Israel telah mampu mengambil simpati dari fihak sekutu-sekutunya yang kuat sejak negara itu mendeklarasikan kemerdekaan secara sepihak sebagai Negara Yahudi pada 1948. Inggris dan Prancis mendukungnya secara militer, politik dan ekonomi, hingga meletusnya Perang Enam Hari pada Juni 1967, setelah itu bergeser ke aliansi strategis dengan Amerika Serikat hingga saat ini.
Sejak pendirian negara entitas Zionis Israel di Palestina yang diduduki, otoritas itu berturut-turut telah berusaha untuk mendapatkan akses menuju Afrika dan membangun hubungan dekat dengan negara-negara di seluruh benua itu. Hal ini guna memberi kesan bahwa meskipun sedang melakukan pendudukan militer di atas tanah Palestina, Israel adalah sebuah negara “normal.”
Entitas Zionis tersebut memiliki alasan untuk hal ini, termasuk mempunyai kepentingan strategis dengan negara-negara Afrika, terutama yang berada di Lembah Sungai Nil. Di sana Israel ingin mengambil keuntungan dari sumber air mereka dan menekan Mesir dan Sudan, sambil mengeksploitasi mereka secara politis.
Ada juga motif ekonomi di balik kekhawatiran Israel tentang hubungan dengan negara-negara Afrika, tak terkecuali sumber daya alam mereka, termasuk berlian, emas, kayu dan minyak, yang terakhir terutama di Nigeria dan Angola. Selain itu, penduduk Afrika sebanyak 1,2 miliar orang adalah pasar utama untuk barang-barang Israel.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Hal ini diungkap dalam tulisan dari seorang kolumnis Timur Tengah, Nabil Al-Sahli, yang diterbitkan Al-Arabi Al-Jadid pada 14 Januari 2019.
Pada saat migrasi orang Yahudi dari Eropa dan Amerika Serikat ke Israel menurun, lembaga-lembaga entitas Zionis telah berfokus untuk mendorong orang Yahudi Afrika eksodus ke wilayah Palestina yang berhasil diduduki. Ada sejumlah besar orang Yahudi dari Etiopia, Afrika Selatan, Zimbabwe dan Kenya.
Israel berupaya menciptakan kondisi yang akan menarik ribuan orang Yahudi untuk bermigrasi ke Israel, sambil mengeksploitasi mereka yang tetap memberikan tekanan pada pemerintah negara asal mereka guna mendukung Israel terhadap resolusi internasional yang mengutuk kebijakan dan praktik pendudukan militernya.
Negara-negara Afrika memiliki banyak pengaruh, misalnya, di PBB dan organisasi-organisasi internasional lainnya.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Israel telah mampu membangun hubungan yang kompleks dengan banyak negara di Afrika, terutama mengandalkan proyek-proyek dari Badan Kerjasama Pembangunan Internasional (MASHAV) untuk mentransfer teknologi dan mengembangkan sumber daya manusia.
Kegiatan tersebut dimaksudkan guna meningkatkan kemampuan profesional dalam teori dan praktik, serta mengadaptasi teknologi baru untuk memenuhi prioritas pembangunan di Afrika.
Berbagai kementerian, badan profesional dan lembaga akademis, serta pusat penelitian di Israel ikut terlibat dalam proyek-proyek tersebut.
MASHAV bekerja dalam kemitraan dengan negara-negara Afrika yang ekonominya dalam transisi untuk menghadapi tantangan di berbagai bidang seperti pengentasan kemiskinan, layanan kesehatan dasar, keamanan pangan, pendidikan anak usia dini, penggurunan, kesetaraan jender, pengembangan usaha kecil dan menengah, serta embangunan pedesaan.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Pengamat urusan Israel tahu bahwa hubungan Israel-Afrika telah mengalami beberapa perubahan sejak 1948. Pengakuan Israel oleh negara-negara Afrika memuncak pada tahun 1963 di mana 23 kedutaan besar Israel telah dibuka di seluruh benua itu.
Hubungan memburuk setelah serangan Israel terhadap negara-negara tetangga Arab pada Juni 1967, tetapi membaik setelah kunjungan Presiden Mesir Anwar Sadat ke Yerusalem pada 1977. Namun, itu tidak cukup bagi ambisi Israel.
Pengembangan hubungan Israel dengan Afrika terkait erat dengan konflik Arab-Israel. Ini dibuktikan dengan fakta bahwa terjadinya boikot diplomatik Afrika atas Israel selama tahun 1970-an dan sebagian besar pada tahun 1980-an, diikuti dengan pemulihan cepat hubungan pada awal 1990-an, dikaitkan dengan dua peristiwa besar: Perang Oktober 1973 dan Konferensi Perdamaian Madrid pada akhir 1991, serta Deklarasi Prinsip-Prinsip Fasilitasi Pemerintahan Sendiri secara sementara (Oslo) yang ditandatangani antara fihak Otoritas Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin Yasser Arafat dan fihak Israel yang dipimpin Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pada 1993. Ini dapat dilihat mempercepat penurunan simpati dan dukungan banyak negara Afrika terhadap permasalahan Palestina.
Israel juga banyak mengadakan investasi dalam hal ini untuk memperkuat dan memperluas hubungannya di Afrika dan, pada akhir 2018, telah berhasil membangun hubungan dengan 45 negara Afrika.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu telah mengatakan beberapa kali bahwa strateginya adalah mengarahkan kebijakan luar negeri dengan cara menembus Afrika dan memperkuat hubungan melalui gerbang ekonomi dan peningkatan perdagangan. Otoritasnya telah mendesak perusahaan-perusahaan lokal untuk mengambil keuntungan dari sumber daya dan meningkatkan ekspor mereka ke Afrika.
Nilai total ekspor Israel pada 2017 melebihi USD100 miliar, sementara nilai ekspornya ke Afrika kurang dari USD1 miliar. Memperluas hubungan dengan Afrika dengan demikian merupakan prioritas bagi Netanyahu.
Pada Juli 2016, ia melakukan tur Afrika secara luas yang mencakup Ethiopia, Uganda, Rwanda, dan Kenya. Netanyahu membuat janji untuk mendukung proyek-proyek pembangunan, memodernisasi pertanian dan peternakan, mentransfer teknologi dan mengembangkan pendidikan dan penyediaan kesehatan.
Kementerian Ekonomi dan Industri Israel sedang berupaya menemukan saluran baru ke Afrika, termasuk pembukaan dua kantor untuk kementerian di ibukota Ghana, Accra, dan di Nairobi, Kenya, yang akan bekerja berdampingan dengan atase perdagangan yang berbasis di Afrika Selatan.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Secara umum, Israel ingin hubungannya dengan negara-negara Afrika mencapai tiga tujuan: memperluas hubungan diplomatik; pembukaan pasar baru untuk perusahaan-perusahaan Israel; dan memutus dukungan Afrika untuk Palestina di PBB.
Negara-negara Afrika, sementara itu, berharap bahwa memiliki hubungan yang baik dengan Israel akan dapat membantu mereka untuk mendapatkan keuntungan dari transfer keahlian keamanan, teknologi, dan pertanian Israel.(AT/R01/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Diterjemahkan dari tulisan di Middle East Monitor MEMO, 15 Januari 2019.