Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

New Normal itu bukan “Old Normal”, Oleh: Shamsi Ali

siti aisyah - Selasa, 30 Juni 2020 - 06:05 WIB

Selasa, 30 Juni 2020 - 06:05 WIB

6 Views ㅤ

Presiden Nusantara Foundation, New York, Imam Shamsi Ali.(Foto: Aliyah/MINA)

Sabtu Lalu,  27 Juni pagi WIB, saya menyampaikan hikmah Halal Bihalal pada acara pembukaan Pertemuan Cendekiawan Bugis Makassar se-Dunia melalui media online. Acara yang dihadiri oleh lebih seribuan peserta itu juga diikuti oleh tokoh-tokoh nasional Sul-Sel, seperti JK, Yasin Limpo, dan lain-lain.

Hadir juga memberikan sambutan di acara pembukaan Gubernur Sul-Sel, Prof. Dr. Nurdin Abdullah. Sementara mantan wakil Presiden, Bapak Jusuf Kalla, hadir sebagai pembicara utama (keynote) sekaligus membuka acara secara resmi.

Dalam ceramah saya sampaikan terima kasih dan penghargaan, sekaligus kebahagiaan bisa hadir bersama para tokoh dan Cendekiawan Bugis Makassar se-Dunia. Saya juga menyampaikan bahwa pertemuan ini adalah upaya untuk menggali (uncover) potensi-potensi tersembunyi dari daerah dan putra-putrì daerah.

Warga Bugis Makassar, sebagaimana setiap daerah di Nusantara, memilki keunikan tersendiri. Mereka memiliki keuletan dan motivasi kerja, serta mental saing yang dibangun di atas keberanin yang tinggi. Falsafah “siri” yang biasanya ditandai oleh “badi’” atau keris menggambarkan keberanian itu.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Karenanya pertemuan Cendekiawan ini bisa mengarahkan potensi ini ke arah yang positif dan maksimal, sebagai bagian dari upaya untuk memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa dan dunia.

Era Baru bukan kebiasaan lama

Selanjutnya Saya menyampaikan bahwa memasuki era baru yang disebut “new normal” kiranya tidak dipahami secara simplistik sebagai sekedar kembali kepada kehidupan normal Seperti  sebelum pandemi Covid 19. Karena sesungguhnya itu bukan “new” tapi “old” normal. Bukan memasuki normal yang baru. Justru kembali ke normal lama.

Maka dalam pandangan saya untuk menjadikan suasana pasca Covid 19 sebagai era baru hendaknya dilakukan penataan atau pembaharuan minimal pada 4 hal kehidupan manusia.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Pertama, Era baru menuntut sebuah sikap mentalitas yang solid.

Peristiwa Covid 19 ini menjadikan memasuki situasi dunia yang pastinya jauh berbeda dari sebelumnya. Terjadi perubahan drastis yang boleh jadi di luar kontrol normal manusia, dan karenanya manusia akan rentang goyah ketika tidak memiliki mentalitas yang solid.

Perubahan-perubahan yang terjadi hampir dalam semua aspek kehidupan itu menjadikan manusia terombang-ambing, dan konsekwensinya boleh saja merasa kalah sebelum dikalahkan. Atau sebaliknya terbawa arus perubahan sehingga kehilangan jati diri dan identitasnya.

Cara terbaik untuk membangun mentalitas solid adalah dengan berpegang teguh kepada nilai-nilai keimanan. Keimanan kepada Tuhan adalah pondasi hidup. Karena itu bangsa Indonesia memang terbangun di atas nilai keimanan kepada Tuhan. Hidup dan matinya Indonesia juga tergantung kepada nilai-nilai Ketuhanan itu.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Dengan mentalitas solid, warga Bugis Makassar akan memasuki perubahan, tidak saja bahwa mereka tidak terpengaruh. Tapi justru mereka yang harus menjadi agen perubahan itu.

Kedua, untuk memasuki era baru  secara efektif diperlukan keilmuan yang bersifat inovatif dan pro-aktif.

Perubahan drastis yang terjadi dalam hidup manusia pasca Covid 19 ini menuntut sikap yang antisipatif, sekaligus wawasan keilmuan yang inovatif dan pro-aktif.

Satu di antaranya adalah wawasan keilmuan itu adalah keilmuan di bidang agama. Di mana para Ulama diharapkan, bahkan diharuskan untuk tidak lagi pasif dalam memahami ayat-ayat Al-Quran dan sumber-sumber keilmuan Islam lainnya. Tapi dengan pemahaman yang inovatif dan pro-aktif tadi.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Sebenarnya pemahaman inovatif dan pro aktif ini bukan sesuatu yang baru. Karena sesungguhnya tabiat ajaran Islam Itu sendiri memang demikian adanya. Bahwa agama ini adalah agama yang mengedepankan semangat inovatif dan pro-aktif itu.

Artinya bahwa ajaran Islam itu harus selalu menghasilkan pemikiran-pemikiran dan karya-karya inovatif yang diperlukan oleh zamannya, dan terjadi karena adanya wawasan antisipatif dan pro-aktif tadi.

Pro-aktif berarti bahwa Islam dan keilmuan Islam harusnya  tidak lagi bersifat konvesional. Tapi justru ada dobrakan yang bersifat aktif sebagai solusi dari masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan manusia.

