Oleh Ganjar Darussalam, Aktivis Aqsa Working Group (AWG) Jawa Barat
SEBUAH pemandangan rutin setiap harinya, sekelompok Yahudi melakukan demonstrasi di jantung kota Tel Aviv Israel, bahkan di antara mereka ada yang membakar bendera negaranya sendiri sebagai respon atas gagalnya pembalasan serangan terhadap Hamas yang berujung genosida rakyat Palestina dan masih belum berakhir sampai hari ini.
Para demonstran menuntut dibebaskannya sandera, dihentikannya genosida yang tak berujung, mengutuk aksi militer IDF yang telah membunuh puluhan ribu bangsa Palestina tanpa sebab. Mereka beralasan, aksi militer Israel yang telah membunuh bangsa lain yang tidak berdosa itu, sama sekali tidak sejalan dengan prinsip-prinsip agama Yahudi (Judaisme).
Aksi demonstrasi yang setiap hari dilakukan oleh sekelompok Yahudi di negaranya bahkan di beberapa negara eropa lainnya, merupakan bukti bahwa sebenarnya bangsa yang mengklaim keturunan Nabi Ya’qub ini sedang mengalami perpecahan luar biasa.
Baca Juga: Genosida Kelaparan di Gaza sebagai Senjata Pembunuhan Massal
jika kita perhatikan, hampir disetiap aspek kehidupan Israel terpecah diantaranya:
- perpecahan Masyarakat
Sebuah survei terbaru dari Pew Research Center menemukan bahwa hampir semua orang Yahudi di Israel mengidentifikasi diri mereka dengan salah satu dari empat subkelompok antara lain: Haredi (ultra-Ortodoks), Dati (religius), Masorti (tradisional), dan Hiloni (sekuler).
bahkan dibeberapa artikel lain, selain empat kelompok diatas ada lima kelompok lainnya, dan masing-masing kelompok saling terpecah dan berseteru, mereka ialah: Ashkenazi (Yahudi yang berasal dari Eropa Timur dan Tengah), Sephardi (berasal dari Spanyol dan Portugal), Mizrahi (berasal dari Timur tengah dan Afrika Utara), Neturei Karta (Ortodoks dan menolak berdirinya negara Israel), Karait (Sekte Yahudi yang hanya menerima Taurat).
- Perpecahan Kabinet
Ketegangan di pemerintahan Israel mencapai puncaknya buntut atas serangkaian serangan di Gaza yang tanpa arah dan tujuan. Diawali pernyataan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, yang menolak ide pembentukan pemerintahan militer di Gaza, mencerminkan meningkatnya ketidakpuasan di kalangan lembaga keamanan Israel.
Baca Juga: Kelaparan di Gaza dan Kepedulain Kita
Para pejabat Militer masih belum tau siapa nanti yang akan memimpin Gaza setelah pertempuran berakhir, karena situasi dan konidisi yang di dominasi Hamas, dianatara mereka tidak ada yang berani memimpin diwilayah Gaza.
Mereka juga mengungkapkan perpecahan tajam antara dua mantan jenderal militer di dalam tubuh kabinet, Benny Gantz dan Gadi Eisenkot, yang mendukung seruan Gallant. Di sisi lain, partai-partai nasionalis sayap kanan yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Itamar Ben-Gvir mengecam pernyataan tersebut.
Dalam tajuk utama tabloid sayap kanan Israel Today, Gallant mnegatakan didepan Netanyahu dan seluruh kabinet “Itu bukan cara untuk melancarkan perang”.
- Perpecahan Militer
Tentara Israel banyak yang mulai membangkang serta melawan Perdana Mentri Netanyahu, semakin banyak tantara cadangan dan jenderal senior menyuarakan keberatan terhadap operasi militer yang dinilai tidak memiliki tujuan strategis yang jelas.
Baca Juga: Jihad Digital Suarakan Tangisan Anak-anak Gaza
Beberapa dari mereka menandatangani surat terbuka, sementara mantan pejabat militer dan keamanan, seperti Jenderal Assaf Orion dan Eran Etzion, menyatakan keyakinan bahwa kepentikan politik menjadi alasan Utama perang terus berlangsung.
Selain itu, Kepala Staf IDF, Letjend Eyal Zamir juga dilaporkan mempertanyakan efektivitas kelanjutan operasi yang justru membahayakan anggotanya dan juga para sandera. Dilapangan, perlawanan Hamas masih berlanjut meskipun mereka telah kehilangan struktur militer formal, lanjut Eyal Zamir.
Kondisi saat ini terjadi penurunan moral ditubuh militer Israel, terlihat dari meningkatnya jumlah tantara dilapangan dan tentara cadangan yang menolak Kembali panggilan tugas, Sebagian beralasan pribadi atau Kesehatan.
- Perpecahan Politik
Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, mendesak pemerintah untuk segera mengakhiri operasi militer di Gaza. Menurutnya, perang yang berkepanjangan hanya akan memperburuk krisis kemanusiaan, meningkatkan jumlah korban jiwa di pihak militer Israel, dan menghambat proses pemulangan para sandera yang masih ditahan Hamas.
Baca Juga: Suriah di Tengah Konflik Sweida dan Geopolitik Global
Tidak hanya itu, Kelompok hak asasi manusia terkemuka di Israel, Physicians for Human Rights – Israel, secara resmi menuduh pemerintah mereka melakukan genosida di Gaza. Dalam laporan terbaru mereka, disebutkan adanya pola sistematis penargetan warga sipil, pengungsian paksa, serta kelaparan yang disengaja selama hampir dua tahun konflik berlangsung.
Kemungkinan dunia akan semakin menutup diri terhadap eksistensi Israel kini sudah terjadi, Israel dipandang tidak memiliki solusi yang tepat dalam membuat kesepakatan gencatan senjata.
Laporan kelaparan dan malnutrisi di wilayah Gaza tersebut mengundang kecaman dari negara-negara seperti Inggris, Prancis, Kanada, dan negara Eropa lainnya.
Ditengah kekacauan yang sedang melanda Negara Zionis tersebut, perpecahan antara kepemimpinan Politik dan Militer Israel semakin mencuat. Netanyahu tetap bersikeras melanjutkan operasi militer dan menolak usulan pembentukan pemerintahan sementara di Gaza pasca-konflik.
Baca Juga: Selamatkan Masa Depan Anak, Indonesia Harus Berani Putus Mata Rantai Industri Tembakau
Sementara itu, para analis menilai perang telah mencapai titik dimana biaya operasional jauh melebihi manfaat yang diperoleh. Pada akhirnya perpecahan ditubuh Negara Yahudi itu semakin mendekati kehancurannya, dan itulah yang sama-sama kita harapkan.
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Belajar Qanaah: Kunci Ketenangan di Tengah Arus Hedonisme