Netanyahu Mendapat Banyak Tekanan dari Uni Eropa

Perdana Menteri Benjamin dan Presiden Prancis Emmanuel dalam sebuah konferensi pers bersama di Istana Elysee Paris (Foto: File/The Time of Israel)

Paris, MINA – Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan dari pada hari Senin (11/12) untuk memulai kembali proses perdamaian yang terhenti di Timur Tengah, menyusul kecaman luas terhadap keputusan Amerika Serikat (AS) yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negara Yahudi tersebut.

Netanyahu akan menuju di untuk pertemuan informal dengan menteri luar negeri Uni Eropa (UE), yang akan mendesaknya untuk “melanjutkan negosiasi yang kongkrit,” menurut kepala diplomatik UE tersebut, Federica Mogherini.

Menurut sumber media Israel The Time of Israel yang dikutip MINA, perundingan dengan UE tersebut terjadi setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron bertemu Netanyahu di Paris pada hari Ahad (10/12) dan meminta dia untuk menghentikan pembangunan permukiman dan untuk melakukan perundingan dengan orang-orang Palestina karena demonstrasi yang meluas berlanjut setelah pengumuman AS.

Dalam sebuah pidato pada hari Rabu (6/12) yang lalu dari Gedung Putih, menentang peringatan di seluruh dunia dan bersikeras bahwa setelah kegagalan berulang untuk mencapai perdamaian, sebuah pendekatan baru sudah lama terlambat, yang menggambarkan keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai tempat pemerintahan Israel hanya berdasarkan kenyataan.

Langkah tersebut disambut oleh Netanyahu dan oleh para pemimpin di banyak spektrum politik Israel, meskipun di luar Israel, hal itu disambut dengan kritik keras. Trump menekankan bahwa dia tidak menentukan batas-batas kedaulatan Israel di kota tersebut, dan meminta agar tidak terjadi perubahan status quo di tempat-tempat suci di kota tersebut.

Sementara pada hari Ahad (10/12) Presiden Emmanuel Macron kembali mengecam keputusan tersebut karena bertentangan dengan hukum internasional dan berbahaya bagi proses perdamaian.

“Saya mendesak perdana menteri untuk menunjukkan keberanian dalam berurusan dengan Palestina agar membawa kita keluar dari jalan buntu saat ini,” kata Macron setelah melakukan pembicaraan di Paris dengan pemimpin Israel tersebut.

“Perdamaian tidak bergantung pada Amerika Serikat saja, itu tergantung pada kapasitas kedua pemimpin Israel dan Palestina untuk melakukannya,” tegas Macron.

Netanyahu telah memuji keputusan Trump sebagai “bersejarah” dan dia menjelaskan pada hari Ahad (10/12), bahwa Yerusalem selalu menjadi ibu kota kita dan tidak pernah menjadi ibukota orang lain.

“Sudah menjadi ibukota Israel selama 3.000 tahun, telah menjadi ibu kota negara Yahudi selama 70 tahun. Kami menghormati sejarah dan pilihan Anda dan kami tahu itu sebagai teman yang Anda hormati. Saya rasa ini juga penting untuk perdamaian, semakin cepat orang-orang Palestina mengatasi kenyataan ini, semakin cepat kita menuju perdamaian,” katanya.

Sebelum meninggalkan Israel menuju Eropa, Netanyahu telah mengarahkan pada apa yang dia sebut “kemunafikan” Eropa – karena mengutuk pernyataan Trump, tapi diam dengan roket yang menembaki Israel atau ajakn perang terhadap Israel.

Pada Jumat (8/12) malam, kelompok-kelompok militan yang berbasis di Gaza dituding menembakkan roket ke Israel, diantaranya mendarat di kota selatan Sderot; Israel menanggapi dengan serangan udara terhadap sasaran Hamas.

Hamas pada hari Kamis (7/12) menyerukan sebuah intifadah baru melawan Israel, pada hari Jumat (8/12) mendesak warga Palestina untuk demonstrasi berhadapan dengan tentara dan pemukim, dan telah mengizinkan ribuan warga Gaza untuk menghadapi tentara Israel di pagar perbatasan Gaza dalam beberapa hari ini.

Pemimpin Hamas, Ismail Haniyah pada hari Jumat (8/12) memuji “intifadhah yang diberkati,” mendesak pembebasan Yerusalem, dan mendorong kelompok tersebut berusaha untuk mengintensifkan perlawanan terhadap Israel. (T/B05/R01)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.