Oleh: Rana Setiawan, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sadarkah kita, Penduduk Kristen baik Katolik maupun Protestan di Indonesia per sensus 2010 tidak lebih dari 13,7 persen. Namun bila menjelang Natal, seakan mereka menjadi penduduk mayoritas di negeri ini.
Bukan itu saja, rupanya umat Islam di Indonesia terlena dan lengah mengingat statistik saat ini, yang menunjukkan angka pertumbuhan umat Islam Indonesia kalah dibandingkan dengan pemeluk Kristen. Sebabnya adalah upaya Kristenisasi yang massif terjadi di negeri ini.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Din Syamsuddin pernah menyatakan, angka pertumbuhan tahunan umat Islam hanya 1,2 persen. Sementara Kristen dua kali lipatnya, yakni 2,4 persen per tahun.
Baca Juga: [WAWANCARA EKSKLUSIF] Ketua Pusat Kebudayaan Al-Quds Apresiasi Bulan Solidaritas Palestina
Ironisnya bisa kita lihat saat menjelang perayaan Hari Raya Natal. Berbagai atribut Natal di pasang di berbagai perusahaan ataupun di mall dan hotel juga ruang publik lainnya. Bahkan karyawan muslim ikut meramaikan missi agama Kristen ini baik secara sukarela maupun terpaksa. Sampai-sampai ada yang menggunakan Kostum Santa Claus (Sinterklas) berupa jubah putih, topi, ikat pinggang dan janggut palsu atau hanya memakai topinya saja.
Entah terencana sebagai bagian Kristenisasi ataukah hanya untuk menarik perhatian pembeli semata, cara-cara tersebut dapat menodai keyakinan sebagian umat muslim.
Perayaan ini bertambah semarak, karena kemudian ditayangkan di berbagai stasiun televisi. Malahan ada yang melakukan perayaan Natal dengan menampilkan peserta yang berbusana Islami mulai dari laki-laki, perempuan dan anak kecil.
Beberapa hari terakhir, perdebatan para aktifis dan tokoh Islam dalam memberikan ucapan selamat Natal pun menjadi trend di dunia maya.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Sangat terlihat bagaimana sebagian tokoh-tokoh Muslim ikut menghadiri acara perayaan Natal bersama, berdoa bersama.
Bagi kaum Kristen membudayakan perayaan Natal di tengah-tengah penduduk yang mayoritas muslim ini merupakan bagian dari upaya kristenisasi secara halus. Kristenisasi di dunia Islam telah digunakan sebagai senjata untuk menghancurkan pemikiran kaum muslim.
Baik melalui pluralisme maupun sinkritisme. Mereka telah berhasil merusak kekayaan terpenting umat Islam, yaitu pemikiran Islam. Ketika umat Islam ini pemikirannya rusak, maka dengan mudah masuk dalam permutadan.
Fatwa MUI 1981
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Tentang Perayaan Natal ini, sebagaimana bunyi fatwa tentang perayaan Natal Bersama yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 7 Maret 1981. Kala itu MUI baru saja didirikan Presiden Soeharto. Ketua Umum MUI pertama adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), seorang ulama terkemuka di dalam dan di luar negeri, sastrawan tokoh Muhammadiyah, tokoh Partai Islam terbesar Masyumi yang dibubarkan Soekarno, sedangkan Ketua Komisi Fatwa-nya adalah KH Syukri Ghozali.
MUI mengeluarkan fatwa agar umat Islam tak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal agar tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala. Mengikuti upacara Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya haram.
Untuk ini MUI terlebih dahulu mengemukakan dasar-dasar ajaran Islam dengan disertai berbagai dalil baik dari Al-Qur’an maupun Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagai berikut:
- Bahwa ummat Islam diperbolehkan untuk bekerjasama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan.
- Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampur-adukkan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain.
- Bahwa ummat Islam harus mengakui ke-Nabian dan ke-Rasulan Isa Almasih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain.
- Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak dan Isa Almasih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik.
- Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya agar mereka mengakui Isa dan Ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab: Tidak.
- Islam mengajarkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu hanya satu.
- Islam mengajarkan ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan.
Fatwa MUI yang keburu menyebar ke masyarakat sebelum petunjuk pelaksanaan selesai dibuat Departemen Agama ini kemudian ramai diperdebatkan dan diminta dicabut oleh Menteri Agama saat itu, Letnan Jendral TNI Alamsjah Ratu Perwiranegara.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Meski demikian Buya Hamka tak lantas mencabut fatwa itu. Dia hanya mengeluarkan Surat Keputusan MUI No. 139 tahun 1981 mengenai penghentian edaran fatwa. Namun, dalam surat pembaca yang ditulisnya dan kemudian dimuat di Kompas 9 Mei 1981, dia menjelaskan Surat Keputusan MUI itu tak mempengaruhi kesahihan fatwa tentang perayaan Natal. “Fatwa itu dipandang perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian aqidah Islamiyah,” tulis Hamka.
“Drama” kemudian bergulir. Hamka dengan tegas menolak mencabut apa yang sudah diputuskan MUI. Mentri Agama berkeras pula lalu Hamka memilih meletakkan jabatan.
