya di utara Negara Bagian Rakhine, melanggar undang-undang kerahasiaan nasional.
Dua wartawan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo secara resmi didakwa oleh jaksa di Yangon pada hari Rabu (10/1/2018) karena melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi era kolonial, yang dapat menjatuhkan hukuman maksimal 14 tahun penjara, kata pengacara mereka.
Keduanya ditahan pada 12 Desember oleh petugas polisis setempat, setelah makan malam di pinggiran kota terbesar Myanmar, Yangon. Kantor Berita MINA melaporkan dari sumber Al-Jazeera.
Reuters mengatakan, sedikit yang diketahui tentang tuduhan terhadap wartawannya. Hanya diketahui mereka ditangkap karena diduga memiliki dokumen rahasia yang berkaitan dengan negara bagian Rakhine.
Baca Juga: Kota New Delhi Diselimuti Asap Beracun, Sekolah Diliburkan
Wa Lone (31) mengatakan, ia tidak pernah membuat kesalahan, dan mengatakan bahwa petugas polisi mengintimidasinya.
“Kami akan menghadapi dakwaan yang diajukan terhadap kami,” tambahnya, saat delapan petugas polisi mengantarkannya keluar dari pengadilan.
Sebuah permintaan jaminan telah diajukan ke pengadilan, yang akan memeriksa pada sidang berikutnya pada tanggal 23 Januari, kata pengacara mereka.
Kementerian Informasi Myanmar mengatakan bahwa wartawan tersebut “memperoleh informasi secara tidak sah dan dengan maksud untuk membagikannya kepada media asing”.
Baca Juga: Ratusan Ribu Orang Mengungsi saat Topan Super Man-yi Menuju Filipina
Kedua reporter itu selama ini secara berkala melaporkan pemberitaan tentang operasi pembersihan yang dilakukan militer di negara bagian Rakhine.
“Kami sangat kecewa karena pihak berwenang berusaha untuk menuntut wartawan kami, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, di bawah Undang-Undang Rahasia Resmi Myanmar,” kata Stephen J Adler, Presiden dan Editor Kepala Reuters.
“Kami menganggap ini sebagai serangan yang sepenuhnya tidak beralasan dan terang-terangan terhadap kebebasan pers.”
Dikecam Pengawas Media
Baca Juga: Filipina Kembali Dihantam Badai
Penangkapan mereka telah dikecam secara luas oleh kelompok hak asasi manusia dan pengawas media.
“Proses persidangan terhadap Wa Lone dan Kyaw Soe Oo adalah upaya transparan untuk mengintimidasi media dan untuk mencegah liputan tragedi umat Rohingya di negara bagian Rakhine di Myanmar,” kata Steven Butler, koordinator program Asia untuk Melindungi Wartawan (CPJ).
Pelaporan krisis Rohingya telah terbukti sulit bagi anggota pers asing. Pers dilarang memasuki wilayah yang dilanda konflik di Rakhine utara, dan dipersulit melalukan wawancara dengan pejabat tinggi pemerintah setempat.
Daniel Bastard, Kepala Reporters Without Borders untuk Wilayah Asia Pasifik mengatakan, pasangan tersebut “hanya digunakan sebagai kambing hitam untuk menutup mulut para jurnalis yang pemberani”.
Baca Juga: Iran, Rusia, Turkiye Kutuk Kekejaman Israel di Palestina dan Lebanon
“Ada kekhawatiran yang mendalam dan sangat mengkhawatirkan untuk melihat bahwa kebebasan pers di Myanmar benar-benar menurun,” katanya kepada Al Jazeera dari ibukota Perancis, Paris.
Dalam perjalanan keluar dari ruang sidang di Yangon utara, Wa Lone mengatakan bahwa istrinya sedang menunggu kelahiran anak pertama mereka.
Jika terbukti bersalah, anak sulungnya akan berusia 14 tahun pada saat dia dibebaskan dari penjara.
Wa Lone dan Kyaw Soe Oo bukan wartawan pertama yang dikenai hukuman di bawah undang-undang era kolonial dalam 12 bulan terakhir.
Baca Juga: Lanjutkan Kunjungan Kenegaraan, Presiden Prabowo Bertolak ke AS
Pada 2017, sebanyak 11 wartawan dan satu kontributor media ditangkap di Myanmar, menurut Reporters Without Borders.
Undang-Undang Asosiasi menyebutkan, berdasarkan pasal hukum 1908 dan 1934 Aircraft Act, pemerintah dapat menahan wartawan yang melaporkan konflik di Myanmar. (T/RS2/R01)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pemerintah Filipina Evakuasi Warga Jelang Kedatangan Badai Toraji