Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Hari Natal selalu menjadi musim liburan yang sangat spesial dan berarti bagi orang-orang Kristen Palestina.
Bahkan menjadi hari libur nasional bersama, di mana banyak umat Islam mengambil bagian juga, terutama di Yerusalem, Bethlehem, Ramallah dan Nazaret. Itu adalah nama-nama tempat sebagian besar gereja Kristen berada.
Sekolah-sekolah di tempat-tempat itu juga turut larut dalam kebersamaan. Kedua komunitas tersebut dari kalangan pelajar dan keluarga mereka seolah ikut serta dalam menyukseskan perayaan liburan Natal itu. Banyak di antara anak-anak Muslim ikut bermain-main, mendekorasi pohon natal dan saling bertukar hadiah.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Banyak pihak bermimpi tentang Yerusalem sebagai ibukota spiritual dunia. Karena secara fisik hampir berada di pusat dunia, dan karena hal itu penting bagi ketiga agama, Islam, Kristen dan Yahudi.
Kemungkinan besar inilah yang menjadi alasan skema PBB yang menghendaki Yerusalem sebagai “entitas yang terpisah” di Palestina, yang akan diatur oleh lembaga khusus di bawah PBB.
Para pelajar, baik Kristiani maupun Muslim di asrama sekolah di Birzeit, banyak menghabiskan hari-hari di Yerusalem. Mereka dengan ceria menyebutnya sebagai pengalaman spesial. Tidak ada Yerusalem Barat atau Timur saat itu. Juga tidak ada batasan tempat tinggal dan perjalanan.
Maka, orang-orang Kristen Palestina dari seluruh penjuru berbondong-bondong ke Yerusalem dan Bethlehem untuk merayakan Natal, bersama dengan peziarah asing lainnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Pembatasan antara Yerusalem Timur dan Yerusalem Barat itu muncul setelah tahun 1948, ketika orang-orang Yahudi mulai bermigrasi ke Palestina.
Dengan arogansinya, orang-orang Yahudi yang membonceng Inggris dan direstui Amerika Serikat, mengebom Hotel Semiramis, di bagian barat kota, tempat peziarah Kristen hendak merayakan Natal.
Milisi Yahudi Haganah, yang pada akhirnya mendirikan militer Israel, yang melakukan aksi itu. Pengeboman tersebut menewaskan lebih dari 20 orang, termasuk anggota keluarga Kristen yang memiliki hotel tersebut. Aksi teror ini mendapat kecaman dari Orthodox Christmas.
Pada bulan April tahun 2016 lalu, dua milisi Yahudi memasuki desa Deir Yaseen, dekat bagian barat Yerusalem, dan membantai ratusan orang, termasuk wanita dan anak-anak. Setelah pembantaian tersebut, pasukan Yahudi pergi dari rumah ke rumah di Yerusalem bagian barat, yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang Palestina, termasuk warga Kristen.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Pasukan Yahudi memerintahkan warga untuk pergi, dengan ancaman akan terjadi nasib yang sama dengan penduduk Deir Yasin.
Dalam bulan-bulan berikutnya, penduduk Palestina digusur dengan todongan senjata atau meninggalkan tempat karena ketakutan.
Sejak tahun 1948 itu, menjadi perayaan Natal terakhir bagi sebagian besar umat Nasrani di Yerusalem Barat. Sebab telah terjadi pembersihan etnis besar-besaran di Yerusalem barat, dan kini menjadi kota entitas tersendiri “Yahudi Yerusalem Barat.”
Era tahun 1960-an, sebagian warga Kristen banyak yang pindah dari Yerusalem Barat ke wilayah perbukitan di kawasan Beit Hanina, pinggiran utara Yerusalem. Tahun-tahun berikutnya, mereka pun dapat merayakan Hari Natal yang menjadi tradisi dan hari istimewa bagi keluarga.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Pencaplokan Yerusalem
Tahun 1967 membawa tragedi lain bagi warga Palestina. Yerusalem Timur, bersamaan dengan Tepi Barat dan Jalur Gaza, jatuh di bawah pendudukan Zionis Israel. Dalam waktu singkat, orang-orang Israel mencaplok “Yerusalem Timur” untuk bergabung dengan “Yerusalem Barat” dan mengklaimnya sebagai ibukota abadi negara Yahudi Israel, yang bertentangan dengan semua resolusi PBB.
Lalu, Hari natal 25 Desember 1967, PBB mengesahkan Resolusi 242, yang menetapkan bahwa pasukan Israel harus menarik diri dari wilayah yang mereka tempati selama perang.