Dalam buku Mengenang 100 Tahun Hamka, Shobahussurur mencatat perkataan Hamka: “Masak iya saya harus mencabut fatwa,” kata Hamka sambil tersenyum sembari menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai Ketua MUI kepada pimpinan Departemen Agama.
Buya Hamka juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasiona, termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Di samping itu, pendapat KH Misbach, Ketua MUI Jawa Timur tentang perayaan Natal. “Biarpun di situ kita tidak ikut bernyanyi dan berdoa, tapi kehadiran kita itu berarti kita sudah ikut bernatal,” katanya. Menurut pendapatnya, “Seluruh acara dalam perayaan Natal merupakan upacara ritual.” (Majalah Tempo, 30 Mei 1981).
Sampai sekarang sikap tegas Buya Hamka ketika memimpin MUI masih tercatat sebagai “masa emas” MUI, masa di mana MUI berani mengeluarkan fatwa yang diperlukan umat, mampu bersikap tegas sesuai ajaran Islam, walau pemerintah tak berkenan. Saat itu pemerintah sedang mengkampanyekan “kerukunan internal dalam sebuah agama” dan “kerukunan antar agama.”
Sikap Ulama terhadap Natal
Natal, menjadi perayaan paling sakral dalam agama nasrani. Maka menyampaikan ucapan selamat untuk natal, berarti telah memasuki ranah prinsip agama non muslim. Ribuan fatwa ulama kontemporer melarangnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Entah sadar ataukah tidak bahwa perbuatan yang menyerupai orang kafir tersebut diharamkan dalam Islam. Pastinya, tindakan seorang muslim tersebut bertentangan dengan akidah Islamnya.
Syurut Umar, aturan dan tata tertib yang dibuat Khalifah Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu untuk orang nasrani yang tinggal di dataran Syam (Palestina, Yordania, Suriah, dan Lebanon), menjadi salah satu acuan bagi para ulama setelah generasi sahabat, untuk menjawab setiap kasus yang berkaitan perayaan agama di luar Islam.
Dalam kitab Ahkam Ahli Dzimmah dinyatakan,
وكما أنهم لا يجوز لهم إظهاره فلا يجوز للمسلمين ممالأتهم عليه ولا مساعدتهم ولا الحضور معهم باتفاق أهل العلم الذين هم أهله
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
“Sebagaimana mereka (orang nasrani) tidak diizinkan untuk menampakkan hari rayanya, maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk turut serta bersama mereka dalam perayaan itu, atau membantu mereka, atau menghadiri natalan bersama mereka, dengan sepakat ulama, yang mereka memahami kasus ini.” (Ahkam Ahli Dzimmah, 3/87).
Abul Qosim, Hibatullah bin Hasan as-Syafii mengatakan,
ولا يجوز للمسلمين أن يحضروا أعيادهم لأنهم على منكر وزور وإذا خالط أهل المعروف أهل المنكر بغير الإنكار عليهم كانوا كالراضين به المؤثرين له فنخشى من نزول سخط الله على جماعتهم فيعم الجميع نعوذ بالله من سخطه
Kaum muslimin tidak boleh menghadiri hari raya mereka, karena mereka berada di atas kemungkaran. Jika orang baik berada di tempat yang sama dengan orang yang melakukan kemungkaran, tanpa ada pengingkaran kepada mereka, statusnya sebagaimana orang yang ridha terhadap kemungkaran itu, dan akan memberikan dampak kepadanya. Kami khawatir akan turut murka Allah kepada jamaah itu, sehingga mengenai semuanya. Kami berlindung kepada Allah dari murkanya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Umar bin Khatab mengatakan,
ولا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم، فإنَّ السَّخطة تنزل عليهم
”Janganlah kalian bergabung bersama orang musyrik dalam gereja mereka ketika hari raya mereka. Karena murka Allah sedang turun kepada mereka.” (HR. Abdurazaq dalam Mushanaf 9061, Al-Baihaqi dalam al-Kubro, 9/432).
Umar bin Khatab juga mengatakan,
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
اجتنبوا أعداء الله في عيدهم
”Hindari para musuh Allah di hari raya mereka.”
Diriwayatkan oleh Abdul Malik bin Habib, bahwa Ibnul Qosim – murid Imam Malik – pernah ditanya tentang hukum naik perahu, yang saat itu ditumpangi banyak orang nasrani untuk menghadiri perayaan natal mereka. Ibnul Qosim melarangnya karena takut akan turun murka Allah kepada mereka, disebabkan perbuatan kesyirikan yang mereka lakukan.
