Negara-negara Muslim Didesak Tekan Cina Hentikan Tindakan Keras terhadap Uyghur

Doha, MINA – Sekelompok ulama dan cendekiawan yang berasal dari provinsi Xinjiang, Cina, telah mendesak negara-negara mayoritas Muslim untuk menekan Beijing agar mengakhiri “perang budaya” terhadap rekan-rekan etnis mereka.

Menurut panel PBB, lebih dari satu juta warga Uyghur dan Muslim lainnya ditahan di tempat yang oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia dan aktivis disebut pusat penahanan massal di wilayah barat yang terpencil.

Selama kunjungan ke ibu kota Qatar, Doha, para pemimpin dari yang berbasis di Turki menuduh Beijing terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia sistematis terhadap warga Uyghur dalam upaya menghapus warisan budaya dan agama mereka.

“Pemerintah Cina melancarkan perang budaya terhadap rakyat kami dengan mencoba memaksa kami untuk meninggalkan kepercayaan Muslim kami dan warisan kami untuk menjadi ateis dan komunis seperti masyarakat Cina mayoritas,” kata Abdel Khaleq Uyghur dari SMSET pada Selasa (19/3) seperti dilaporkan Al Jazeera, Kamis.

Pada Januari, Cina mengeluarkan undang-undang baru yang berusaha untuk Sinicise (Sinifikasi) Islam dalam lima tahun ke depan, langkah terbaru Beijing untuk menulis ulang bagaimana agama itu dipraktikkan. Sinifikasi adalah proses peleburan komunitas non-Cina ke dalam budaya mayoritas Cina, Han.

Belum ada negara Muslim besar yang secara terbuka mengutuk Cina atas tuduhan penahanan massal orang-orang Uighur dan etnis minoritas Muslim lainnya kecuali Turki, yang menyerukan agar Cina menutup kamp-kamp itu. Beijing menyebut kamp-kamp itu “pusat pendidikan ulang”.

Orang-orang Uyghur, yang tanah kelahirannya berada di jantung Jalur Sutra kuno, mengatakan Beijing melihat kehadiran mereka sebagai penghambat perkembangan ekonomi dan ekspansi ke arah barat melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) andalannya.

Mohamad Mahmoud, dari SMSET, berpendapat janji-janji Cina akan keuntungan besar dan pembangunan ekonomi dari proyek-proyek BRI-nya telah membungkam negara-negara mayoritas Muslim untuk menyuarakan dan memprotes tindakan keras Beijing terhadap warga Uyghur.

“Saya berharap bahwa negara-negara Muslim dapat mengatasi ketakutan mereka terhadap Cina dan mengatasi pelanggaran HAM berat Beijing terhadap komunitas kami,” tandasnya.

Menurut laporan Amnesty International 2018, penampilan afiliasi agama dan budaya yang terbuka atau bahkan pribadi, termasuk menumbuhkan janggut, mengenakan jilbab, shalat rutin, puasa atau menghindari alkohol, atau memiliki buku atau artikel tentang Islam atau budaya Uyghur dapat dianggap “ekstremis” di bawah peraturan baru yang ditetapkan Beijing.

Pekan lalu, pemerintah Cina menerbitkan makalah kebijakan yang panjang menguraikan dan mempertahankan kebijakannya terhadap Uyghur sebagai langkah “deradikalisasi”. Makalah itu mengakui ada penangkapan 13.000 Muslim Uyghur sejak 2014.

Menanggapi klaim pemerintah tentang “terorisme dan radikalisme” di wilayah itu, Mahmoud mengatakan klaim pemerintah Cina itu tidak benar dan tidak berdasar.

“Rakyat kami tidak mencoba memisahkan diri dan tidak ada terorisme atau pemberontakan bersenjata di Turkistan Timur,” ujarnya.

“Satu-satunya terorisme di wilayah ini berasal dari pemerintah Cina sendiri,” tambah Mahmoud. (T/R11/R01)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.