Warga Palestina, baik Muslim maupun Kristiani, tadinya berharap Resolusi 242 PBB dapat terlaksana di lapangan. Sehingga pendudukan di Yerusalem segera berakhir.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Namun, fakta di lapangan berbicara lain. Pendudukan Israel malah makin penuh sesak menjadi kenyataan di seluruh Yerusalem, menjadi semakin tak tertahankan lagi.
Hingga kemudian pada bulan Desember 1987 meletuslah Intifadah Pertama. Para pemuda sebagai motor pergerakan, termasuk ada warga krsiten juga, ikut turun ke jalan.
Malah ada pemuda Kristen yang ditangkap dan ditahan gara-gara mendengar rekaman musik Intifada. Dia menghabiskan enam bulan dalam tahanan, sebelum akhirnya dibebaskan.
Natal Tahun Ini
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Tahun ini, Natal di Yerusalem tampak meriah, di tengah keputusan Trump soal pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Tampak pohon Natal setinggi 15 Meter berdiri di halaman Gereja Al-Mahdi Bethlehem sebelah selatan Yerusalem (Al-Quds).
Bahkan Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah hadir bersama ribuan warga Kristen dan Muslim, dari berbagai penjuru wilayah Palestina yang diduduki Israel, pada malam pencahayaan pohon Natal Sabtu malam (21/2/2017), dalam suasana meriah. Seperti diberitakan Kantor berita MINA (Mi’raj News Agency).
Upacara penerangan pohon tersebut juga dihadiri Walikota Bethlehem Antoine Salman, menteri, tokoh politik dan agama, serta duta besar dan konsulat negara-negara sahabat.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Lampu-lampu warna-warni menyala di seluruh pohon Natal dan kawasan sekitarnya, di tengah peluncuran rentetan kembang api yang membumbung ke angkasa. Sementara lagu-lagu dan musik rohani pun mengalun oleh para artis Spanyol dan Italia.
“Kami merayakan tahun baru dalam realitas yang sulit dan pahit, namun kami menciptakan area optimisme dan sukacita,” ujar salah satu panitia.
Dalam pidatonya, PM Hamdallah memperingatkan konsekuensi pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
“Bangsa-bangsa di dunia harus menyadari konsekuensi mengerikan yang akan kita saksikan, jika hal itu terjadi di Yerusalem,” katanya.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Ia menekankan, pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel atau pengalihan kedutaan, akan menyeret daerah ini ke dalam ketidakstabilan.
Sementara itu, Walikota Bethlehem Antoine Salman mengatakan pesan Natal tahun ini, “berharap untuk hidup dalam damai, memperbarui hati nurani di hati kita untuk toleransi dan penerimaan orang lain dalam kehidupan kita.”
Menurutnya, selama Betlehem tinggal dalam pengepungan oleh tembok pemisah, permukiman Israel dan penghalang jalan, perdamaian akan tetap tidak ada di dunia ini.
Betlehem adalah kota bersejarah yang terletak di sebelah selatan Tepi Barat. Kesuciannya ditandai dengan Gereja Al-Mahdi (Kelahiran Tuhan, menurut umat Kristiani). Orang- orang Kristen percaya bahwa Kristus dilahirkan di tempat tersebut.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Ingat orang-orang Kristen ingin merasa aman dalam ibadah dan dalam kehidupan sehari-hari. Maka, itu dapat terjadi dan pernah dilakukan oleh Pemimpin Dunia Islam Khalifah Umar bin Khattab, saat membebaskan wilayah itu dari penindasan Kekaisaran Byzantium.
Saat itu, tahun 637 Khalifah Umar berhasil memasuki gerbang Yerusalem, atau disebut juga dengan Kota Al-Quds, Baitul Maqdis, Yerushalayim, Yerusalem atau Aelia.
Uskup Sophronius, Kepala Pendeta Kristen (Patriarch) Yerusalem yang ditunjuk Byzantium, saat itu berkehendak menyerahkan kunci gerbang Aelia, saat itu menggunakan nama tersebut, langsung kepada Umar secara damai.
Mereka membuat perjanjian tertulis, yang kemudian disebut dengan Perjanjian Umar (Al-‘Ahd Al-Umariyyah) dengan penduduk setempat, untuk mengatur hak dan kewajiban antara umat Islam Yerusalem dan penduduk non-Muslim.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Ya, suasana damai penuh dengan toleransi hanya akan terwujud dalam kepemimpinan kaum Muslimin seperti itu. (A/RS2/B05)
Sumber: Al-Jazeera dan Quds Press.
Mi’raj News Agency (MINA)