Ibnu Habib juga mengatakan,
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
وكره ابن القاسم للمسلم أن يهدي إلى النصراني في عيده مكافأة له ورآه من تعظيم عيده وعونا له على كفره
Ibnul Qosim juga membenci ketika kaum muslimin memberikan hadiah kepada orang nasrani di hari raya mereka, sebagai balas budi baginya. Beliau menganggap itu termasuk memuliakan perayaan mereka dan membantu mereka melakukan kekufuran.(Ahkam Ahli Dzimmah, 3/87)
Maka, toleransi yang benar adalah membiarkan seseorang tetap memeluk agama mereka. Tidak memaksa pemeluk agama lain untuk meninggalkan agamanya, dan memeluk Islam. Termasuk membiarkan mereka makan, minum, berpakaian dan menikah dengan menggunakan agama mereka. Namun, semuanya itu pada batas yang dibolehkan oleh syariah.
Imaamul Muslimin Yakhsyallah Mansur, dalam khutbah Jumat, 14 Rabiul Awwal 1437 bertepatan dengan 25 Desember 2015 di Masjid At-Taqwa, Kompleks Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, menegaskan Haram hukumnya menyampaikan selamat hari Natal, mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal, hingga mengenakan atribut Natal, seperti baju dan topi Sinterklas.
Dalil keharamannya ada dua; pertama, karena mengenakan atribut Natal tersebut termasuk perbuatan menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar). Kedua, karena perbuatan tersebut merupakan bentuk partisipasi (musyarakah) muslim dalam hari raya kaum kafir yang sudah diharamkan dalam syariah Islam.
Haramnya menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar) didasarkan pada banyak dalil syar’i. Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum). (HR Abu Dawud, no 4033; Ahmad, Al-Musnad, Juz 3 no. 5114; Tirmidzi, no 2836).
Adapun haramnya Muslim berpartisipasi (musyarakah) dalam hari raya kaum kafir (seperti Natal, Waisak, Nyepi, Imlek dan lain-lain), dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
”Dan [ciri-ciri hamba Allah adalah] tidak menghadiri/mempersaksikan kedustaan/kepalsuan.” (walladziina laa yasyhaduuna az zuur). (QS Al Furqaan [25] : 72).
Imaamul Muslimin juga menghimbau umat Islam agar tetap dan senantiasa bangga dengan kalender Islaminya, kalender Hijriah, yang menjadi identitas Umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Kurang atau rendahnya kecintaan umat muslim terhadap peradaban Islam saat ini, umat Islam lebih bangga menggunakan kalender Masehi yang kentalnya hubungan dengan kepercayaan paganisme bangsa romawi bisa dilihat dari nama-nama bulan yang dipergunakan.
Sejatinya, Hari Raya Natal yang diperingati umat Kristiani sudah menjadi budaya di negeri-negeri mayoritas Kristen. Natal yang tidak pernah ada contohnya dan diperintahkan dalam bible ini oleh Herbert W. Amstrong dalam bukunya The Plain Truth about Christmas terang-terangan dikritik lantaran budaya natal ini berasal dari budaya pagan.
Masih dalam buku tersebut, atribut-atribut natal seperti pohon cemara juga merupakan budaya pagan kuno, pohon itu disebut “Mistletoe” yang dipakai pada saat perayaan musim panas, karena mereka harus memberikan persembahan suci kepada matahari, yang telah memberikan mukjizat penyembuhan.
Perayaan Natal tanggal 25 Desember pun juga sarat pengaruh legenda pagan dan kisah mitos.
Paganisme Yunani-Romawi telah diadopsi oleh Kaisar Konstantin dalam menyebarkan agama Kristen. Salah satunya dengan mengukuhkan 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus sang penebus dosa. Sesungguhnya tanggal tersebut merupakan peringatan terhadap Dewa Matahari Sol Invictus. Ketetapan ini dilegalkan Kaisar konstantin pada 313 M dalam sebuah Dekrit Edict Of Milan.
Selanjutnya Konstantin menetapkan Hari Matahari (sun day) sebagai hari libur kerajaan. Tak beda dengan kaum Yahudi, umat Kristiani sebenarnya menetapkan hari sabtu (Sabath) sebagai hari suci. Kalangan Kristen Ortodoks sampai saat ini masih memperingati hari kelahiran Al-Masih pada tanggal 6 Januari. Namun sebagai penghormatan kepada Sol Invictus, maka perayaan natal sang juru selamat, diubah pada tanggal 25 Desember.
Sementara kisah Sinterklas atau Santa Claus asalnya adalah Santo Nicolas seorang pendeta yang diagung-agungkan oleh bangsa Yunani dan Latin.
Penutup
Tantangan umat Islam ke depan bukan makin ringan justru makin berat, di mana musuh-musuh Islam melancarkan misinya dengan menggunakan berbagai macam cara baik halus maupun yang kasar.
Untuk itu, sebagai umat Islam, kita harus senantiasa mencermati dan mewaspadai gerakan kristenisasi dan pemurtadan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
Allah Ta’ala berfirman di dalam QS. Al-Baqarah ayat 120:
وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : Sesungguhnya Petunjuk Allah itulah petunjuk ( yang sebenarnya ). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Di dalam ayat tersebut Allah menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tiada henti-hentinya merancang makar dan konspirasi di antara mereka untuk memadamkan cahaya Islam.
Disadari atau tidak pada hari ini kaum muslimin telah dijadikan target utama mereka. Lalu Apakah Kita Akan Diam Saja?
(R05/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)