Satu dari contoh yang saya selalu berikan adalah pemahaman tentang perintah Zakat. Bahwa perintah Zakat tidak difahami secara konvensional dan pasif. Dalam arti dipahami sebagai perintah mengeluarkan 2.5 persen dari harta kita.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Dengan pemahaman inovatif dan pro aktif, Zakat harus dipahami Sebagai perintah untuk memberdayakan atau menguatkan perekonomian Umat. Sebab hanya dengan perekonomian yang kuat Umat akan mampu memberikan Zakatnya.

Demikian pula ayat yang mengatakan  “balik dari setiap kesulitan ada kemudahan”. Ayat ini harus dipahami sebagai kewajiban bagi Umat ini untuk selalu menginisiasi upaya kemudahan di saat ada kesulitan. Covid 19 misalnya menantang Umat ini untuk bangkit dan mencari solusinya. Bukan menunggu orang lain untuk menemukan solusi itu.

Ketiga, era baru itu juga berarti memasuki sebuah era dengan karakter dan perilaku yang baru. Tentu karakter baru yang dimaksud adalah adanya perubahan karakter yang lebih positif.

Karakter yang dimaksud tidak saja pada tataran individual atau pribadi (fardi). Tapi juga tidak kalah pentingnya era baru ini merubah karakter sosial kemasyarakatan kita (social behaviors).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Kita mengharapkan musibah Covid 19 merubah pola perilaku lama yang semrawut, tidak disiplin, malas, lambang, dan ragam karakter yang menjadikan Umat ini terbelakang dan termarjinalkan.

Dari karakter yang kurang bisa mengontrol diri, mudah meledak, terbawa arus emosi lingkungan, dan lain-lain yang menjadikan umat ini mudah terjatuh ke dalam perangkap orang lain untuk dijadikan mangsanya.

Dengan era baru yang membawa perubahan itu Umat ini harusnya mampu membawa penyesuaian-penyesuaian yang tidak lagi biasa-biasa. Tapi membangun karakter responsive yang bersifat ekstra ordinary.

Jika tidak maka Umat akan menjadi mainan bahkan korban dari perubahan-perubahan baru. Umat akan berada dalam suasana kebingungan, lemah dan ketakutan, bahkan keputus asaan.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Intinya perlu perombakan karakter, baik pada tataran individu maupun pada tataran kolektif keumatan kita.

Keempat, memasuki era baru Umat dituntut untuk membangun wawasan global (global mindset).

Peristiwa Covid 19 mengharuskan Umat untuk sadar tentang dunia kita yang sangat berbeda. Salah satunya menguatkan lagi bahwa dunia kita adalah dunia global yang unik dengan karakternya yang jauh berbeda.

Dunia global kita itu ditandai oleh banyak hal. Tiga di antaranya yang paling dominan; kecepatan (speed) ketergantungan (Interconnectedness), dan persaingan (competition).

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Dengan kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang informasi, segala sesuatu mengalami kecepatan yang luar biasa. Peristiwa di sebuah kampung terpencil di bumi Nusantara boleh jadi orang lain di bumi Amerika tahu pada waktu bersamaan. Hal itu karena media informasi yang bersifat digital yang  dapat diakses dalam kerlipan mata (blink of eyes).

Karena kecepatan informasi tersebut menjadikan dunia kita seolah semakin kecil. Dunia ini seolah sebuah kampung kecil (small village) bersama manusia. Bahkan seolah rumah bersama (shared home) semua manusia. Karenanya manusia mau tidak mau, sadar atau tidak, sesungguhnya memiliki ikatan ketergantungan yang sangat dekat.

Artinya tidak satu manusia atau kelompok manusia bisa hidup tanpa yang lain dan karenanya pilihan manusia hanya satu. Yaitu membangun kerjasama (partnership) dalam kepentingan bersamanya (common interest).

Dalam situasi ketergantungan itu pula masing-masing manusia atau kelompok manusia berusaha untuk menjadi yang terbaik, terkuat dan termaju. Maka terjadilah kompetisi yang maha dahsyat di antara kelompok-kelompok manusia itu.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Maka Umat dipaksa untuk mengambil bagian dari kompetisi itu dan harus menang atau menjadi penonton yang akhirnya hanya akan menjadi korban-korban kompetisi yang semakin dahsyat dan juga kejam.

Semua realita di atas sesungguhnya bukan barang baru dalam ajaran Islam. Karena memang Islam adalah agama dengan konsep-konsep universal. Tuhan, nabi, Kitab suci agama ini semuanya bersifat universal.

Tapi juga agama ini memang telah dipersiapkan untuk semua keadaan di atas. Mungkin yang paling dekat menyimpulkan semua itu adalah ayat ke 13 dari Surah Al-Hujurat:

“Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki dan seorang wanita. Lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia d antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Semoga musibah Corona atau Covid 19 memang mendatangkan “new normal”. Sesuatu yang baru dan lebih baik. Bukan sekedar kembali ke normal lama atau “old normal” seperti sebelum pandemi terjadi. Semoga!

New York, 29 Juni 2020

*Presiden Nusantara Foundation USA.

(AK/R6/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Amerika
Kolom
Ramadhan
Ramadhan 1445 H
Kolom
Indonesia
Kolom
Kolom
Khadijah